Pertemuan Kita Membawa Luka

Pudyla
Aksaranara
Published in
3 min readJul 11, 2024

Apakah masih ada hari esok untukku?

Aku tidak pernah berharap banyak pada hidup. Nasib dan berjuta kemalangannya sudah menjadi bagian dari diriku. Aku biasanya menjadi orang yang pasrah atas takdir. Karena aku tahu, dunia tidak berputar dengan aku sebagai porosnya. Aku hanyalah bagian kecil dari semesta yang tak ada tandingannya ini.

Atas dasar pasrah, aku menjadi pribadi yang tidak menyukai ekspektasi. Bagiku, ekspektasi hanya akan melukai hati dan pikiranku, terutama ketika aku berekspektasi pada manusia. Bahkan terhadap diriku sendiri, aku tidak memiliki ekspektasi apa-apa.

Sampai suatu hari aku bertemu seseorang. “Halo, aku Ina. Mau jadi temanku?” tanyanya sambil memberikan setangkai mawar kepadaku.

“Aku Ali,” jawabku sambil menyambut mawar yang diberinya.

Senja itu, langit tampak indah. Aku yang sedang melamun dibuyarkan oleh tangannya yang secara tiba-tiba dijulurkan kepadaku. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Kami bertemu secara tidak sengaja di tempat yang asing bagiku, tetapi tidak baginya.

Awalnya aku menyukai takdir yang diberikan semesta kepadaku ini. Pertemuan dengan Ina mengubah hidupku yang tadinya suram menjadi cerah seperti mentari pagi.

Ina menjadi orang pertama yang mengubah cara pandangku terhadap dunia. Ina membuatku memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap hidup ini. Aku bongkar kotak mimpiku dan kususun satu per satu dari kepingan puzzle menjadi satu gambar utuh. Aku seperti hidup kembali.

Tidak hanya denganku, Ina dekat atau lebih tepatnya mencoba dekat dengan orang-orang lainnya. Setelah beberapa tahun aku berteman dengan Ina, satu hal yang kusadari: Ina hanya menyukai pertemanan ketika ia bertindak sebagai jantungnya.

Ina hanya tertarik dan mendengar kalimat yang ia inginkan.

“Li, kamu lihat Ama, deh. Menurutku dia anak nakal, tau. Lihat aja baju yang dia pakai sehari-hari seksi terus!”

“Menurutku, sih, enggak, ya. Bahkan dia baik banget. Enggak kayak anak nakal, tuh,” jawabku membela Ama.

Setelahnya, Ina akan membicarakanku kepada Ama. Aku mengetahuinya setelah Ama mengonfirmasi hal yang diceritakan Ina kepadanya. Bahkan, Ina sering kali memintaku melakukan pekerjaannya yang aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang ia kerjakan.

Kalau aku menolak, Ina akan mendesakku dengan berbagai cara. Aku kesal dengan sikapnya ini. Kekesalanku kepada Ina yang bertumpuk menjadikanku sedikit gila. Aku pernah dalam suatu acara tidak sengaja bertemu dengannya. Saat mendengar suaranya, aku refleks menutup telinga dan menjauh dari sumber suara.

Jangankan melihat sosoknya, mendengar suaranya pun aku sudah tidak sanggup lagi. Setelah berhari-hari merasakan kegilaan ini, akhirnya aku mengetahui bahwa bukan hanya aku yang mengalami nasib yang sama. Ama, Ronald, Rigen, Rindu, dan semua yang dianggap sebagai teman oleh Ina mengalami hal yang serupa.

Kami terpaksa pergi ke psikiater untuk menyembuhkan luka ini. Ina tidak pernah sadar bahwa yang ia lakukan melukai sekelilingnya. Aku terpaksa menjauhinya. Bagiku, Ina seperti benalu yang harus disingkirkan. Ia tak lagi menjadi mentari, tetapi menjadi gumpalan awan hitam yang setiap saat dapat menyambarkan gelombang petir dan memproduksi air hujan.

Bertahun-tahun aku pergi menjauh dari Ina. Setelah merasa sembuh, aku kembali mengunjungi rumahnya dengan membawa setangkai mawar. Mawar itu kuletakkan di depan rumahnya. Rumah yang kini hanya ditumbuhi rumput dan nisan yang bertuliskan namanya.

Rumah yang tepat untuk orang seperti ia berada. Pusara.

Sama seperti aku pernah berada di rumah yang tepat setelah aku membunuhnya. Penjara.

Penulis: Pudyla

Penyunting: Ivan Lanin

--

--

Pudyla
Aksaranara

Pekerja swasta yang sedang belajar menulis fiksi secara rutin.