Sulung
Sulung
Hidupku mudah. Paling tidak sampai sebelum adik-adikku lahir.
Pada Sabtu pagi tanggal 17, ayahku menelepon Eyang. Ia mengabarkan bahwa adikku telah lahir. Apit namanya.
“Alhamdulillah, normal, Bu. Keduanya sehat,” cerita Ayah kepada Eyang yang terdengar samar di ujung sana.
Tujuh tahun menjadi si tunggal, gelar itu terpaksa dicabut oleh ibu dan ayahku. Dengan berganti menjadi si sulung, kukira hidupku selanjutnya hanya penuh bunga-bunga. Ternyata, yang kudapat hanya luka, luka, dan luka.
“Barep udah punya adik, ya? Yaaah, Barep enggak disayang lagi, deh. He-he-he,” ucap tetangga sebelah rumahku sembari meledek. Kalimatnya membuatku marah. Apa benar mereka tidak akan sayang lagi kepadaku? Apa benar perhatian mereka akan habis untuk Apit?
Aku cemburu. Aku sangat cemburu!
Aku berharap Apit tidak pernah dilahirkan ke dunia ini. Bahkan, apabila Apit ditukar dengan kain pel bekas membersihkan muntah, aku rela.
. . .
Sore berikutnya, ibu dan ayahku pulang membawa bayi itu. Bayi yang mengganggu perasaanku karena kehadirannya. Jangankan melihat, melirik pun aku tak mau.
“Eyang, aku main bola sama Damar, ya,” pamitku sembari mencium tangan Eyang dan langsung pergi. Aku tahu, pasti orang tuaku heran, kenapa aku langsung pergi. “Barep, enggak pamit sama Ibu?” tanya ibuku heran, tetapi tetap tidak kujawab.
“Ayo, Mar. Lapangan kosong?” tanyaku kepada Damar sembari memakai sandal jepit.
“Itu Ibu kamu manggil.”
“Udah biarin, dia aja enggak peduli sama aku.”
. . .
Dua tahun telah berlalu, perhatian kedua orang tuaku tetap berbeda kepadaku. Alasannya, karena adikku masih butuh banyak perhatian mereka. Setiap hari aku hanya disuruh-suruh, tidak pernah lagi diajak main. Bahkan ketika aku akan bermain dengan Damar, Ibu memintaku untuk membantu membuatkan susu untuk Apit.
Belum lagi, ketika aku sedang asyik bermain sendiri di kamar, aku masih disuruh mengambil popok, mengajak main Apit, membereskan barang yang ia berantaki, dan masih banyak lagi. Hal yang paling menjengkelkan, kalau kami sedang bermain dan Apit menangis, pasti yang disalahkan selalu aku. Padahal, mereka belum bertanya dan meminta keterangan dariku.
Hidupku susah semenjak Apit lahir.
“Mas Barep, sini ngobrol sama Ibu,” panggil ibuku. Aku yang sedang berada di ruang keluarga segera menaruh mainanku dan menghampiri Ibu yang berada di meja makan.
Paling-paling Ibu hanya bertanya soal sekolah, yang Ibu mau, kan, aku juara kelas. Mana peduli dia bagaimana aku belajar.
Pikiran negatif ini memang bersemayam sejak lahirnya si Apit.
Ibu memegang bahuku yang berdiri tepat di depannya. “Mas Barep, gimana perasaannya punya adik? Senang?” Aku sangat kaget tiba-tiba Ibu bertanya seperti itu. Padahal, selama dua tahun ini, kami hampir tidak pernah mengobrol.
“Kenapa tiba-tiba Ibu tanya itu?”
“Karena Ibu punya kabar baik!”
“Apa, Bu?”
“Mas Barep akan punya adik lagi.” Cerita Ibu dengan senyum lebar dan tatapan bahagianya.
—
Penulis: Pudyla
Penyunting: Ivan Lanin