INDRIAN KOTO: “Niagawan Buku Sastra dengan Masa Muda Paling Menyedihkan”

Muhidin M Dahlan
aku & buku
Published in
4 min readApr 20, 2016

Dari geografi kelahirannya; Lansano, Sutera, Pesisir Selatan, Sumatera Barat; bisa dipastikan ia anak tepian air. Katanya, butuh jarak 120 kilometer dari Teluk Bayur untuk menuju kampungnya.

Dan ia tak betah dengan kampung itu. Satu-satunya jalan yang dipahaminya agar keluar dari garis edar kampungnya adalah bersekolah di Padang. Dan slot yang tersedia oleh anak kampung ini adalah SMK Negeri 5 Padang. Ia masuk di jurusan Teknik Elektro dan Informatika.

Semuanya berjalan biasa saja hingga sebulan setelah pengumuman naik kelas. Dan dia, karena anak tepian air yang jauh dari Padang, mengambil rapornya dan sekaligus mengetahui letak bangkunya di kelas dua.

Dan inilah yang terjadi. Sejak dari ruang guru, Bu Budi sudah menyabar-sabarkannya. Beberapa guru juga demikian. Dia mulai curiga. Wajah pemuda berkulit gelap ini tegang. Dan benar, setelah rapor berpindah tangan, di sana ia membaca sebaris kalimat yang membuat darahnya mendidih; inilah bunyi kalimat monster itu:

“Dengan memperhatikan hasil yang dicapai pada catur wulan I s/d II, maka siswa ini ditetapkan: Naik ke Tingkat……..”

Kalimat: “Naik ke Tingkat” dicoret alias tidak naik kelas. Pemuda itu mendobrak ruang wakil kepala sekolah yang sekaligus menjadi guru gambarnya. Tanpa banyak berkata-kata, kursi diangkatnya. Dilemparkannya kepada guru itu. Guru itu lari keluar. Kabur dengan mobilnya. Dada pemuda itu berdegup kencang. Matanya liar. Ruang guru geger.

Pemuda yang tak naik kelas ini berteriak-teriak dan tak terima mengapa nilainya untuk mata pelajaran menggambar mendapat nilai tiga (3). Tiga?! Memang keterlaluan nilai ini. Tapi, pemuda tak naik kelas ini berdalih, guru yang memberikan nilai ini tak pernah masuk kelas dan hanya mempercayakan kepada mahasiswa yang sedang praktik kerja lapangan.

Alasan lain, mata pelajaran menggambar ini termasuk pelajaran paling mahal. Butuh pena khusus bernama rapido atau yang bermerek rotring. Bagi pemuda kampung yang miskin, ini bukan soal sepele. Nilai tiga adalah barter yang adil untuk keterpurukan itu.

“Saya betul-betul malu. Saya putuskan berhenti. Saya tak peduli pilihan Bu Budi membuatkan laporan agar di STM yang lain (swasta) saya bisa naik ke kelas dua,” katanya sayu.

Bisa dibayangkan, remaja yang sejak kelas 1 hingga 4 sekolah dasar selalu menjadi juara 1 dan hanya kelas 5 mendapatkan rangking 3, eh, di Kota Padang, tidak naik kelas. Sewaktu SD saja saat ia dapat rangking 3 ibunya ngamuk-ngamuk, apalagi yang ini…. Yaolo.

Ia datang ke kampung tengah malam. Bagus. Tak ada orang kampung yang melihatnya. Mulai saat itu, pemuda ini menghadapi hidup yang paling suram di usia remajanya. Nyaris tiap hari ia berlindung dalam kamar karena disergap rasa malu dan minder yang tak bertara. Tidak naik kelas adalah aib. Bahkan, setiap hendak tidur ia mengalami halusinasi hebat: “melihat” harimau yang lewat di pekarangan dan mengintai dirinya.

Singkat kisah, ia kembali menjadi siswa kelas 1, sementara teman-temannya yang lulus bersama SMP sudah kelas 3. Ia memasuki SMA 1 Batang Kapas. Jarak dari rumah ke sekolah ini menempuh jarak 23 kilometer. Terkadang ia sampai di rumah pukul 11 malam karena mesti menunggu angkutan desa yang ngetem lama di pasar. Tercatat, pemuda ini tiga kali nyaris baku hantam dengan guru kelas.

Yang paling seru tentu saja dengan guru mapel Kimia yang galaknya naudubillah. Bahkan, pernah salah satu guru dikejarnya dengan memakai batang kedondong. Berkelahi dengan guru menjadi semacam kompensasi untuk menghela rasa minder dan malu yang sudah. Bagi dia, lebih baik mendahului daripada menjadi sasaran olok-olok.

Mudah ditebak, remaja ini saat naik ke kelas 2 memilih pindah di SMA yang masih satu kecamatan dengan kampungnya, SMA Sutera, Kapas. Remaja ini memperparah tampilan. Rambut gondrong dan diberi pewarna. Mungkin ingin menjadi “preman” tanggung. Guru matematika yang mencoba menerornya dengan pernyataan bangsat bahwa kehadirannya di SMA Sutera karena “pindah-naik”; pindah sekolah agar bisa naik kelas di sekolah tujuan. Maklumlah, rapor terakhir di SMA I Batang Kapas, nyaris semua pelajaran merah. Rinciannya:

Agama: 5 (lima) | PMP: 5 (lima) | Bahasa dan Sastra Indonesia: 4 (empat) | Bahasa Inggris: 4 (empat) | Pendidikan Jasmani: 5 (lima) | Fisika: 5 (lima) | Kimia 4: (empat) | Budi Pekerti: 5 (lima).

Melihat angka-angka itu, wajar guru matematika itu mencurigai si “pindah naik” ini. Tapi, remaja ini sudah bersiap menghantam si guru jika melanjutkan kecurigaan bangsatnya. Tak ada kejadian apa-apa.

Saya bisa memahami satu hal, mengapa bahkan mapel Bahasa Indonesia pun ia terpuruk. Padahal, sejak di STM ia rajin menulis puisi, cerita, dan bahkan ia memiliki lebih kurang 12 edisi buku tulis yang diberinya nama: Teratai. Semacam diari yang dibayangkannya sebagai antologi karya sastra. Sadarlah saya, mapel dan kemampuan bersastra kerap berjalan berkebalikan arah.

Tokoh kita yang saya ceritakan ini bernama Inhidayat; sebagaimana tertera di buku tulis “Teratai”. Nama di raport-nya adalah “Indrian Toni”. Dan sejak hijrah ke Kota Jogja, tokoh kita tadi Anda kenal dengan nama “Indrian Koto”.

Tak ada yang menduga, sosok yang luar biasanya pemalunya ini kemudian terjun menjadi niagawan buku dengan nama lapak sastra: Jual Buku Sastra. Tak ada yang menduga, sosok yang sejak pertama kali datang ke Jogja sebagai pencatat nama-nama orang yang ditemuinya ini adalah penulis puisi keren “Pleidoi Malin Kundang”.

Di Jogja, Indrian Koto membalaskan dendam remajanya. Berkarya sekuat-kuatnya dan memutuskan untuk seterusnya tinggal di Jogja setelah menyelesaikan kuliah Jurusan Sosiologi Universitas Islam Negeri pada 2011. Sosok yang cerpennya dimuat pertama kali di Minggu Pagi pada November 2004 dan puisi di Koran Tempo pada 2005 ini bahkan membangun keluarga di Jogja. [Muhidin M. Dahlan]

#TemankuOrangBukuKeren

--

--