Filsafat Stoikisme

AkuKita Wanita
AkuKitaWanita
Published in
4 min readApr 29, 2021

Salah satu cara menghadapi Quarter-Life Crisis.

Image By AkuKita Wanita.

Mungkin sebagian dari kita yang sedang membaca artikel ini berada pada rentang usia antara 20–35 dengan latar belakang yang beragam. Ada yang baru lulus kuliah, ada yang sudah bekerja, persiapan menikah, bahkan yang sudah merasa puas dengan pencapaiannya meskipun masih sering berkeluh kesah. Dari beragamnya latar belakang, saya cukup yakin nih bahwa semua pembaca artikel ini adalah kaum-kaum milenial. Yakan?

Ada satu hal nih yang harus kalian tau dari masyarakat milenial. Seperti yang dilansir dari satupersen.net, 86% kaum milenial itu sering merasa tidak nyaman, kesepian, serta depresi dalam hidupnya dan itu merupakan dampak dari Quarter-Life Crisis (QLC) (Akbar, 2020). Seperti yang diunggah di laman Instagram sycomora.id, menurut Mark Manson ada empat fase kehidupan manusia yaitu Mimicry (0–19), Development (20–35), Commitment (36–55) dan Legacy (>55). Nah, dari setiap fase tersebut QLC berada pada fase Mimicry akhir (19) sampai Commitment awal (36–40) (Sycomora.id, 2021). Bagi teman-teman yang sedang merasakan perasaan kacau-balau, tidak tau arah, mungkin kalian salah satu orang yang sedang berada di fase Development.

Di fase Development ini, seseorang individu akan berbicara mengenai dirinya sendiri dan berusaha untuk menjadi apa yang diinginkannya. Itulah kenapa Quarter Life-Crisis menurut Atwood & Schooltz berkaitan dengan “… diri mereka sendiri — untuk mencari makna dan tujuan hidup, mengejar kebahagiaan dan kebebasaan masing-masing” (Kirnandita, 2019). Salah satu masalah ketika berada di fase ini adalah seseorang akan dihadapkan oleh banyak pilihan dan alternatif mengenai masa depan mereka. Tentunya, ragam pilihan ini memiliki tujuan, harapan, atau angan-angan yang ingin dicapai. Meskipun banyak pilihan bertaburan, bukan berarti hal tersebut mudah dicapai. Seringkali, masalahnya terletak pada ketidaktahuan untuk menuju harapan yang diimpikan sampai kepada tidak bisa menentukan pilihan yang tepat. Oleh karena itu, tidak jarang dari kita untuk merefleksikan diri dengan bertanya pada diri sendiri secara emosional:

“Setelah lulus kuliah, hidup aku bakalan kaya gimana ya?”

“Baru lulus, temen udah langsung kerja aja. Aku mau kerja apa ya? Nanti kalo udah pilih kerjaan itu bakalan bahagia ga ya?”

“Aku udah mencoba segala cara tapi tetap gagal. Kalo berusaha terus tapi tetap gagal, apa aku bakalan jadi orang yang gagal?”

QLC memiliki keterkaitan dengan krisis emosional yang berdampak buruk terhadap kondisi psikologis terutama terjadi pada mahasiswa di usia 20-an (Habibie, 2019). Menurut saya, karena QLC berkaitan dengan emosi maka salah satu cara menghadapinya adalah dengan berpikir logis/rasional. Alternatif ini bisa kita pelajari dari salah satu ajaran filsafat yaitu Stoikisme.

Filsafat Stoikisme yang berkembangan pada masa Helenistik ini merupakan salah satu ajaran untuk merepresentasikan hidup yang penuh dengan ketentraman. Dengan menggunakan rasionalitasnya, manusia diharapkan bisa memilah dan memilih mana kenyataan yang harus dihadapi dan mana kenyataan yang dibuatnya sendiri. Oleh karena itu, filsafat Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak merepresentasikan emosi berlebih yang dapat membuat kita kecewa (Yosef, 2020). Tujuannya adalah menuju pada ketenangan dan kecukupan hidup serta kedamaian hati dan pikiran. Sebenarnya, prinsip ini sama seperti kata ikhlas atau lapang dada. Meskipun menerima segala hal yang terjadi, bukan berarti kita hanya berdiam diri dan berkecil hati. Disini, saya mengacu pada salah satu ungkapan dari filsuf Stoikisme yaitu Epictetus:

It’s not what happens to you, but how you react to it that matters

(Layla, 2020)

Apapun yang menimpa diri kita bukanlah suatu hal yang penting untuk dipikirkan. Alangkah lebih bijak jika kita memikirkan bagaimana kita bereaksi atas sesuatu yang kita terima. Ketika kita menerima suatu hal, pasti ada beragam cara bagaimana kita meresponnya: marah, sedih, bahagia dan lain-lain. Kita menerima hal tersebut secara responsif tanpa memikirkan terlebih dahulu untuk bereaksi terhadap hal itu. Nah, cara kita berpikir untuk bereaksi itulah yang menjadi penting! Karena menurut Marcus Aurelius yang juga salah satu filsuf Stokisme:

“You have power over your mind — not outside events. Realize this and you will find strength”

(Layla, 2020)

Sejatinya, kita memiliki kendali penuh atas apa yang kita pikirkan. Hanya saja, seringkali pikiran kata dipengaruhi oleh pikiran orang lain sehingga kita mengikuti apa yang orang lain lakukan. Padahal, kita memiliki kendali atas pikiran kita sendiri dan bisa menemukan serta mengetahui apa yang kita butuhkan dalam hidup. Disitulah kita bisa menemukan hal yang sebenarnya baik untuk diri kita sendiri. Dengan mengetahui inti dari ajaran filsafat Stoikisme, menurut saya ada beberapa hal yang bisa diimpelentasikan untuk menghadapi QLC:

  1. Buatlah rencana ketika kamu berada pada fase transisi.
  2. Hilangkan standar sosial, jangan terpaku dengan apa yang orang lain katakan.
  3. Maklumi dan menghargai dirimu sendiri.

Jadi teman-teman, dapat disimpulkan bahwa filsafat Stoikisme bisa membantu kita menghadapi QLC dalam cara berpikir. Meskipun hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan maka diperlukan latihan dalam keseharian. Karena, apabila kita hanya membaca, solusi yang ditawarkan filsafat Stoikisme hanya akan menjadi pengetahuan dan wawasan semata. Tetapi jika kita mengimplementasikannya, akan menjadi cara kita mengkontrol diri sendiri. Terutama dalam merespon sesuatu yang menimpa diri kita.

By Raka Gunara, Research and Creative Team AkuKiita Wanita

Sumber:

Akbar, F., 2020. Apa Itu Quarter Life Crisis? Bagaimana Cara Kamu Menghadapinya?. [Online]
Available at: https://satupersen.net/blog/quarter-life-crisis-bagaimana-kamu-menghadapinya
[Accessed 06 12 2021].

Habibie, S. A., 2019. Peran Religiusitas terhadap Quarter-Life Crisis (QLC) pada Mahasiswa. Gadjah Mada Journal Of Psychology, 5, №2(Quarter-Life Crisis), pp. 129–138.

Kirnandita, P., 2019. Quarter Life Crisis: Kehidupan Dewasa Datang, Krisis pun Menghadang. [Online]
Available at: https://tirto.id/quarter-life-crisis-kehidupan-dewasa-datang-krisis-pun-menghadang-dkvU
[Accessed 17 04 2021].

Layla, D., 2020. FIlsafat Stoikisme dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari. [Online]
Available at: https://www.qureta.com/post/filsafat-stoikisme-dan-penerapannya-dalam-kehidupan-sehari-hari
[Accessed 10 03 2021].

Sycomora.id, 2021. empat fase kehidupan oleh Mark Manson, Jakarta: Sycomora.id.

Yosef, M., 2020. Refleksi: Memahami Cinta Menurut Stoikisme. [Online]
Available at: https://lsfdiscourse.org/memahami-cinta-menurut-stoikisme/
[Accessed 17 04 2021].

--

--