Tips Memahami Karya Sastra ala A. Teeuw

Abdul Hamid
An Idea (by Ingenious Piece)
5 min readJun 5, 2018

Telaah singkat banget atas buku Membaca dan Menilai Sastra (1983)

Profesor Dr. Andries “Hans” Teeuw lahir di Gorinchem, Belanda (12 Agustus 1921) meninggal di Leiden (18 Mei 2012). sumber: https://twitter.com/htanzil/status/205102815327166467

Sepertinya hari makin singkat dan kian terlipat-lipat, sehingga aktivitas membaca karya sastra seperti novel — yang berisi ratusan halaman — menjadi pekerjaan yang pengap, bahkan untuk membaca puisi pendek sekali pun. Namun, absennya membaca karya sastra ini bisa jadi soal kebodohan yang dibiarkan berurat akar, juga karena jiwa homo fabulans kita yang kian terasingkan. Untungnya ada A. Teeuw, yang mengulurkan tangan lewat karyanya untuk membangkitkan saya dari dunia yang sangat asing ini.

Buku Teeuw yang sedang saya pegang ini terbit pada 1983, yang saya beli pada 6 September 2017 di Kota Bandung (di salah satu pemeran buku). Buku ini berisi kumpulan karangannya antara 1964–1980. A. Teeuw mungkin sudah cukup familiar di benak sebagian kita, ia adalah pria kelahiran Belanda yang pernah mengajar di Program Pasca Sarjana UGM. Pria yang meraih gelar doktoral di Belanda itu menaruh minat pada kesusasteraan Indonesia. Terbukti dengan tema beberapa karyanya seperti A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia (1961), Modern Indonesian Literature I & II (1967 & 1979), dan sebagainya.

“Manusia, di samping menjadi homo sapiens, homo faber, homo loquens, juga homo fabulans (makhluk bercerita atau makhluk bersastra).”

Ungkapan Teeuw di halaman 15 itu telah meruntuhkan alasan kita untuk tidak membaca karya sastra. “toh saya masih bisa hidup, bekerja, dan tidak jomblo tanpa karya sastra.. saya terlalu sibuk untuk menyentuh karya yang tidak instan itu…” Teeuw semakin memperkokoh argumennya:

“Di pangkuan ibunya manusia sudah menjadi manusia bersastra.” (hal. 16).

Di bawahnya, ia menaruh bukti bahwa kita sudah bersastra sejak dalam pangkuan ibu dengan hadirnya syair berikut:

Keplok ami-ami

Walang kupu-kupu

Awan maem roti

Bengi mimik susu

Artinya:

Bertepuk telapak tangan

Belalang kupu-kupu

Silang makan roti

Malam minum susu

Tip soal pembacaan dan pemahaman karya sastra ala Teeuw ini sudah ada dari kata pengantarnya. Katanya, secara garis besar, kegiataan pembacaan, pemahaman dan penilaian karya sastra perlu menggunakan perangkat teori sastra yang jelas dan tegas. Sementara teori sastra itu pun harus dibangun dengan kegiatan membaca karya sastra yang terus-menerus. Maka dari sinilah sebagai pembaca karya sastra, harus sudi juga membaca teori sastra. Salah satu referensi yang perlu dibaca adalah karya A. Teeuw ini.

Teeuw membagi tiga aspek yang perlu dikuasai pembaca sastra; pertama, memahami sistem kode bahasa, kedua memahami kode budaya, ketiga memahami kode bersastra yang khas. Dari keterangan ini bukan berarti untuk memahami karya sastra kita harus jadi kritikus sastra dulu. Teeuw meyakinkan kita pada fitrah kita sebagai homo fabulans itu.

Karena memahami karya sastra sama dengan kita berusaha mengambil makna yang tersembunyi atau disembunyikan oleh penulisnya, maka yang pelu diperhatikan adalah alat yang digunakan penulis dalam bersastra itu. Salah satu perangkat penyampai pesan adalah bahasa, alat komunikasi manusia yang menurut Teew bisa digunakan untuk dunia nyata dan rekaan. Selain itu, kode budaya pun ikut menyumbang ekspresi penulis pada karyanya. Aspek ini baru saya rasakan saat membaca terjemahan karya sastra yang sukar dipahami. Itu terjadi karena penerjemahan bahasa yang meninggalkan aspek budayanya yang melekat pada bahasa tersebut.

Sementara itu, di aspek ketiga adalah kode sastra. Teeuw menekankan, kode sastra ini mesti mendapat perhatian yang lebih daripada aspek lainnya. Karena sastra memiliki dunianya sendiri, maka mau tak mau pembacanya mesti bergumul pada kode-kode yang ada di dunia ini. Uraian perihal kode sastra ini menjuntai panjang, memakan halaman yang sangat panjang. Karena ini adalah telaah yang sangat singkat, maka saya mencoba untuk merangkumnya, dengan konsekuensi ada reduksi yang brutal.

Pertama, kode sastra yang melepaskan belenggu dari keterbatasan bahasa. Karya sastra lewat kode sastra ini menggunakan bahasa yang tidak semakna dengan bahasa keseharian. Sastrawan yang dicontohkan Teeuw adalah Sutarji. Menurutnya, ia adalah pengarang yang sering mengungkapkan kekesalannya terhadap bahasa sebagai sarana puisi (hal. 17). Pengarang macam ini merasa konvensi bahasa mesti dibuang, konvensi yang dapat mengekang kebebasan bergerak. Salah satu penghalang yang dimaksud adalah konvensi makna. Artinya, kode sastra ini menghadirkan pembebasan kata dari kungkungan maknanya.

Kedua, kode sastra yang menggunakan bahasa sehari-hari. Pengarang yang menggunakan kode ini bukan berarti tidak setuju pada penghilangan bahasa sehari-hari dari kelunturannya. Pengguna kode sastra ini berbeda dari yang pertama, karena lebih menganggap bahasa sebagai kawan daripada lawan. Alasan penguna bahasa sehari-hari ini menurut Teeuw “bahasa sehari-hari malahan merupakan sumber kekayaan sastra yang tak bisa habis digali”. Bahkan dari penggunaan kode sastra inilah bahasa sehari-hari yang tak bermakna itu kemudian dimaknai. Teeuw mengadirkan puisi Chairil Anwar “Isa” sebagai contohnya:

Itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah

rubuh

patah

Pemakaian bunyi vokal dan persamaan buni u dan a di atas dimaknai dalam kode sastra ini. karena menurut Teeuw bunyi itu mengandung efek yang kuat sekali, sehingga kita tidak mudah lupa akan baris-barinya. Bahkan memperkuat makna keseluruhan sajak tersebut.

Ketiga, kode sastra menurut jenis karya sastranya. Ini adalah tip memahami karya sastra dengan mengetahui jenis karya sastranya. Karena nuansa novel detektif berbeda dengan novel roman, begitu pula memahami novel fiksi ilmiah akan berbeda dengan cara menelaah novel berdasarkan kisah nyata. Teeuw mengambil cerita detektif sebagai contohnya. Menurutnya, ada konvensi yang sukar dilanggar oleh penulisnya dalam menulis cerita ini, misalnya mesti ada mayat, tindakan kriminal, dan adegan sejenisnya yang mendukung pada novel jenis ini. Dengan demikian, setiap jenis novel punya konvensi dan coraknya sendiri, dengan memahami corak inilah harapan memahami karya sastra itu sangat mungkin.

Keempat, kode sastra dengan fakta sastra yang tak terikat dengan fakta di dunia nyata. Kode sastra ini menekankan bahwa sastra itu memiliki dunianya sendiri. Artinya karya sastra itu tidak merujuk pada dunia nyata pengarang. Dunia nyata ya dunia nyata, dunia sastra ya dunia sastra. Pemisahan ini bukan berarti terpisah secara utuh, karena tetap saja karya sastra yang menggunakan kode ini memakai makna unsur bahasa yang dipakai dalam dunia nyata. Maka lewat kode sastra ini, menjadi haram hukumnya menyandingkan karya pengarang dengan dunia penulisnya, mengangap bawah karya sastra yang ditulisanya sebagai ekspresi dari kenyataan hidup yang dialaminya.

Kelima, kode sastra yang dibangun oleh kebenaran yang universal. Karya sastra lewat penilaian ini dibangun dari data bahasa yang mempunyai relevansi, dan signifikansi. Teeuw menampilkan pertanyaan apakah sajak masih boleh menampilkan cicak? (hal. 23) jawaban Teeuw membolehkan, syaratnya dunia kecicakan yang ditampilkan itu dapat diberi makna olehnya secara universal.

Keenam, kode sastra yang memakai unsur-unsur yang koheren. Sebuah karya sastra menurut Teeuw mesti mempunyai struktur konsisten lagi koheren, yang di tiap bagian menampilkan unsur esensial dan menempati tempat yang layak dan wajib (hal.24). Dari sini karya sastra dinilai dari stuktur yang dibangunnya, karena dari sanalah kita dapat merebut makna karangan tersebut.

Ikhtisar ini terlampau singkat dari jumlah seluruh halaman tulisannya. Apa yang saya ringkas merupakan yang bagi saya menarik saja. Sehingga rangkuman ini tidak berisi seluruh materi yang disampaikan Teeuw. Selebihnya, silakan baca sendiri saja. Akhirnya, saya selalu ingin ingat pada ungkapan Teeuw, bahwa misi pembaca karya sastra adalah merebut makna dari karangan tersebut. Itu saja yang saya ingat, bahwa kita punya misi merebut makna.

sumber: https://www.goodreads.com/book/show/13364921-membaca-dan-menilai-sastra

| Judul: Membaca dan Menilai Karya Sastra | tahun terbit: 1983 | Penerbit: Gramedia | Penulis: A. Teeuw |

--

--