Perusahaan Rekaman Zaman Now

Anton Kurniawan
antonkurniawan
Published in
3 min readNov 17, 2017
Tidak semua perusahaan rekaman memiliki studio rekaman sendiri

Bagaimana kita memikirkan dan mendefinisikan ‘perusahaan rekaman’ ataupun ‘label rekaman’ saat ini? Apakah kita sedang membayangkan sebuah bangunan kantor megah yang terletak di ibukota DKI Jakarta dengan beberapa lantai, dengan jumlah pegawai kisaran antara 50 hingga 70 orang karyawan/karyawati? He… he… he…

Tentunya era saat ini sudah banyak sekali yang berubah, baik secara ‘kondisi fisik’ sebuah perusahaan rekaman ataupun iklim ‘industri musik’-nya sendiri secara keseluruhan. Namun tenang saja… dalam tulisan di blog ini saya tidak akan membahas ataupun mengupas bagaimana kondisi perusahaan rekaman nasional kita yang dulu masih (ada) ataupun yang masih bertahan hingga saat ini.

Saya lebih menyukai untuk menyusun rencana-rencana mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa yang akan datang, yang lebih menjanjikan, dan tentunya tetap berhubungan dengan musik. Tulisan ini sendiri sebenarnya untuk merespon dan mempelajari dari rilis ‘secara diam-diam’ yang baru saja dilakukan oleh United Masters pada hari Rabu 15 November 2017 lalu.

United Masters merupakan perusahaan rekaman yang juga perusahaan startup dikomandani oleh Steve Stoute (salah satu mantan presiden di Interscope Records), dimana sejak tahun lalu telah mendapatkan pendanaan sekitar 70 juta dollar dari Alphabet (perusahaan induk Google), perusahaan yang aktif berinvestasi di bidang teknologi Andreessen Horowitz, investor Silicon Valley Floodgate, dan juga investasi dari perusahaan film 20th Century Fox. Berapakah nilai “70 juta dollar’ dalam dollar Amerika? Ya kurang lebih senilai: Rp 950.000.000.000,- (semoga saya tidak salah menghitung 💃, karena nilai tersebut masih sedikit bila dibandingkan dengan nilai korupsi KTP-el 💃).

Sebelumnya Steve Stoute mendirikan agensi periklanan Translation pada 2004 yang fokus dalam mengembangkan konsep branding musik dengan produk. Hingga setelah melewati masa sekian belas tahun, Steve Stoute berinisiatif mendirikan United Masters. Dengan adanya konsep perusahaan rekaman model begini, tanpa harus berbicara istilah ‘disrupsi’, tentunya akan banyak merubah pola-pola tradisional di industri musik yang telah berjalan selama ini. Mungkin saja tidak akan ada lagi istilah label mayor, label minor ataupun label niche.

Meski bergaya kekinian dan memiliki tagline: “Your future has no labels”, namun menurut pendapat saya sebenarnya peran United Masters ini kurang lebih bakal bertindak ala distributor musik digital dan kombinasi gaya sebagai agensi kreatif/marketing.

Artis siapapun yang akan bergabung dengan United Masters yang berkantor pusat di San Francisco ini akan diminta untuk menyetor biaya administrasi yang tidak terlalu mahal, dan nantinya hasil royalti dari penjualan lagu atau karya akan dibagi oleh kedua belah pihak. Karya-karya lagu dari si artis tersebut akan didistribusikan ke berbagai saluran pengaliran musik seperti Spotify dan YouTube. Sementara untuk master rekaman lagu tetap sepenuhnya menjadi hak milik artis. Perjanjian lainnya yang terkait yaitu penjualan merchandise dan penjualan tiket konser ada kesepakatan untuk dibagi oleh kedua pihak. Oya in-return disisi artis, dari perjanjian ini adalah nantinya artis akan mendapatkan akses data ataupun metric yang bisa dikelola terkait dengan fan, demografi, dll.

Apakah kita disini bisa mengadopsi dan memodifikasi konsep perusahaan rekaman kekinian tersebut? Tentunya bisa saja dengan segala kreatifitas dan kinerja maksimal. Menurut saya saat ini kita sangat butuh untuk mengembangkan konsep-konsep seperti ini (termasuk model bisnisnya), agar musik nasional bisa terus tumbuh, industrinya bisa lebih maju dan berkembang. Kuncinya adalah tanpa perlu melibatkan banyak orang dari ‘internal industri’, kita butuh merekrut SDM berkualitas; katakanlah ambil pentolan-pentolan dari Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, ataupun BukaLapak, untuk bekerja sebagai COO, CMO, CFO, CTO, dll. Kita tidak akan membangun perusahaan rekaman, namun kita akan membangun perusahaan konten musik yang didukung oleh teknologi terkini.

Oya, sebenarnya konsep ini sebenarnya bukan merupakan ‘kerjaan’ baru buat Google, karena sebelumnya lewat 300 Entertainment, sebuah perusahaan rekaman Amerika yang didirikan pada 2012 oleh musik veteran Lyor Cohen (Def Jam, Warner Music) sebagai CEO, Google merupakan investor utama di perusahaan yang bergaya content company tersebut dengan menyuntik dana sekitar 5 juta dollar. Sebuah perusahaan raksasa teknologi seperti Google tetep pengen juga untuk ‘mencicipi’ jualan receh dari musik dan berniat menguasai copyright.

Sumber: Music Business World, Techcrunch, Billboard, dan WSJ

Foto: John Hult

--

--