Hidup

Renungan dari kematian.

Muhammad Arsjad Yusuf
Apostrof
5 min readAug 3, 2023

--

Gambar dari Pixabay yang diambil dari canva.com

Beberapa waktu yang lalu, tepat setelah membuka pintu, aku melihat seekor kucing berbaring santai di sudut taman rumahku. Kucing itu tidak pernah kulihat sebelumnya di kompleks rumahku. Saat itu hari sedang gerimis, dan sejauh yang dapat kuingat, kucing tidak begitu suka air. Setelah kudekati, ternyata ia terbujur kaku. Mati. Benar-benar mati. Tidak bisa lebih mati lagi daripada itu. Aku menatapnya dengan iba, karena merasa kelak bernasib sama. Untuk menghormatinya, ia kuberi nama Schrödinger.

Wajahnya dipenuhi kerumunan semut yang mencegahku melihat rautnya secara utuh untuk memastikan apakah ia mati bahagia atau tidak. Penalaran abduktifku menarik kesimpulan, ia sudah tahu ajal akan menghampirinya lalu mencari tempat untuk menunggu ajal menjemputnya. Mungkin, ia menjauhi tempat asalnya supaya keluarga dan temannya tidak bersedih. Dan dari seluruh sudut taman yang ada di dunia ini, ia memilih sudut taman rumahku. Mungkin, ia sudah berada di sana dan mati sebelum gerimis turun, atau sudah tidak lagi sanggup berpindah saat itu terjadi.

Aku membayangkan, mungkin ia mirip manusia yang menginginkan taman surga. Hanya saja, ia memilih taman rumahku sebagai taman surganya. Adakah kehidupan setelah mati baginya? Atau sudut taman rumahku itulah akhir baginya? Lalu, apa bedanya dengan kita? Mungkin kita juga bernasib sama, mati adalah akhir segalanya.

Betapa lancangnya aku. Manusia tidak abadi? Tidak abadi?! Yang benar saja? Pikiran cacat macam apa itu? Kita akan hidup selamanya! Kita punya jiwa dan kehidupan setelah mati. Kita cukup bijak untuk memiliki itu. Saking bijaknya, kita bahkan menamakan spesies kita Homo sapiens (manusia bijak).

Rasanya, aku mulai mengerti kenapa manusia terus-menerus berperang dan berebut kekuasaan.

Aku bisa memilih menutup mataku dari hal-hal yang tidak ingin kulihat, seperti melihat jasad Schrödinger dengan jarak kurang dari 20 sentimeter. Tetapi, aku tidak bisa menutup pikiranku dari hal-hal yang ingin kuketahui. Karenanya, seperti gerimis yang semakin besar dan menerpa jasad Schrödinger, kata-kata dalam pikiranku be-revolusi menjadi pertanyaan-pertanyaan berat yang menghujani diriku dan membuat otakku yang cetek ini semakin tersiksa.

Manusia sering kali menyepelekan kebodohannya sebanyak ia menyombongkan kecerdasannya. Kebodohan saja sudah sangat menyiksa. Mengakui kebodohan? Itu seperti bunuh diri. Karena ketidaktahuan adalah derita yang tidak terperikan, manusia menciptakan jawaban untuk segalanya. Termasuk soal hidup dan kematian. Padahal, khususnya soal kematian, kita manusia tidak lebih tahu dibanding Schrödinger. Aku dan sahabatku sering meledek manusia dengan sebutan: bijaksana-bijaksini. Di mana pun kita berada, kita akan memastikan diri kita selalu terlihat bijak.

Lalu, bagaimana semua ini dimulai?

Well, beberapa tahun lalu (katanya), sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu, materi dan antimateri saling menghancurkan satu sama lain. Puing-puing kehancuran mereka adalah energi cahaya, seperti ayat ketiga dari pasal pertama kitab Kejadian: “Jadilah terang!” Ilmuwan menyebutnya big bang.

Karena asimetris, materi yang berjumlah lebih banyak itu tersisa, dan menjadi semesta. Kisah materi dan energi itu kita sebut fisika.

Materi dan energi kemudian bercinta, anak cucu mereka adalah atom dan molekul. Genealogi mereka kita namakan kimia.

Fast forward, kira-kira 4,6 miliar tahun yang lalu (katanya), bumi terbentuk. Di dalamnya, hasil inses hukum fisika dan reaksi kimia melahirkan organisme, nama panggilannya adalah biologi. Ia ber-evolusi, menjadi Homo sapiens, punya kesadaran, punya kecerdasan, memiliki “sihir” bernama bahasa. Mantranya kita sebut konsep, teori, dan fiksi.

Beberapa ribu tahun kemudian, mantra baru ditemukan di Mesopotamia. Ia bernama angka. Separuh bisu, ia menjelaskan ukuran. Ia adalah subsistensi, mencoba menjelaskan eksistensi. Angka, mencoba menjelaskan realita. Tidak yakin bisa begitu? Bacalah Principia Mathematica kalau berani! Si genius Bertrand Russell dan sahabatnya menghabiskan sekitar sepuluh tahun untuk menyusun buku itu, dan di dalamnya ratusan halaman mereka dedikasikan hanya untuk membuktikan bahwa 1+1=2. Percayalah, bagiku buku filsafat matematika itu isinya seperti mimpi buruk. Aku bahkan tidak begitu yakin Principia Mathematica ditulis untuk dibaca oleh manusia.

Konsep, teori, dan angka mencoba menjelaskan hidup ini melalui fisika, kimia, dan biologi. Tetapi, fiksi punya pendapat lain. Israel, Siddharta Gautama, Yesus Kristus, dan Muhammad bin Abdullah menggunakannya untuk menjelaskan kehidupan. Surga, neraka, Tuhan, dan keabadian adalah jawaban mereka. Kecuali Siddharta, hidup adalah penderitaan, bebaskan dirimu darinya, itulah nirwana. Saat sebagian besar manusia lain mencari kebenaran, mereka menciptakan “kebenaran”. Sedikit tidak biasa memang, tetapi itu keren.

Kemudian aku dan kalian lahir. Melihat Schrödinger mati, aku menulis tulisan ini, dan kalian membacanya. Bukankah sulit dipercaya? Untuk memahami hidup secara utuh, kita harus terlebih dahulu mati. Paradoks macam apa itu? Benarkah kisah setelah kematian seperti yang sebagian orang-orang “suci” itu katakan? Atau kita semua sebenarnya sama-sama tersesat? Tidak tahu yang telah berlalu, yang sedang terjadi, dan yang akan datang.

Atau memang kematian adalah akhir dari segalanya? Tidak ada lagi yang akan menangisi kita sepanjang masa. Tidak ada lagi nafsu sepanjang birahi. Hitam. Gelap. Kosong dan terlupakan. Adakah eksistensi esensi sebelum kesadaran, kecerdasan, dan bahasa muncul? Atau tiada artinyakah hidup ini sampai-sampai kita harus mengais maknanya dan menafsirkannya sendiri?

Ribuan tahun manusia mempertanyakannya. Bukankah membahagiakan kalau kita memiliki jawaban pasti untuknya? Sekurang-kurangnya, aku yakin akan mati dengan tenang kalau tahu siapa yang meledakkan materi dan antimateri untuk memulai semua kekacauan ini. Mungkin, manusia harus menunggu lebih lama untuk menjadi supergenius dan menemukan jawaban definitif atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Aku tidak butuh satu survei pun untuk mengatakan 99,99% manusia tidak menginginkan kematian. Karena itu, semoga panjang umur menjadi doa favorit kita. Bukan karena hidup begitu menyenangkan, tetapi karena kita tidak tahu apa pun soal kematian. Mati adalah keniscayaan, begitu kata orang bijak. Mati adalah masalah teknis, begitu kata sains. Mana yang benar? Waktu akan membuktikannya. Siapa yang tahu nanti akhirnya Google berhasil memenangkan pertarungan melawan kematian dengan sains dan teknologi melalui proyek Calico. Saat kematian menjadi pilihan, seluruh nilai, paradigma, moralitas, dan pertanyaan kita tentu secara radikal akan berubah.

Sayang, andaipun itu terjadi kemungkinan besar aku dan kalian sudah mati. Persis seperti Schrödinger. Sial.

Aku memberikan sejumlah uang kepada manusia bijak lain untuk memakamkan Schrödinger. Kuharap aku melakukan itu sendiri. Tetapi, saat itu aku harus menuju ke tempat berbeda, melakukan aktivitas lain yang lebih bijaksana. Aku mendoakanmu Schrödinger. Semoga di mana pun berada, kau mendapatkan taman lain yang jauh lebih indah daripada taman rumahku.

Aku masih harus melanjutkan hidupku, mencari yang tidak pasti. Membunuh sisa-sisa pertanyaan dalam pikiranku, sambil menunggu mati.

--

--