Hudaibiah

Bagian I

Muhammad Arsjad Yusuf
Apostrof
9 min readAug 5, 2023

--

Gambar dari Pixabay yang diambil dari canva.com

Siapa pun yang mengharuskan Muhammad berada dalam kategori baik dan benar tertentu, berhentilah membaca! Tulisan ini bukan untukmu. Siapa pun yang tidak punya masalah seperti itu, kuharap tulisan ini ada gunanya.

Sun Tzu pernah berkata, “Perang adalah tipu daya.” Tetapi, bahkan dalam keadaan yang diametral dengan perang pun, tipu daya ternyata juga menjadi esensi. Dan tulisanku akan bercerita tentang itu. Tentu saja, bukan dalam perang, namun dalam kesepakatan legal-formal bernama Perjanjian Hudaibiah.

Sekitar awal 628 Masehi, Muhammad bermimpi berdiri di hadapan Kakbah, berihram sambil memegang kunci Kakbah di tangan kanannya. Menyambut mimpi, ia mengajak umatnya kembali ke Makkah. Untuk berihram dan berumrah, menyapa Tuhan di rumah-Nya. Kembali ke Makkah bukan hanya mimpi Muhammad pada hari itu saja. Sejauh apa pun matanya memandang, bayangan Makkah selalu terlintas. Secerah apa pun pikirannya menaksir masa depan, cahaya Makkah meredupkannya. Di tengah terik panas padang pasir Arab abad ketujuh, kampung halaman dan suku bukanlah sekadar tanah kelahiran dan keluarga, tetapi identitas. Bagi Muhammad, Makkah dan Quraisy adalah identitasnya. Makkah dan Quraisy adalah segalanya.

Sejak gelombang takdir menghempaskannya ke Madinah, ia bersumpah Tuhan akan mengembalikannya ke Makkah dengan lantunan firman, “… larādduka ilā ma‘ād …” (Alquran, surah Alqasas, ayat 85). Mimpi kembali ke Makkah dapat kapan pun Muhammad gunakan sebagai alasan memobilisasi umatnya pergi ke Makkah, namun memilih waktu pada saat Abu Sufyan — sang pemimpin Makkah — tidak berada di sana jelas tidak menunjukkan kebetulan sama sekali. Dengan sedikit dorongan politik; doa; taktik; dan keberuntungan, tanpa ragu ia yakin Makkah akan segera berada dalam genggamannya.

Clausewitz pernah berkata, “Perang adalah bentuk lain dari kelanjutan politik.” Tetapi sebaliknya, dalam kamus Muhammad, apa yang tidak bisa dimenangkan dengan perang maka menangkanlah dengan politik. War first, politics later. Muhammad tentu menyadari perang konvensional bukanlah langkah tepat untuk menaklukkan Makkah. Kota tanah tumpah darah dan kelahirannya, kampung halaman Quraisy yang dalam suka dan duka adalah keluarganya, dan di atas segalanya — meskipun molekul tanahnya tidak berbeda dengan tanah lainnya — tanah Makkah adalah tanah yang suci. Namun, siapa pun yang bisa membaca karakter Muhammad dapat menyimpulkan, kalaulah takdir tidak memberinya pilihan selain perang untuk menaklukkan Makkah, maka peranglah yang akan ia sambut.

Waktu tidak selamanya memihak. Valar morghulis. Muhammad sadar cepat atau lambat Tuhan akan memanggilnya. Tidak bisa ditawar lagi, menaklukkan Makkah secepatnya adalah fardu ain dalam langkah strategis Muhammad memimpin bangsa Arab menguasai dunia. Tidak kurang dan tidak lebih, karena kedaulatan adalah risalah dan tugas sucinya. Tetapi untuk sekarang, ia sangat yakin perang bukanlah cara yang tepat untuk menaklukkan Makkah. Dan seperti yang sering kali terjadi, meskipun tidak selalu, ia memilih keputusan yang tepat.

Operasi khusus adalah bagian dari operasi militer yang sering kali bisa menghasilkan dampak politik yang lebih besar dengan investasi waktu, korban, dan biaya yang jauh lebih sedikit dibanding perang konvensional. Sedikit maju beberapa abad setelah Muhammad, kisah Edward III dari Inggris bisa digunakan sebagai contoh. Pada Oktober 1330, Edward III mengutus William Montagu menyusup ke Kastil Nottingham untuk menculik ibunya, Ratu Isabella, dan kekasihnya yang bernama Roger Mortimer. Keduanya berkuasa setelah sekitar tiga tahun sebelumnya berkomplot membunuh Edward II, ayah dari Edward III. Setelah operasi penculikan berhasil, Mortimer dieksekusi mati dan Isabella dipaksa pensiun serta tinggal di sebuah rumah peristirahatan di wilayah pedesaan. Operasi khusus tersebut sukses mentransfer kekuasaan kepada Edward III yang tanpa itu mungkin harus melakukan perebutan kekuasaan dengan perang konvensional yang akan memakan waktu lama, biaya tinggi, dan korban yang tidak sedikit.

Kembali ke masa Muhammad, sekitar satu tahun sebelum Perjanjian Hudaibiah, Muhammad telah mencoba melakukan operasi khusus dengan misi pembunuhan Abu Sufyan. Kematian Abu Sufyan diharapkan menghasilkan alternatif situasi politik yang lebih menguntungkan bagi Muhammad. Karena, kekosongan kepemimpinan akan membuat Makkah lebih rentan untuk dikalahkan, atau bahkan lebih baik lagi, pemimpin pengganti Abu Sufyan adalah orang yang mendukung Muhammad. Skenario ini sangat mungkin terjadi mengingat beberapa orang dan kelompok yang berpengaruh di Makkah adalah agen Muhammad, misalnya Abbas bin Abdul Muthalib dan Bani Khuza’ah. Sayangnya, operasi khusus untuk membunuh Abu Sufyan yang diemban Amar bin Umayyah ini adalah salah satu dari sedikit operasi khusus Muhammad yang gagal. Meskipun begitu, Amar berhasil lolos dari kejaran pasukan Makkah dan kembali ke Madinah. Membuat Makkah tidak bisa memastikan siapa pemberi perintah pembunuhan tersebut, kecuali hanya menduga: Siapa lagi kalau bukan Muhammad?

Abbas dan Bani Khuza’ah secara rahasia mendukung Muhammad. Mereka melakukan aktivitas intelijen di Makkah dan secara berkala memberikan informasi penting kepada Muhammad. Hubungan ini dapat diketahui dari beberapa kejadian. Dalam kasus Abbas, meskipun tidak memeluk Islam — atau sekurang-kurangnya merahasiakan keislamannya — sulit rasanya mengatakan Abbas tidak bekerja untuk Muhammad mengingat dalam Baiat Aqabah II ia hadir mendampingi Muhammad. Baiat itu adalah cikal bakal Piagam Madinah yang menjadi konstitusi negara Madinah. Kalau bukan secara Islam, kemungkinan besar Abbas mendukung Muhammad karena kepentingan politik mengingat Muhammad adalah keponakannya sendiri dan mereka sama-sama anggota klan Bani Hasyim.

Meskipun pihak Makkah sadar Abbas adalah paman Muhammad dari klan yang sama, mereka dapat memercayai Abbas. Karena, memang tidak semua yang satu klan dengan Muhammad berarti mendukung Muhammad. Sebut saja Abu Lahab yang juga paman Muhammad dari klan yang sama, tetapi justru menjadi musuh bebuyutan Muhammad. Terlebih, Abbas juga ikut berperang melawan Muhammad dalam perang Badar. Kala itu, pihak Makkah kalah dan Abbas termasuk salah satu orang yang ditawan oleh Muhammad. Tidak begitu sulit bagi Muhammad untuk memerintahkan dan memastikan pasukannya di Perang Badar yang hanya berjumlah sekitar 300 orang saja untuk tidak membunuh Abbas, melainkan cukup menjadikannya tawanan perang. Apa yang terlihat sebagai penawanan oleh Makkah adalah bentuk kesempatan Muhammad berkomunikasi dengan Abbas dan mendapatkan informasi penting sambil mengatur strategi. Abbas kemudian dilepaskan dari penawanan dan kembali ke Makkah dengan pretext telah menebus dirinya sendiri melalui sejumlah uang tebusan.

Mengenai Bani Khuza’ah, jauh sebelumnya Muhammad telah berhasil membuat kesepakatan dengan mereka. Bani Khuza’ah bersedia mendukung Muhammad serta melakukan kegiatan intelijen untuknya. Sama halnya dengan Abbas, mereka tidak menjadi muslim — atau sekurang-kurangnya merahasiakannya. Bani Khuza’ah telah terbukti mampu memberikan servis intelijen bagi Muhammad pasca-Perang Uhud. Pasukan Makkah yang dipimpin Abu Sufyan mundur di akhir Perang Uhud karena menemukan kebuntuan untuk menghabisi Muhammad yang lebih diuntungkan dengan posisi pasukan yang berada di dataran yang lebih tinggi, yaitu di kaki gunung Uhud.

Setelah pasukan Makkah pergi, Muhammad dengan jenius secepatnya mengumpulkan sisa pasukannya dan berjalan ke arah Makkah untuk menunjukkan seolah-olah ia mengejar pasukan Makkah. Ia kemudian mendirikan kemah di Hamra Al Asad dan memerintahkan pasukannya menyalakan sekitar 500 titik api unggun pada malam hari untuk menunjukkan kesan bahwa pasukannya bertambah banyak. Selain itu, untuk memastikan siasatnya berjalan, Muhammad mengutus Ma’bad bin Abu Ma’bad bersama orang-orang dari sukunya, Bani Khuza’ah, untuk menjalankan psywar terhadap pasukan Makkah. Ini semua dilakukan untuk mengantisipasi apabila pasukan Makkah hanya berpura-pura mundur sebagai bersiasat dan menyerang kembali dengan tiba-tiba untuk menghabisi Muhammad.

Benar saja, mundurnya Abu Sufyan ternyata hanya siasat, ia memang berniat kembali untuk menyerang. Ketika bertemu Ma’bad dan sukunya di perjalanan, Abu Sufyan menanyakan situasi pasukan Muhammad. Ma’bad lalu bercerita kepada Abu Sufyan bahwa seluruh pasukan di Madinah yang pada awalnya menolak berperang sangat menyesal setelah melihat banyak korban dari pasukan Madinah, mereka terlihat sangat marah dan bergabung bersama Muhammad untuk membalas dendam kepada Abu Sufyan. Tentu saja, semua cerita Ma’bad itu tidak benar. Untuk terdengar lebih meyakinkan, Ma’bad bahkan menambahkan bahwa ia tidak pernah melihat pasukan yang semarah itu sebelumnya dan menyarankan agar Abu Sufyan tidak kembali menyerang. Mengingat jumlah api unggun yang sangat banyak, ditambah keterangan Ma’bad, serta kepercayaannya kepada Bani Khuza’ah maka Abu Sufyan mengurungkan niatnya dan benar-benar kembali ke Makkah. Kalau bukan karena siasat psywar ini, besar kemungkinannya Muhammad dihabisi pasukan Abu Sufyan yang jumlahnya sekitar enam kali lipat pasukan Muhammad. Dalam kaitannya dengan Perjanjian Hudaibiah, baik Abbas dan Bani Khuza’ah kelak akan memainkan perannya masing-masing.

Roosevelt pernah berkata, “Tidak ada kebetulan dalam politik. Apabila suatu kejadian terjadi, Anda boleh bertaruh kejadian itu memang direncanakan.” Bukan kebiasaan Muhammad untuk menceritakan semua yang ia rencanakan, meskipun kepada sahabat terdekatnya. Saat berbicara, ia tidak menggunakan dua puluh kata apabila tujuh kata cukup. Kalau dalam beberapa riwayat ia sering mengulang kalimat yang sama sebanyak tiga kali, itu hanya karena kebiasaan bangsa Arab yang terbiasa menunjukkan kesungguhan dengan pengulangan kalimat. Karakter ini pun terlihat dalam Alquran yang bahasanya singkat dan padat, namun sering ditemukan pengulangan ayat di dalamnya.

Salah satu contoh pembatasan informasi yang dilakukan Muhammad kepada orang-orang di sekitarnya adalah ketika ia mengutus Abdullah bin Jahsy bersama delapan orang lainnya dalam sebuah operasi intelijen di Nakhla. Muhammad memberikan sebuah amplop yang hanya boleh dibuka setelah Abdullah melakukan dua hari perjalanan ke arah Makkah. Sikap Muhammad melakukan pembatasan informasi ini selain berfungsi bagi internal pasukannya juga dilakukan untuk menjaga diri dari pengkhianat di sekitarnya yang bisa membocorkan informasi keluar. Dari perspektif karakter ini, meskipun Muhammad tidak mengucapkan motif politik apa pun terkait perjalanan umrah yang mengawali Perjanjian Hudaibiah, dengan segera motif itu akan terlihat.

Aku tahu, aku menulis terlalu banyak hal yang tidak berkaitan langsung dengan Perjanjian Hudaibiah. Tetapi, melewatkannya begitu saja sama dengan menghilangkan sesuatu yang spesial dari Perjanjian Hudaibiah itu sendiri. Mirip tulisan-tulisan sebagian muslim yang sering kali mereduksi kesuksesan Muhammad yang diraih dengan kapasitas intelektualnya, menjadi kesuksesan yang semata-mata karena mukjizat. Tidak heran, membaca tulisan-tulisan seperti itu membuat banyak pengikut Muhammad sering kali bergantung pada doa dan keajaiban. Bukan memaksimalkan usaha dan pikiran dalam mencapai berbagai tujuan. Anyway, let’s move on.

Informasi Abu Sufyan tidak berada di Makkah kemungkinan besar diperoleh dari Abbas atau Bani Khuza’ah. Ketidakhadiran Abu Sufyan kelak akan berpengaruh pada pengambilan keputusan oleh elit Makkah yang mengawali Perjanjian Hudaibiah.

Muhammad akhirnya melakukan perjalanan bersama sekitar 1.400 orang umatnya untuk melaksanakan umrah di Makkah. Tanpa senjata. Tanpa pekik deklarasi perang. Hanya dengan beberapa puluh unta yang akan dikurbankan dan lantunan kalimat labbayk allahumma labbayk: Kami memenuhi panggilan-Mu! Wahai Tuhan, kami memenuhi panggilan-Mu! Baik kurban maupun kalimat, keduanya hanya untuk Tuhan. Atau bagi salah satu di antara mereka, juga bagian dari simbol politik.

Di gurun-gurun Arab, selain manusia tampaknya pasir bersama angin pun mampu menghembuskan berita perjalanan umrah Muhammad ke seantero Hijaz. Berita ini menjadi perhatian masyarakat Hijaz kala itu. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya mungkin setara menunggu lanjutan kisah film seri pada abad ke-21. Makhluk-makhluk Arab di sekitar Madinah-Makkah pun pasti bertaruh Muhammad tidak akan begitu saja bisa memasuki Makkah tanpa perlawanan. Kalau ada yang mengira Muhammad tidak tahu itu, ia belum tahu siapa Muhammad. Tetapi, umat yang mengikutinya tampaknya menganggap mimpi Muhammad adalah jaminan mereka pasti memasuki Makkah tanpa kendala berarti. Mereka berjalan dengan semangat dan penuh percaya diri, tanpa tahu keluguan mereka akan segera dikejutan dalam waktu dekat.

Keputusan melakukan perjalanan umrah jelas bukan tanpa pertimbangan. Perjalanan ke Makkah bukanlah misi bunuh diri. Ketika pasukan berkuda Khalid bin Walid keluar untuk menghadang, Muhammad tidak mundur, atau maju menghadapi Khalid. Saat itu, ia menggunakan jasa seorang penunjuk jalan dan meraih posisi di Hudaibiah dengan rute yang paling efisien. Hudaibiah adalah lokasi yang tidak mudah dilalui oleh kuda, kendaraan pasukan Khalid. Sesampai di sana, ia memilih tempat di dekat sebuah kolam air yang berdampingan dengan pohon akasia. Bermalam di sana dengan tidak lupa menyalakan api unggun yang asapnya akan membuat siapa pun yang tidak buta bisa melihat di mana lokasi ia berada. Muhammad sudah memilih lokasi negosiasi dan menunggu lawannya di sana. Kali ini bukan dengan senjata, tetapi kecerdasan.

Khalid dan pasukannya hanya mampu menghadang Muhammad dan pengikutnya yang sudah berihram pada pagi hari. Mereka menambatkan untanya dan bersiap-siap menuju Makkah dengan berjalan kaki. Pada masa pencitraan tidak bisa dilakukan melalui teknologi, reputasi adalah segalanya. Reputasi adalah kapital. Dan reputasi Makkah adalah menjaga keamanan siapa pun tamu Tuhan yang berkunjung. Menyerang Muhammad yang tanpa senjata dan sudah berihram setara dengan membubarkan perusahaan besar yang menjadi mesin uang Makkah. Muhammad dengan lantang mendeklarasikan bahwa ia akan bertahan di tempatnya sampai Makkah mengizinkannya masuk untuk melaksanakan umrah.

Khalid tidak mampu mengambil langkah apa pun tanpa keputusan pasti dari elit Makkah. Berumrah ketika Abu Sufyan tidak ada di pos pengambilan keputusan adalah tepat. Sulit membayangkan orang yang satu tahun sebelumnya hampir saja mati dibunuh oleh utusan Muhammad akan melakukan kesepakatan sebagaimana terjadi di Hudaibiah kemudian. Sebagian elit Makkah yang secara rahasia mendukung Muhammad — salah satunya Abbas — tentunya mendesak Makkah agar mengizinkan Muhammad masuk. Lagi pula, Muhammad tidak bersenjata dan hanya ingin melakukan umrah yang sudah menjadi tradisi Quraisy sebelum ia lahir. Bani Khuza’a dan sekutu Makkah lainnya yang memiliki pengaruh di Makkah juga menyuarakan hal yang sama. Bahkan, ada yang mengancam akan keluar dari aliansi jika Makkah mengambil langkah fatal. Para agen dan pendukung Muhammad di Makkah kemudian terbukti efektif mengarahkan keputusan Makkah untuk melakukan upaya negosiasi dengan Muhammad.

Makkah sudah menghadapi sengitnya perlawanan Muhammad dalam perang bersenjata. Sekarang mereka harus menghadapi kegigihan Muhammad yang hanya berlapiskan dua lembar kain ihram dan tidak menginginkan apa pun kecuali memasuki Makkah untuk berumrah. Tanpa intensi perang, tanpa intensi apa pun, kecuali perdamaian.

Tetapi sama halnya dengan perang, setidaknya untuk kali ini, perdamaian adalah tipu muslihat.

(Bersambung)

--

--