Muridku, Anakku

Bagian I

Neti Muliati
Apostrof
2 min readAug 16, 2023

--

Gambar dari Getty Images Pro yang diambil dari canva.com

Dahulu, saat masih kecil, belum terbersit keinginan penulis untuk menjadi guru. Terlahir sebagai anak seorang guru, tentu tidak aneh bila akhirnya penulis mengikuti jejak orang tua. Guru identik dengan pendidik lahir batin anak didik. Kami tidak hanya memperhatikan perkembangan belajar mereka, tetapi juga ikut mengarahkan perubahan perilakunya agar lebih baik.

Pertemuan kami dengan beragam pribadi murid setiap tahun menjadi kenangan tersendiri yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Biarlah tulisan ini menjadi awal keseruan seorang guru yang mengurai ingatan masa lalunya; pendidik yang mungkin kadang hanya bisa meraba dan menduga: Ada apa dan mengapa dengan anak didik?

Pertama kali mengajar saat kuliah di IKIP Jakarta (sekarang UNJ), penulis bergabung dengan TK keliling binaan kampus. Lokasinya ada di beberapa tempat di Jakarta dan Bogor. Setiap Sabtu, kami mengajar anak-anak usia prasekolah. Duduk bersama, bernyanyi, bercerita, bermain, dan segala aktivitas yang dilakukan menjadi pemelajaran penting bagi kami, calon guru. Kami belajar berbagi tugas dengan rekan yang lain serta ikut mengawasi anak-anak yang kadang jumlahnya cukup banyak apabila dibandingkan dengan tempatnya yang terbatas.

Lokasi yang berbeda memiliki tingkat kesulitan beragam. Lokasi yang dekat terminal tentu lebih ramai; suara kami harus bisa mengimbangi suara di luar. Ada lokasi yang menggunakan garasi rumah penduduk; antusiasme anak-anak yang belajar membuat kami jatuh cinta kepada mereka. Ada pula lokasi di masjid dengan suasana religi yang sangat kuat sehingga membuat kami betah berlama-lama di sana.

Penulis juga sempat mengajar di taman pendidikan Al-Qur’an yang sedang berkembang pesat saat itu. Kami dibekali pendidikan terlebih dahulu sebelum terjun langsung mengajari anak-anak. Satu hal yang selalu teringat, yakni tatapan mata polos nan suci tiap anak yang membuat luluh hati siapa pun yang melihatnya.

Penulis menyadari masa kanak-kanak sungguh jadi masa paling penting dalam tahapan perkembangan hidup insan. Saat mata polos itu menatap bingung karena lupa huruf hijaiah, hatiku pun tersentuh, “Nak, sungguh luar biasa, semangat belajarmu kalahkan rasa kantukmu.”

Namun, saat ia bisa menyebutkan huruf hijaiah dengan tepat, senyum tawa riang langsung terukir. Anak-anak kecil memiliki emosi yang mudah berubah. Namun, semuanya menjadi pemelajaran yang luar biasa. Salah satu anak yang paling kecil namanya Husna. Ia begitu mungil dan sangat menggemaskan. Tiap kali diajari satu huruf hijaiah maka ia akan berteriak kencang dengan suara imut. Satu huruf diselingi cerita, permainan, atau lagu. Yang penting ia tidak merasa tertekan saat belajar. Pembelajaran yang menyenangkan untuk anak usia dini insyaallah memberi dampak positif bagi perkembangan anak.

Penulis tidak pernah menyangka beberapa tahun kemudian penulis bertemu lagi dengan Husna sebagai murid SMA. Masyaallah, ia telah tumbuh dewasa. Ada rasa haru karena Allah masih mengizinkan penulis bertemu dan mengajarinya kembali.

Mengenang masa awal mengajar, membawa ingatan jauh. Namun, berbekas indah di hati. Muridku sejatinya sama dengan anakku sendiri.

--

--

Neti Muliati
Apostrof

Hanya insan biasa berharap husnul khotimah. Kata sebatas tulisan semata, di baliknya relung hati yang paham. Merindu jadi amal jariah tak putus hingga akhir