Di Dalam Kotak

Oleh Kōno Taeko

Rizki Ardhana
Ardhanisme
5 min readOct 12, 2021

--

Ilustrasi. Sumber: Unsplash

Tidak ada kejadian buruk yang kualami pada saat pergi ke luar pada hari itu. Badanku juga tak terasa terlalu capek; bahkan, aku pulang dengan keadaan mood yang baik. Aku masuk ke dalam lift dan menekan tombol ‘Door Close’ dan ‘3’, tapi saat kulihat perempuan lain terburu-buru untuk mengejar pintu yang mulai tertutup, aku memencet tombol ‘Door Open’.

Dengan membopong kardus besar di antara kedua tangannya, ia masuk melewati pintu yang terbuka lagi menuju ke dalam lift bersamaku, tetapi ia tak mengucapkan kata terima kasih sekalipun. Walaupun begitu, setelah kupencet lagi tombol ‘Door Close’, aku bakal menanyai wanita yang kedua tangannya penuh ini “Lantai berapa?” dan memencetkan tombol untuknya. Namun, sebelum aku sempat menanyakan hal tersebut, dia berkata:

“Lantai sembilan, ya.”

Tanpa balasan, kupencet angka ‘9’; tapi aku menyesal mengapa tidak kuabaikan saja dirinya. Padahal, salahnya sendiri telah memakai tangannya untuk memalut bungkusan sebesar itu: dia seharusnya tak boleh memaksa orang lain seperti itu.

Aku hanya bisa menggerutu atas ketakpekaan wanita itu selama waktu yang dibutuhkan kotak nan berisi kami berdua itu untuk naik ke lantai tiga. Pada saat kotak itu berhenti naik dan pintunya terbuka, secara impulsif kugerakkan tanganku untuk menekan semua tombol — mulai dari tombol ‘4’, hingga nomor ‘9’ yang terkutuk dan telah bersinar sebelumnya.

“Silakan,” ucapku, “Aku telah memencetkan semuanya untukmu.”

Setelah meninggalkannya dengan kata-kata itu dan panel yang penuh dengan tombol yang menyala, aku melangkah keluar dari lift.

Gumaman “Aduh — ” terdengar, lalu aku berbalik dan melihat perempuan itu sedang berusaha keras untuk mengambil kuncinya dari tas di tangannya tanpa melepaskan genggaman dari bungkusan besar yang ia bopong.

Biasanya, jika masih ada orang di dalam lift pada saat telah sampai di lantai tiga, aku akan memencetkan tombol ‘Door Close’ demi mereka setelah diriku keluar dari lift. Orang-orang yang keluar dari lift di lantai dua pun juga sering melakukan kebaikan tersebut untukku. Pintunya memang akan menutup dengan sendirinya, tapi bakal memakan waktu yang sangat lama — sampai-sampai kau bisa berpikiran bahwa pintunya rusak.

Jika kau menekan ‘Door Close’, pintunya akan langsung menutup. Orang-orang yang masih di dalam tak akan sabar untuk menunggu pintu tersebut untuk menutup dengan sendirinya. Oleh karena itu, gestur tersebut sangatlah bagus bagi orang-orang yang turun dari lift, untuk tidak pergi begitu saja dan menekan tombol itu saat mereka keluar. “Terima kasih”, “Makasih”, “Thank you”: frasa-frasa itu akan disahutkan secara alami setelahnya.

Kubalaskan dendamku pada perempuan itu dengan memencet semua tombol yang ada. Namun, satu-satunya tombol nan tidak kupencet adalah ‘Door Close’. Aku buru-buru pergi pada saat pintunya masih terbuka lebar dan perempuan itu terlihat jelas. Sekarang wanita itu tak hanya mendapati tangannya yang mengenggam barang besarnya dan juga kuncinya nan menyembul setengah dari tasnya, tapi dia perlu berusaha keras untuk memencet tombol ‘Door Close’ juga; jika tidak, ia harus menunggu pintu lift yang rasanya tak akan tertutup dan mencegahnya lanjut naik ke lantai di atasnya. Walaupun orang yang keluar dari lift sebelum dirinya bukan aku tapi orang yang tidak melakukan tindakan mulia dengan memencetkan tombol “Door Close” untuknya, ia pun tak akan terbebas dari masalah ini. Namun, kali ini ia akan menghadapi dilema tersebut di setiap lantai: empat, lima, enam, tujuh, delapan. Setiap saat, lift tersebut akan berhenti dan pintunya akan terbuka — tanpa ada orang yang menunggunya. Dan menurut cara kerja lift tersebut, jika sebelumnya tombol-tombol lantai telah ditekan, lift tetap akan berhenti di setiap lantai, walaupun kau terus memencet ‘Door Close’. Pada saat perempuan itu telah sampai ke tujuan, ia pasti telah berulang kali memencet tombol itu agar pintunya segera tertutup, atau terus menunggu pintu lift untuk menutup kembali dalam waktu yang sangat lambat di tiap lantai. “Silakan, aku telah memencetkan semuanya untukmu.” — kalimat yang luar biasa!

Memori tentang hari itu sering datang kembali padaku saat menaiki lift dan menekan tombolnya. Mungkin karena aku menggunakan lift pada waktu yang tak teratur dan beberapa hari malah tidak memakainya sama sekali, diriku tidak pernah naik lift berbarengan dengan perempuan itu lagi. Aku punya impresi bahwa aku belum pernah bertemu dengannya sebelum peristiwa di hari itu, tapi dilihat dari caranya saat langsung mengambil kuncinya sambil memegang tas besarnya, dia hampir pasti adalah penghuni gedung itu. Pikiran tentang perempuan itu yang sering muncul tiba-tiba ini membuatku jadi lebih tenggang hati dibanding sebelumnya, seringnya pada saat ada orang lain yang naik ke lift setelahku — mungkin karena aku malu terhadap diriku sendiri yang telah melakukan aksi balas dendam nan berlebihan di kala itu. Bisa jadi aku ingin percaya bahwa biasanya aku memang tidak pernah seperti itu: aku melakukan hal tersebut karena perempuan itu telah bersikap buruk. Jika seseorang berterima kasih kepadaku karena telah menunggunya masuk, aku pasti akan menanyakan kepadanya “Lantai berapa?” walau ia tak membawa suatu barang apapun.

Pada hari itu, aku bertanya “Lantai berapa?” dengan nada yang menunjukkan perhatian.

“Sembilan, ya.

Langsung saja kupencet ‘9’, tetapi orang itu melanjutkan omongannya seolah-olah ia telah menunggu lama untuk momen ini, “Atau bila Anda suka, pencet saja semuanya.”

Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku tak pernah memandang wajah wanita itu dengan baik, entah di hari pertama atau hari itu. Namun, tetap saja tak bisa kubiarkannya untuk membalas dendam kejadian terdahulu dengan memanfaatkan tindakan kebaikanku. Barangkali ia sadar bahwa aku akan menjadi pecundang bagaimanapun caranya — entah dengan menekan semua tombol dari ‘4’ hingga ‘8’ lagi sesuai dengan tantangannnya atau membiarkannya naik langsung menuju lantai 9 tanpa kesulitan.

“Baik, akan kulakukan.”

Setelah mengucapkannya, aku menggerakkan tanganku ke panel tombol dan semuanya bersinar seketika. Di saat yang sama, lift tersebut berhenti. Aku menatap tajam ke arah tombol merah yang diatasnya terukir kata ‘Emergency’ dalam warna putih. Apabila pintunya terbuka, aku berniat untuk memencet ‘Door Close’, lalu berkata “Aku juga akan memencetkan ini untukmu”, menekan tombol merah, dan menyelinap kabur saat pintu mulai tertutup.

Namun, pintunya tak kunjung terbuka. Lazimnya, pintunya akan langsung terbuka tanpa bantuan tombol ‘Door Open’… Aku langsung memencet ‘Door Open’, tapi tetap saja pintunya tak mau terbuka.

“Kita belum sampai di lantai tiga,” ujar perempuan yang ada di belakangku. “Lampunya masih menyala”.

Tentu saja, dia memang benar.

“Namun,” lanjutnya lagi, “liftnya telah benar-benar berhenti, bukan? Pasti mesinnya rusak.”

Mungkin aku telah mengacaukan sirkuit listrik lift gara-gara kupencet semua tombolnya secara bersamaan dengan kasar.

“Anda bisa memakai ini jika sedang terburu-buru,” ujarku, sambil menunjuk tombol darurat dan bergeser menjauh dari panel untuk membiarkannya lihat.

“Tidak, kok. Aku tidak sedang buru-buru,” katanya sambil melambaikan tangannya dan menopangkan tubuhnya ke dinding belakang lift.

Aku turut memiringkan badanku ke arah belakang, dan memperlihatkan parasku padanya.

Kōno Taeko (Osaka, 24 Februari 1926–29 Januari 2015), adalah salah satu penulis Jepang terpenting pada paruh kedua abad ke-20. Beliau adalah seseorang yang berpengaruh sangat besar terhadap penulis Jepang kontemporer — bahkan, pengaruhnya kesusastraannya dianggap “tak terukur”. Karyanya yang termasyhur, Toddler Hunting and Other Stories, berisi tentang kumpulan cerpen yang bertema besar tentang perempuan, dengan nuansa kelam yang meliputinya. Selain menulis cerita fiksi, Kōno Taeko juga terkenal sebagai penulis esai yang tajam, penulis naskah drama, dan kritikus sastra.

Terjemahan cerita pendek In The Box (Kōno Taeko) ini dari versi bahasa Inggris (yang sebelumnya telah diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Jay Rubin). Cerpen ini menjadi salah satu cerita pendek yang dimuat dalam buku The Penguin Book of Japanese Short Stories (2018).

--

--