Im Westen nichts Neues

“I am young, I am twenty years old; yet I know nothing of life but despair, death, fear, and fatuous superficiality cast over an abyss of sorrow. I see how peoples are set against one another, and in silence, unknowingly, foolishly, obediently, innocently slay one another.”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
4 min readFeb 8, 2021

--

Danny / pre-code.com

Saya tiba-tiba berkeinginan untuk menulis sebuah artikel setelah mendengar tentang peristiwa kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh pihak militer di Myanmar serta melihat gonjang-ganjing jagat dunia perwibuan yang diramaikan oleh pembunuhan tokoh Sasha Blouse oleh Gabi Braun di episode terbaru dari anime “Attack on Titan”. Invasi nan dilakukan oleh pasukan militer pulau Paradis ke kota tempat tinggal para Marleyan memperlihatkan adegan penduduk lokal serta tamu-tamu penting dari mancanegara diinjak-injak secara bengis oleh Eren Yaeger. Sebuah kejadian nan menunjukkan betapa kejamnya perang itu, bahkan di anime sekalipun. Sangatlah sulit bagi para penonton untuk menentukan pendirian moral atas kejadian nan mengerikan tersebut. Perihal Gabi bersalah atau tidak karena sudah menembak Sasha sudah sering diperdebatkan oleh para penggemar berat cerita ini. Namun di artikel ini saya ingin membahas tentang brutalnya perseteruan antara suatu negara dengan negara lain melalui perspektif peristiwa Perang Dunia I yang saya dasarkan kepada salah satu novel klasik yang pernah saya baca berjudul: All Quiet on the Western Front karya Erich Maria Remarque.

Sedikit Uraian

Novel ini menceritakan tentang Paul Bäumer, remaja Jerman berumur 18 tahun nan dihadapkan dengan panggilan untuk melaksanakan kewajiban militer demi menjadi anggota pasukan infanteri di front sebelah barat Jerman yang berbatasan dengan Prancis. Perang Dunia I (1914–1918) merupakan penyebab para pemuda Jerman beserta pemuda dari negara-negara lainnya diwajibkan untuk mengikuti kegiatan pelatihan militer yang pada akhirnya membuat mereka ditempatkan ke kota ataupun sektor dimana pertempuran sedang terjadi.

Paul Bäumer tidak sendirian dalam melaksanakan kewajiban militernya, melainkan bersama-sama dengan teman-teman sekelasnya pada saat SMA, seperti Albert Kropp, Müller, dan Kemmerich. Di sana, ia juga bertemu teman-teman baru seperti Tjaden, Detering, Westhus, serta sahabat terdekatnya, yaitu Katczinsky. Teman-teman Paul sangat berperan besar dalam cerita ini. Banyak momen-momen kocak, nakal, dan menyentuh hati dalam pertemanan mereka. Diceritakan juga momen saat Paul ikut dalam misi untuk pergi ke garis depan atau sering disebut “No Man’s Land”, yang biasanya dipenuhi oleh trenches atau parit-parit buatan guna berlindung sekaligus menekan musuh di seberang. Banyak cerita lainnya yang dapat menguras tawa serta kesedihan dari para pembaca novel ini.

Sastra dan Gerakan Pasifisme

All Quiet on the Western Front, Universal Pictures, 1930. Ullstein Bild / Getty

Cerita novel antiperang klasik keluaran tahun 1929 ini sangatlah menakutkan sekaligus menyedihkan, karena kita disuguhi oleh penggambaran tentang bagaimana keadaan medan perang nan sebenarnya serta bagaimana kehidupan para penduduk sipil di masa darurat perang, dalam sudut pandang salah satu prajurit yang terjun langsung ke zona konflik tersebut. Sangat mengiris hati apabila melihat pemuda-pemuda yang baru saja menikmati dunia dan sedang mempersiapkan kehidupan dewasanya terpaksa untuk menghadapi kegelapan serta kekejaman dunia melalui peperangan. Seakan-akan darah, bunyi ledakan, selongsong peluru, kubangan air, serta pagar berduri menjadi makanan sehari-hari. Kengerian perang juga ditunjukkan dengan fakta bahwa orang-orang yang tak saling mengenal tiba-tiba didorong untuk saling membunuh secara brutal demi menunjukkan semangat (so-called) “Nationalism and Patriotism”, yang oleh para pihak naif diartikan bahwa mengorbankan diri mereka demi negara dan para saudara setanah air merupakan hal yang mulia. Padahal yang mereka inginkan sebenarnya hanyalah untuk hidup dengan damai antara manusia satu dengan manusia yang lainnya.

Novel ini menggambarkan secara jelas bahwa perang bukan hanya tentang kehormatan, kejayaan, dan rasa patriotisme, namun juga dengan kebrutalan, ketakutan, dan kehampaan hidup. Thus, para pemuda ini berhadapan dengan masa depan yang tidak jelas karena mereka selalu berada di ambang keadaan antara hidup dan mati. Akankah di esok hari mereka masih bisa membuka mata, they didn’t even have a clue about it. Setelah berhasil selamat dari perang pun mereka juga tidak tahu nasibnya akan menjadi seperti apa — karena semua pengalaman dan pembelajaran yang telah dilalui di masa pendidikan sebelumnya telah musnah karena perang tersebut. Oleh karena itu, para penyintas Perang Dunia I ini disebut dengan julukan “Lost Generation”. Layaknya perkataan sastrawan Gertrude Stein saat bercerita kepada Ernest Hemingway:

“That is what you are. That’s what you all are… all of you young people who served in the war. You are a lost generation.”

--

--