Ke Mana Perginya Semua Hari Minggu?

Oleh Mieko Kawakami

Rizki Ardhana
Ardhanisme
10 min readMar 6, 2021

--

Indiewire

Aku sedang berbaring di atas kasur ketika mengetahui kabar bahwa novelis itu baru saja berpulang.

Setelah bangun dari mimpi panjang nan dipenuhi kegelapan tak berujung, pikiranku masih kabur saat jemariku menggapai iPhone dari sebelah bantal untuk mengecek jam berapa sekarang. Di layar mininya, aku membaca berita duka tersebut di kolom Warta Teratas.

Berita dalam kalimat tunggal tersebut terpampang mungil. Kata-katanya telah kubaca tapi masih kucoba pahami artinya. Setelah itu, aku pun menggumam “Hmmm,” dengan keras — kulanjutkan dengan “jadi dia telah meninggal.” Aku merasa ingin membahasnya dengan seseorang, tetapi tak tahu pada siapa dan bagaimana caranya. Akhirnya diriku hanya terdiam melihat layar yang terang menyala.

Novelis tersebut ternyata telah dirawat selama beberapa waktu sebelum dirinya wafat. Siaran berita mengabarkan bahwa pemakamannya hanya diikuti oleh keluarga serta rekan-rekan terdekatnya saja. Walaupun begitu, para pembaca setianya pasti sedang membicarakan kabar tentang kematiannya. Rasa sendu tiba-tiba menerjang diriku. Seharusnya aku pergi meninggalkan rumahku dalam dua jam ke depan. Namun, diriku sedang tidak berada dalam suasana hati nan bagus untuk bekerja: memasukkan angka dan aksara pada lembar pencatatan; berhadapan dengan manusia lain; membongkari semua kardus; mengembalikan barang-barang ke tempat semula; menyortir tagihan; serta hal-hal serupa. Aku menghubungi rekan kerjaku untuk meminta maaf dan juga izin untuk tidak berangkat kerja hari ini karena mengalami demam dan melanjutkan hariku dengan tidur. Saat membuka mata, tak terasa diriku sudah terlelap selama hampir 5 jam lamanya.

Purnama masih sepertiga perjalanan dari puncak tertingginya saat aku beranjak dari kasur. Tanpa tekanan kerjaan apa pun, diriku melangkah pergi ke dapur untuk menanak nasi dan mengawang-awang tentang apa yang harus kulakukan untuk menghabiskan sisa malamku.

Aku mengoleksi setiap novel yang telah ia gubah. Semuanya telah kukhatamkan. Masa remajaku, bahkan warsa-warsa sebelumnya, telah kuhabiskan untuk menamatkan semua serinya dari sampul ke sampul. Pasti banyak orang pun turut melakukannya, tak hanya diriku, karena ia memang jenis penulis yang karyanya sering dibaca dan disukai oleh para pembaca dari negeri ini. Namun, tetap saja aku merasa gelisah akibat kabar tersebut. Bukan sedih maupun frustasi yang kurasakan — hanya rasa pedih nan sedikit mengganggu. Mungkin aku sekadar terkena syok. Bagaimana cara mengucapkan kata “syok” dalam bahasa Jepang? Sebuah tamparan? Rasa kerusakan? bahkan “kerusakan”-pun cuma kata serapan — aku termenung memikirkannya saat mencuci beras. Mungkin “kecemasan” adalah kata nan tepat untuk mendeskripsikan perasaan seperti tenggelam ini, keadaan saat direndam — cemas karena muskil memahami apa yang terjadi akibat diriku sedang berada di tengah kekacauan. Yang kutahu hanya fakta bahwa aku tidak tahu. Kalau dipikir-pikir, sensasi itu terasa familiar bagiku sejak diriku masih kanak-kanak — perasaan layaknya terjebak dalam tebalnya kabut yang tak kunjung memudar.

Timer alat penanak nasi telah kuatur dan selanjutnya duduk di sofa, memandangi rak bukuku untuk memilih satu dari sekian novelnya yang ingin kugenggam. Rasa aneh menghinggapiku. Aku bangkit dari sofa dan kembali ke dapur untuk membuat secangkir teh.

Kantong teh milikku tersisa satu. Di dalam cangkir, air rebusan teh melingkar-lingkar dalam berbagai corak warna coklat. Ketika memperhatikan polanya dengan tatapan kosong, aku tiba-tiba teringat frasa-frasa, sampul novel, dan… semua hal yang berhubungan tentangnya di masa remajaku saat pertama kali mengulik novel karangannya. Bagaimana caraku menjelaskannya? Bukan bau atau pemandangan tertentu yang kuingat — bukan juga seragam sekolah maupun percakapan kami. Hanya cuplikan-cuplikan singkat masa laluku yang muncul secara acak tetapi mustahil terulang — seperti jalan-jalan aspal nan kami pijak, saat pertama kali dirinya mengenalkanku pada novelis itu, jam-jam dan hari yang kami habiskan bersama, serta surat-surat kami yang saling berbalas. Ketika aku menarik keluar kantong teh basah dari cangkir dan menaruhnya ke atas piring kecil, aku teringat Amamiya.

“Iya, ini cukup bagus kok.”

Kami adalah teman sekelas saat SMA. Di dalam kereta saat perjalanan pulang, aku melihatnya sedang berdiam tenggelam pada buku yang digenggamnya. “Kamu lagi baca buku apa? Bagus nggak?” kutanyai dirinya. Balasannya tadi terdengar tak senada dengan mimik wajah yang ia berikan padaku.

Sejak saat itu, Amamiya kerap meminjamiku buku-buku dari novelis yang namanya belum lama masuk ke telingaku. Aku langsung teradiksi dibuatnya. Selanjutnya, kami pun mulai mengobrol tentang banyak hal — novel-novel miliknya, (masih) novelnya yang lain, dan genre musik yang satu selera. Aku dan Amamiya baru tahu bahwa ternyata membaca sudah jadi hobi sejak diri kami masih belia. Tak pernah terpikirkan bahwa kami bisa bertemu seseorang yang bisa diajak berbincang-bincang tentang buku, apa lagi teman satu sekolah.

Waktu sekolah menjadi tak cukup bagi kami buat berbincang. Menelpon dan menulis surat jadi solusinya. Tak butuh waktu lama bagi perasaan kami untuk mulai berubah. Akhirnya, Amamiya dan diriku pun mulai berpacaran pada paruh kedua masa senior di SMA. Kami putus pada musim panas saat usia kami mencapai dua puluh satu.

Pada suatu waktu, saat Amamiya dan aku sedang berjalan menyusuri kebun raya seperti yang sering kami berdua lakukan, kami membuat sebuah janji di masa depan untuk bertemu lagi apabila novelis favorit kami telah meninggalkan dunia.

“Di mana pun kita berada?”

Iya.”

“Walaupun kita sedang berpacaran dengan orang lain?”

“Hu’um.”

“Meskipun kita berdua telah menikah?”

“Betul.”

Kami memilih pintu masuk sebagai titik pertemuan nantinya, pada jam 2 siang hari Minggu pertama sejak novelis tersebut tutup usia. Kebun itu terlihat sedu, tidak ada koleksi tanaman unik maupun pemandangan menarik untuk dibicarakan, dan sayangnya seperti tidak terurus. Aku tidak akan kaget apabila esoknya kebun itu akan ditutup. Karena terletak di area kota rural di antara pegunungan, taman tersebut sangatlah luas. Sampai-sampai kami perlu menghabiskan waktu hingga berjam-jam buat mengitarinya — tenggelam dalam kata dan cerita yang hanya kami nan dapat memahaminya. Sebagian besar permukaannya ditumbuhi rerumputan, bahkan ada bukit kecil-kecilan. Dan jika kalian mendakinya hingga ketinggian tertentu, ketika melihat lereng di bawah kalian akan disuguhkan pemandangan akan kolam teratai yang sangat luas, seperti tak berujung, dan seluruh permukaannya berwarna hijau tua karena terselimuti oleh gugurnya dedaunan. Taman tersebut tak akan pernah ramai pada hari apa pun, tahun berapa pun, dan kapan pun kalian mengunjunginya. Kami berdua hanya ditemani oleh pohon-pohon yang entah namanya apa, pot yang terisi penuh oleh rumput-rumput layu, ataupun semburan warna sesekali dari bunga-bunga yang sedang bermekaran. Saat kami duduk dan memandangi dinding rumah kaca, yang retak di sana-sini dan warnanya telah berubah kecoklatan, aku dan Amamiya menikmati manisnya sensasi layaknya kami adalah sepasang manusia terakhir yang hidup di muka bumi ini. Kami tak mengerti apa pun tentang tanaman, tetapi sangat menyukai kebun itu — yang seakan-akan hanya dibuka untuk kami berdua.

Hari ini adalah hari Selasa. Kurasa Amamiya tak mungkin lagi mengingat janji yang telah kami buat 14 tahun lalu, tetapi jika ia masih bernapas dan sehat di suatu tempat, pasti dia juga telah mendengar kabar kematian novelis favoritnya. Jika saja dia masih ingat tentang janji itu… mungkin… ia akan datang.

Aku mencucup tehku yang sudah menghangat sembari melihat kalender yang tergantung di dinding. Minggu akan tiba dalam 4 hari ke depan. Pagi-pagi dan malam-malam selanjutnya kuhabiskan dengan perasaan antisipasi yang belum pernah kuderita sebelumnya. Cemas masih melanda, tapi diwarnai dengan sensasi nostalgia, teriluminasi oleh cahaya yang menggapaiku dari tempat yang sangat-sangat jauh. Di saat yang sama, aku dapat merasakan kegelapan bergema di nadirku.

Hari Minggu pun tiba. Aku menggunakan pelembab wajah serta menggambar alisku dengan lebih hati-hati dari biasanya, juga memakai rok yang sangat kusukai namun jarang sekali kukenakan. Saat menaiki gerbong kereta, aku merasa malu ketika tersadar betapa niatnya diriku hari ini. Prefektur Shikoku menjadi kediamanku setelah aku menikah, tetapi sejak perceraianku 5 tahun lalu, aku berpindah lagi menuju kota dekat pegunungan dan memilih untuk bekerja sebagai pegawai kantoran di sebuah universitas di Kyoto. Namun, hal tersebut tak juga berlangsung sedemikan lamanya. Aku bertanya-tanya, masihkah Amamiya tinggal di kota itu? Dulunya ia pernah berkuliah di salah satu universitas di Kyoto, jadi mungkin saja…

Hanya aku yang turun di stasiun itu, dari awal keretanya memang sepi. Sampai-sampai saat ku tiba di stasiun tujuanku, tiada petugas yang sedang berjaga di sana. Aku sempat berpikiran untuk membunyikan bel supaya seseorang datang, tapi kuurungkan niatku dan lebih memilih untuk keluar dari stasiun dalam sunyi dan melanjutkan perjalanan menuju kebun yang sedang menungguku.

Rasa kewalahan menyerang kelima indra. Segala hal tampak terurai dari asalnya, hingga rasa kebingungan tentang tahap kehidupan mana yang sedang kujalani melanda batinku. Pola-pola dari gaun yang dulu kukenakan, sepatu baru yang menjepit kakiku. Waktu dulu aku pernah berpura-pura untuk terlihat marah agar ia merasa sedih. Daun-daun dari pohon besar yang menghalangi cahaya matahari membentuk bayangan biru di tanah yang kering karena teriknya musim panas. Hausnya. Betapa diriku berharap momen itu tak akan pernah kulupa. Semuanya kembali padaku sekarang. Sekali lagi, sepasang kaki menuntun mustakaku yang teringat kembali tentang jalan ke arah kebun nan tak asing itu, yang membuatnya berpikiran bahwa jarak waktu yang sangat lama antara saat ini dan momen lalu tak pernah ada. Amamiya pasti sudah menungguku di taman itu. Apakah dia telah melangkahi tanah yang sedang kuinjak ini? Atau baru mau melewatinya?

Kami dulu berpisah karena tiba-tiba Amamiya menyukai perempuan lain. “Aku nggak bermaksud,” kepalanya terkatung lemas, kata-kata maaf menguap berkali-kali ke udara. “Tiada yang bisa kulakukan, itu terjadi begitu saja.” Ah, betapa naifnya diriku, dulunya aku berpikir kami akan menjadi salah satu pasangan yang bakal tetap bersama hingga senja menerpa. Mungkin saja, pemikiran seperti itu memang asing untuk dirasakan di umurku yang dulu. Namun, tetap saja aku sangat yakin bahwa kami merupakan dua sejoli yang terpilih di antara bermiliar-miliar pasangan manusia di dunia ini. Tak pernah terpikir di otakku sebelumnya, Amamiya yang tiba-tiba jatuh cinta kepada orang lain, hingga membuatku terdiam beberapa menit untuk dapat mencerna pengakuannya.

“Maksudmu berkata ‘aku nggak bermaksud, itu terjadi begitu saja,’ itu apa? Memangnya apa yang harusnya terjadi selain diriku dan dirimu?”

Ia tidak menjawab. Memandanginya, aku mulai merasa bahwa kami seperti sedang bermain peran dalam drama klise layaknya di layar kaca. Akhirnya, aku turut diam. Namun, semuanya nyata dan terjadi begitu saja. Dan seperti yang Amamiya katakan bahwa tiada yang dapat ia lakukan, begitu juga diriku — yang hanya mampu menyeret penderitaanku hingga bertahun-tahun lamanya.

Setelah semua yang terjadi, aku akan menemuinya lagi hari ini… atau harus kukatakan, karena semuanya itu. Aku bakal menemuinya… lalu? Tentu saja, aku sudah tak punya perasaan romantis padanya. Semuanya telah lesap di masa lampau. Hatiku masih terasa ditarik ketika kumelihat ke belakang, tetapi memang wajar bila merasakannya saat kita mengenang kembali ingatan tertentu di momen lalu. Tentu, tak ada hubungannya dengan Amamiya. Aku mengambil napas dalam-dalam dan berpikir: Betapa menakjubkannya bahwa kami akan bertemu kembali sejak sekian lama, setelah semua yang terjadi di masa lalu. Kami akan melihat diri masing-masing yang telah mapan dan bahagia, sambil mengobrol ditemani teh dengan senyuman merekah di pipi. Fantastis bukan? Kuhembuskan karbon dioksidaku kemudian.

Jam tanganku menunjukkan sunduknya yang telah mengarah pada angka dua. Sepuluh menit berlalu, pun dua puluh lima menit. Tak ada yang terjadi. Aku berdiri menunggu di depan pagar berkarat itu, bermain-main dengan ponselku dan terus menggesek layarnya demi menolak fakta bahwa tak ada seorang pun yang ingin mendatangiku. Jeriji jempolku terus memenceti tautan demi tautan, naik-turun melihat sekilas yang terpampang pada halamannya. Tak lagi kuketahui apa yang kulakukan di situ. Aku mendongak untuk melihat kucing yang sedang melangkah pelan di atas sepeda yang telah terkoyak-koyak itu. Tiba-tiba, perasaan sepi menyergapku. Rasanya seperti sintesis sempurna dari semua rasa kesepian yang sebelumnya kurasakan, dan aku tidak tahu mengapa terjadi demikian. Berapa pun umur akan kuinjak, diriku akan tetap seperti ini, tak mengerti. Walaupun begitu, sedikit rasa kenyamanan tetap menyembul. Pasti karena diriku yang merasa nyaman dengan kenaifanku sehingga aku dapat terus-menerus mengulang hal yang sama, lagi dan lagi. Dengan begini, aku akan menua, tertinggal di tempat yang sama, sendirian, selamanya. Aku menunduk. Saat menggeser kakiku, dapat kulihat lapisan di tumitku telah terkelupas. Tadi tidak begitu saat aku meninggalkan rumah pagi ini. Saat ku mengecek waktu, dua jam telah berlalu. Aku akan pergi lima menit lagi, kuucapkan dalam batinku.

Keretanya kosong melompong. Kuperosotkan pantatku pada bangku di bagian belakang gerbong, menatap nanar ke luar jendela. Setelah melewati beberapa stasiun, seorang lelaki dengan ranselnya yang menggunung melebihi kepalanya memasuki kereta. Decitan sepatu mendaki berwarna coklatnya menggema hingga segerbong. Ia lungguh di sebelahku, mengeluarkan buku bersampul tipis dari saku belakangnya, lanjut membacanya dengan serius. Itu adalah buku ciptaan sang novelis. Menukuk santai sambil menggengam bukunya, yang telah memudar dan sobek dimana-mana akibat telah dibaca berulang, dan setelah beberapa saat mendongak dan mendesah. Pupil kami saling bertemu. “Sayang sekali,” ucapnya saat menunjukkan sampulnya ke arahku. Aku agak terkaget bila diajak bicara oleh orang asing, tetapi menjawab, “Iya, kan?” Sebelum tersadar, aku melanjutkan, “Aku berharap ia bisa menulis lebih banyak.” “Aku juga sama.” Lelaki itu tersenyum tipis padaku, kembali menundukkan pandangan ke arah buku. “Tapi ia sudah menulis banyak buku, mungkin memang sudah cukup.” ia mendongak lagi dan mengatakannya sambil tertawa. “Ia telah menulis banyak sekali novel. Setelah semua yang diciptakannya, umur kita bisa dihabiskan dengan membaca karyanya saja. Ia meninggalkan begitu banyak untuk kita.”

Dengan begitu, pria itu terdiam dan kembali membaca. Setengah jam berlalu, ia akhirnya turun tiga stasiun sebelumku, melambaikan tangannya untuk mengucapkan selamat tinggal. Kuangkat rendah telapak tanganku membalasnya. Saat pintu gerbong tertutup dan rangkaian mesin raksasa tersebut melanjutkan gerakannya, lelaki itu telah lenyap dengan cepat — tanpa menoleh ke belakang.

Keretaku melewati pemandangan nan familiar dengan kecepatan banalnya dan bergerak menuju stasiun yang biasanya. Namun, aku merasa seolah-olah dibawa ke suatu ruang dan waktu yang tak lagi berada di momen ini. Tiga stasiun lagi, tiga stasiun lagi, kuulang-ulang dalam pikiranku dan akhirnya menutup mataku, tak kuasa menahan gelombang rasa kantuk yang datang menerpa. Aku sadar diriku sedang digoda untuk tidur nyenyak, tapi tetap saja tak kuat membuka netra. Jika kuterlelap, ke mana kereta ini membawaku saat aku bangun? Bisakah diriku bangun di suatu tempat yang sama sekali asing dan baru? Anganku mulai berkelana, tetapi aku tahu saat kumembuka mata, diriku akan berada di stasiun yang biasa. Dari sana, aku akan melanjutkan langkahku di jalur yang sama untuk kembali ke apartemenku, memasukkan kunci pada lubang pasangannya di kenop pintu, dan kembali ke ruangan yang sama. Tempat baru dan tak dikenal — tempat di mana tiada seorangpun yang tahu‎.

Tak ada satu pun cara untuk sampai ke sana, karena tempat seperti itu tidak berada di mana pun di dunia ini.

Diterjemahkan dari cerita pendek berjudul Where Have All the Sundays Gone?

Mieko Kawakami, lahir 29 Agustus 1976 di Osaka, adalah seorang penulis kontemporer yang terkenal asal Jepang. Mieko berhasil memenangkan Penghargaan Akutagawa berkat novelnya yang berjudul Breasts and Eggs (Chichi to ran) pada tahun 2008.

--

--