Keringanan yang Tak Tertahankan

“For there is nothing heavier than compassion. Not even one’s own pain weighs so heavy as the pain one feels with someone, for someone, a pain intensified by the imagination and prolonged by a hundred echoes.”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
5 min readApr 22, 2021

--

DW

“Ide tentang pengulangan abadi milik Nietzsche merupakan gagasan yang sangat misterius, dan dengan gagasan tersebut ia telah mengharu-birukan para filsuf: membayangkan segala sesuatu berulang sebagaimana kita pernah mengalaminya di mana pengulangan itu sendiri berulang lagi tanpa berkesudahan! Apakah mitos gila ini?”

Pasase di atas merupakan paragraf pembuka dari novel The Unbearable Lightness of Being gubahan Milan Kundera. Penulis asal Ceko ini memanglah unik, tanpa tedeng aling-aling ia langsung mengawali novelnya dengan konsep filsafat milik Nietzsche yang terkenal, yaitu “Eternal Return”. Pandangan nihilis ini tercantum dalam bukunya, The Gay Science (1882):

“Bagaimana, jika suatu hari, setan menyelinap ke dalam kesendirianmu yang paling sepi dan berkata padamu: “Kehidupan ini seperti yang kamu jalani dan masih akan menjalaninya, kamu akan menjalani hidup sekali lagi dan tak terhitung banyaknya; dan tidak ada sesuatu yang baru di dalamnya, tetapi setiap penderitaan dan setiap kebahagiaan dan setiap pemikiran dan setiap keluh kesah dan segala sesuatu yang remeh atau besar, yang tidak mungkin dapat diukur, dalam kehidupanmu harus kembali padamu — semua dalam urut-urutan yang sama….”

Aforisme pengulangan abadi ini adalah gagasan yang mengungkapkan bahwa alam semesta serta hal-hal yang terjadi di dalamnya terus-menerus berulang dan akan terus berulang, dalam bentuk yang sama dan akhirnya membentuk sebuah siklus nan tak berkesudahan. Terang dan gelap; siang dan malam; susah dan senang; tawa dan tangis; akan bertubi-tubi kita rasakan. “Hidup ini tidak berjalan secara linear, tetapi sirkular.” ujar Nietzsche.

Namun, kejadian La Reconquista, perang antarkerajaan di Afrika pada abad ke -14, Perang Dunia I dan II, serta kejahatan kemanusiaan lainnya tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai hal-hal yang terus berulang. Nyawa jutaan orang melayang akibat keganasan tak berbelas kasih. Oleh karena itu, Milan Kundera memperdebatkan gagasan Nietzsche melalui ungkapan sinis:

“Apakah mitos pengulangan abadi berarti bahwa kehidupan yang sirna untuk selamanya dan tak pernah kembali, tak ubahnya seperti bayangan tanpa bobot, layu sebelum mekar dan tak peduli apakah itu mengerikan, indah, atau santun; kengerian dan kesantunannya sama sekali tidak berharga?”

Kundera ingin mengatakan bahwa hidup kita hanya terjadi untuk pertama kali dan hanya sekali, yang dibuktikan dengan tak tahu-menahunya manusia tentang tujuan dan apa yang diinginkan, karena kehidupan kita tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan lain yang pernah dijalani atau berusaha untuk memperbaiki kehidupan tersebut di kemudian hari. Berlaku juga untuk pilihan-pilihan hidup; kita harus menentukan jalan yang kita pilih tanpa persiapan, sehingga kita tidak tahu akan konsekuensinya dan pilihan mana yang lebih baik. Kesalahan-kesalahan yang kita lakukan merupakan bukti bahwa semua hal terjadi untuk pertama kali— dan kita hanyalah manusia.

Cerita The Unbearable Lightness of Being berlatar di Praha akhir 1960-an hingga akhir 1970-an. Pada tahun-tahun tersebut, Cekoslowakia sedang diinvasi dan diduduki oleh Uni Soviet, imbas dari Pakta Warsawa. Tank lapis baja datang bergemuruh dan menggilas aspal kota Praha karena Alexander Dubcek ingin mereformasi pemerintahan komunis yang berkuasa di Bohemia. Jenuh dan tersiksa akibat represi yang terus menerus dilakukan oleh Soviet, rakyat Praha pun akhirnya memberontak. Para tokoh intelektual dan seniman menjadi pionir demonstrasi. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan nama “Kebangkitan Praha”.

Di tengah-tengah gejolak politik tersebut, hiduplah seorang dokter bedah bernama Tomas. Pria casanova ini menjalani kesehariannya dengan bergonta-ganti wanita, sampai ia berkunjung ke sebuah kedai di pedesaan. Di sana, ia bertemu Tereza, seorang pelayan bar yang cantik. Singkat cerita, Tereza akhirnya menyusul Tomas kembali ke Praha dan tinggal sekamar dengannya — juga seranjang. Namun, hubungan tersebut tidak menghentikan Tomas untuk terus berkeliaran dan berkencan dengan wanita lain. Salah satu di antaranya bernama Sabina, seorang seniman. Ia merupakan seorang pelukis yang cukup terkenal, dan juga memiliki studio pribadi di Jenewa, Swiss. Seperti Tomas, Sabina juga seorang petualang. Di Jenewa, ia juga mempunyai pasangan bercinta bernama Franz, seorang dosen dan cendekiawan.

Kisah pun akhirnya berkutat di antara hubungan mereka berempat, secara langsung maupun tak langsung. Tak pelak kita diajak menyelam ke dalam pemikiran dan perbuatan tokoh-tokoh tak biasa tersebut. Milan Kundera seperti membuat gado-gado dalam novelnya yang satu ini, dan pemikiran atipikalnya disampaikan melalui gaya narasi yang disampaikan oleh narator moralis yang tak menghakimi. Segala masalah di dunia termaktub di dalam ceritanya: romansa yang nelangsa, cinta satu malam, topi bowler, agen rahasia, kitsch dalam seni, represi militer Soviet, dan anjing peliharaan.

Ringan dan Berat

KFF

Tereza datang ke Praha untuk menyusul Tomas dan selanjutnya tinggal bersama. Ia datang membawa koper besar dan novel Anna Karenina karangan Tolstoy di tangannya. Tomas tahu, Tereza datang untuk sepenuhnya memberikan jiwa dan raganya kepada Tomas. Penyerahan diri Tereza sangatlah “berat” bagi Tomas yang “ringan”. Tomas merasa terbebani karena ia tidak ingin terikat hubungan yang serius dengan satu wanita saja. Namun, di lubuk hatinya, Tomas sangat mencintai Tereza dan ingin terus bersamanya.

Sebenarnya, Tomas ingin berhubungan dengan wanita layaknya hubungannya bersama Sabina, sebagai teman melepas gairah semata. Tomas dan Sabina sangatlah “ringan”. Mereka adalah orang sekuler, yang berpikir bahwa seks dan cinta harus dipisahkan. Suatu ketika, Franz datang kepada Sabina. Franz datang dengan membawa kabar bahwa ia telah meminta istrinya untuk bercerai dan ingin hidup bersama Sabina selamanya. Malam itu mereka bercinta semenjana. Pagi pun tiba, Franz memandang bagian kasur sebelahnya yang kosong, dan merana.

Menurut pemikiran Nietzsche, di dalam dunia dengan pengulangan abadi, sejarah manusia adalah lingkaran yang telah ditetapkan dan tanpa kemajuan, peristiwa yang sama muncul terus-menerus dan mustahil berubah atau diperbaiki. Oleh karena itu, kehidupan dan setiap gerakan kita membawa beban tanggung jawab yang tak tertahankan bagi sejarah. Bobot eksistensi ini adalah beban terberat manusia. Das schwerste Gewicht. Mencari makna kehidupan merupakan hal yang penting. Layaknya Tereza nan sangat emosional dan tidak bisa mengatasi hal-hal ringan di sekitarnya. Begitu juga Franz, yang ingin mencari dan memberi makna kepada semua hal dalam hidupnya, hingga mengantarnya menjadi relawan perang di Kamboja — dan celaka.

Kundera berkata sebaliknya: kita hanya hidup sekali. Hidup ini sangatlah ringan, seringan bulu; eksistensi manusia layaknya udara, terbang menjauhi bumi menuju antariksa. Karena hidup cuma sekali, kita tidak perlu terbebani untuk bertanggung jawab terhadap sejarah dan masa depan; menjaga roda kekekalan untuk tetap berputar. Sesuatu yang tidak selamanya berulang memiliki keberadaannya yang singkat, dan setelah selesai, alam semesta akan terus ada, sama sekali tidak peduli dengan fenomena yang telah selesai. Oleh karena itu, kehidupan dan keputusan manusia tidaklah signifikan, tak bermakna dan tak penting. Disimbolkan oleh Sabina yang konsisten dengan kredonya nan tak ingin terikat dengan apapun: hubungan romantis dengan Franz, menjadi partisan politik, serta masa lalunya.

Lalu mana yang seharusnya kita pilih? Apakah beratnya hidup patut disesali dan hidup dengan enteng itu menggembirakan? Pertanyaan semacam ini sudah diajukan sejak dahulu kala oleh Parmenides, tepatnya di abad keenam SM. Menurutnya, alam semesta terbagi menjadi dua dalam beberapa pertentangan: cahaya-kegelapan, kasar-halus, panas-dingin, keberadaan-ketiadaan dan sebagainya. Separuhnya ia sebut berada dalam kutub positif, dan sisanya dianggap sebagai negatif. Lalu bagaimana dengan berat dan ringan? Mana yang positif dan mana yang negatif?

Haruskah seseorang hidup dengan berbobot, menjalani hidup sekaligus mencari makna eksistensi layaknya Tereza, atau hidup dengan ringan saja; melayang dengan bebas seperti Tomas?

--

--