Menilik Kembali 100 Tahun Kesunyian

“He really had been through death, but he had returned because he could not bear the solitude.”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
6 min readFeb 21, 2021

--

Luisa Rivera / Metalocus

“One Hundred Years of Solitude” (judul asli dalam bahasa spanyol Cien años de soledad) adalah salah satu mahakarya ciptaan Gabriel Garcia Marquez yang berhasil menjadi pionir penggerak kejayaan sastra Amerika Latin pada tahun 1960-an dan akhirnya membuat karya literatur asal negara-negara tropis tersebut mulai mendunia. Novel yang digadang-gadang menjadi magnum opus dari señor Garcia ini memiliki tema nan simpel, yakni menceritakan hikayat kota fiktif Macondo serta kehidupan dinasti Buendia. Namun, dalam kesederhanaan premisnya, cerita alegori yang disampaikan dengan gaya naratif nan kompleks ini dapat membuat pembaca berada dalam keadaan psikedelik dan berdelusi dalam menikmatinya, sekaligus mempelajari sejarah negara Kolombia melaluinya.

Jose Arcadio Buendia — dalam tidurnya di tepi sungai saat berkelana dari kota Riohacha untuk mencari tempat tinggal baru bersama istrinya, Ursula Iguaran — bermimpi akan menemukan kota yang bangunannya terbuat dari cermin. Saat ia bangun, tiba-tiba ia langsung memutuskan untuk membangun perkampungan tepat di tempatnya berkemah. Peristiwa tersebutlah yang berperan sebagai asal-usul kota Macondo. Kota utopis yang terletak di Kolombia tersebut mengawali “kehidupannya” dengan terisolasi dari dunia luar, hanya ada pelancong dari bangsa Gipsi yang menjadi tamu sekaligus menampilkan pertunjukan magis kepada masyarakat awal nan tinggal di sana. Sekian waktu berlalu, Macondo pada akhirnya terbuka dengan dunia luar, diawali dengan diadakannya pemilihan umum yang dilakukan untuk memilih antara partai Konservatif dan Liberal di Kolombia — yang baru saja menyatakan kemerdekaan — dan hal tersebut menjadi awal mula pergolakan yang akan terjadi di kota ajaib tersebut.

Macondo juga menjadi saksi sejarah kejadian serta peristiwa aneh dan luar biasa yang dialami oleh generasi Buendia, yang selalu terkena nasib buruk — kebanyakan diakibatkan oleh ulah mereka sendiri — dan uniknya, kemalangan tersebut selalu berulang di tiap generasi. Kejadian-kejadian magis sering terjadi pada mereka, seperti: dihantui oleh salah satu mantan musuhnya; wabah insomnia yang melanda seluruh penduduk; hujan bunga yang menutupi seluruh kota; invasi yang dilakukan oleh pasukan semut; dan sebagainya. Tujuh generasi Buendia seperti berada dalam labirin kemalangan yang tak berujung. Dimulai dari Jose Arcadio Buendia, kepala keluarga yang menjadi gila akibat eksperimennya untuk mencari tahu rahasia dunia, juga Kolonel Aureliano yang kalah dalam 32 perang pemberontakannya, hingga cucu serta cicitnya yang tak luput mengalami nasib buruk dan aneh yang turun temurun dan tak diketahui hentinya.

Realisme Magis

“Many years later, as he faced the firing squad, Colonel Aureliano Buendía was to remember that distant afternoon when his father took him to discover ice.”

Pasase untuk mengawali novel tersebut dianggap sebagai salah satu kalimat pembuka dalam novel yang terindah sepanjang masa. One Hundred Years of Solitude menjadi salah satu contoh sastra yang menerapkan gaya penulisan yang terkenal dengan nama realisme magis. Gaya penulisan ini, yang istilahnya pertama kali dikenal pada tahun 1925, umumnya menceritakan kisah dalam setting kehidupan dunia nyata yang dipadukan/diselingi dengan kejadian-kejadian magis dan supernatural. Cerita ditulis dengan tetap menggunakan diksi yang jelas dan harfiah serta unsur magisnya hanya dipakai untuk menjadi selingan sebagai unsur pendukung dari cerita tersebut. Gaya penulisan ini mencapai puncak eksistensinya berbarengan dengan gerakan sastra “Latin America Boom” yang terjadi pada tahun 1960–1970an.

Kebudayaan Amerika Latin yang khas akan mistisisme dan mitologinya juga turut menjadi asal mula salah satu gaya penulisan realisme magis. Kisah anekdot yang Garcia tulis ini juga diciptakan sebagai bentuk penggambaran kehidupan rakyat Kolombia yang penduduknya sebagian besar adalah keturunan ras Hispanik, yang sekaligus membahas tentang kebudayaan asli suku bangsanya. Seperti yang ia kemukakan dalam wawancaranya bersama William Kennedy yang diterbitkan pada salah satu edisi majalah The Atlantic:

García feels less surprised. “In Mexico,” he says, “surrealism runs through the streets. Surrealism comes from the reality of Latin America.”

Cerita-cerita bergaya realisme magis yang penuh akan unsur kebudayaan Latin yang khas dengan kebudayaan tribal tersebut juga digadang-gadang sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni sastra barat yang kental akan unsur rasionalismenya. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat gaya penulisan ini menjadi salah satu karakteristik utama dari karya sastra yang berasal dari Amerika Selatan, seperti ciptaan novelis-novelis terkenal asal dunia Latin seperti Jorge Luis Borges, Julio Cortazar, María Luisa Bombal, serta Gabriel Garcia Marquez sendiri.

Sastra Pascakolonialisme

United Fruit Company.

One Hundred Years of Solitude juga dapat dilihat sebagai salah satu novel sejarah-fiksi yang termasuk dalam contoh sastra pascakolonialisme, salah satu cabang pemikiran turunan dari pascamodern. Pascakolonialisme adalah disiplin pemikiran yang mempelajari warisan budaya imperialisme dan kolonialisme serta dampak kemanusiaan yang terjadi akibat penjajahan suatu negara terhadap negara lain. Dalam novelnya yang ditulis selama 8 bulan ini, Garcia juga menyinggung tentang isu-isu sosial yang terjadi di Kolombia dan negara lain di Amerika Selatan pada masa itu, lebih tepatnya pada masa kolonialisme yang dilakukan Amerika Serikat di daratan Latin. Salah satu contohnya yaitu pada saat penulis kelahiran tahun 1927 ini mengkritik secara jelas tentang praktik neokolonialisme Amerika yang terjadi persis di Aracataca — kota tempatnya lahir — seperti yang ditulisnya pada satu pasase dalam cerita yang membahas tentang agresi yang dilakukan oleh pihak militer kepada rakyat Macondo, khususnya yang bekerja pada perusahaan perkebunan pisang yang terletak di pinggiran kotanya.

Bagian cerita tersebut menyimbolkan secara jelas dan persis salah satu peristiwa kelam yang terjadi di Aracataca, Kolombia, tepatnya pada tahun 1928. Banana Massacre adalah suatu peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikabarkan menewaskan lebih dari 1000 jiwa. Pembantaian yang terjadi ini awalnya disebabkan oleh para buruh United Fruit Company — perusahaan perkebunan pisang buatan seorang Amerika — yang melakukan protes untuk menuntut pemenuhan hak atas pekerjaan mereka kepada perusahaan, seperti fasilitas sanitasi yang bersih, pelayanan medis yang mumpuni, serta jam kerja yang pasti. Para buruh melanjutkan protesnya dengan mogok kerja. Puncaknya terjadi pada saat para buruh menghentikan kereta pembawa hasil panen pisang tersebut untuk ditegah, dan pemilik perusahaan melaporkan keadaan tersebut kepada pemerintah setempat. Pemerintah Kolombia pun menanggapinya dengan menugaskan Jenderal Carlos Cortés Vargas dan 300 tentara pasukannya. Jenderal Carlos memerintahkan para buruh yang mogok kerja untuk membubarkan diri. Namun, mereka tetap menolak untuk mundur. Dini hari tanggal 6 Desember, tentara mulai menembakkan senapan mereka dan para pekerja United Fruit akhirnya tewas seketika.

Literasi sebagai Refleksi

Gabriel Garcia Marquez. Brainpicking

Penggunaan simbolisme cermin acapkali dipakai pada novel ini. Dari Jose Arcadio Buendia yang memimpikan kota yang terbuat cermin, sifat dan karakteristik yang jauh terbalik antara si kembar Jose Arcadio Segundo dan Aureliano Segundo, serta Macondo yang mempunyai julukan “Kota Cermin”. Simbolisme tersebut juga terkandung dalam kehidupan dinasti Buendia yang para anggota keluarganya saling merefleksikan satu sama lain, dengan mengulangi kesalahan dan dosa-dosa yang sama antar generasinya.

One Hundred Years of Solitude dan segala penyimbolan cermin dalam ceritanya juga dapat dipahami selayaknya kita memandang sastra. Novel ini dapat membuat kita melihat bagaimana kekhilafan yang dilakukan oleh para Buendia serta kelamnya masa sejarah kemanusiaan kita, yang dilambangkan pada perang sipil antara pihak Konservatif dan Liberal maupun peristiwa pembantaian pada penduduk Macondo di cerita tersebut. Melalui novel ini kita dapat bercermin dan merefleksikan diri untuk tidak mengulangi dosa-dosa yang telah leluhur kita lakukan di masa lampau. Seperti itulah manfaat literatur, karya tulis yang dipakai sebagai media perekaman memori dari masa lalu yang tercatat dengan jelas sehingga kisahnya dapat kita pelajari untuk dapat diterapkan maupun tidak kita terapkan di masa depan.

Layaknya salah satu kutipan ceramah Gabriel Garcia Marquez pada saat menerima hadiah Nobel di bidang literatur pada tahun 1982. Walau mengawali orasinya dengan merefleksikan kembali sejarah kelam Amerika Latin yang penuh dengan pergolakan sipil dan kekerasan, Garcia tetap mengakhirinya dengan menegaskan harapan bagi umat manusia untuk membangun dunia yang lebih baik, dengan tuturan:

“Faced with this awesome reality that must have seemed a mere utopia through all of human time, we, the inventors of tales, who will believe anything, feel entitled to believe that it is not yet too late to engage in the creation of the opposite utopia. A new and sweeping utopia of life, where no one will be able to decide for others how they die, where love will prove true and happiness be possible, and where the races condemned to one hundred years of solitude will have, at last and forever, a second opportunity on earth.”

--

--