Namaku Merah Kirmizi dan Bentrokan Dunia Barat & Timur

“I am nothing but a corpse now, a body at the bottom of a well. ”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
7 min readMar 1, 2021

--

Miniatur Utsmaniyah. Reorient

Elegant Effendi adalah seorang miniaturis terkenal. Elegant Effendi adalah seorang miniaturis terkenal yang telah mati. Elegant Effendi adalah seorang miniaturis terkenal yang telah mati di dalam sumur. Elegant Effendi adalah seorang miniaturis terkenal yang telah mati di dalam sumur karena dibunuh seseorang. Elegant Effendi adalah seorang miniaturis terkenal yang telah mati di dalam sumur karena dibunuh seseorang dan mayatnya tak ditemukan selama belasan hari.

Suatu masa di Istanbul era kejayaan Kesultanan Utsmaniyah, tepatnya di paruh kedua abad ke-16, sekelompok miniaturis yang dipimpin oleh salah satu master bernama Enisthe Effendi diberi tugas rahasia oleh Sultan Murad III untuk menciptakan buku yang khusus dibuat untuknya sebagai salah satu memento kejayaan kepemimpinannya. Tak seperti buku biasanya, Sultan meminta mereka untuk melukis potret dirinya dengan gaya eropa layaknya yang dilakukan oleh para pelukis Venesia. Di tengah pembuatannya, salah satu miniaturis tersebut mati dibunuh dan mayatnya dibuang ke dalam sumur, entah siapa pelakunya.

Black adalah pejantan umur 30-an yang baru saja berpulang ke Istanbul setelah pengembaraannya berkeliling dunia Timur Tengah. Pertama kali menginjakkan kaki di kampungnya setelah sekian lama, dia langsung berkunjung ke rumah pamannya — Enisthe Effendi — karena diundang untuk membahas suatu hal. Setelah diceritakan panjang lebar, Black diajak oleh pamannya untuk membantu menyelesaikan tahap akhir dari buku yang sedang Enisthe buat. Obrolan mereka diintip melalui dinding oleh penghuni lain rumah tersebut. Ia adalah Shekure, anak perempuan Enisthe. Shekure adalah seorang ibu dari 2 anak bernama Shevket dan Orhan ditinggal suaminya untuk berperang dan belum kembali selama 4 tahun. adalah nama dari kedua buah hati yang telah ia hasilkan bersama suaminya. Selain untuk menemui pamannya, Black juga ingin berjumpa dengan Shekure — yang telah ia cintai selama 12 tahun. Kepulangannya ke Istanbul juga termotivasi oleh tujuannya untuk dapat memenangkan hati puan yang telah lama menjadi incarannya.

Kabar ditemukannya mayat Elegant Effendi meluas, hingga terdengar oleh Sultan. Enisthe Effendi merasa terancam karena ia berfirasat bahwa pembunuhan anak buahnya tersebut diakibatkan oleh keikutsertaannya dalam pembuatan buku rahasia pesanan Yang Mulia. Keamanan diri dan keluarganya pun terancam. Mau tidak mau, Black akhirnya ikut terseret dalam persoalan tersebut. Ia terjebak dalam permasalahan kompleks antara kesenian, keimanan, pembunuhan, perbenturan budaya, romansa, serta rahasia yang perlahan-lahan akan terkuak…

Konstantiniyye

“My Name is Red” adalah novel fiksi-sejarah yang menceritakan sejarah Turki di era Kesultanan Utsmaniyah, di mana pemerintah kekhalifahan Islam berada dalam salah satu masa kejayaannya. Paruh kedua abad ke-16, Utsmani dipimpin oleh Sultan Murad III (1571–1595). Beliau dikenal sebagai sultan yang sangat tertarik pada seni, tepatnya pada buku dan lukisan miniatur. Di masa kepemimpinannya, Murad III memerintahkan para miniaturis ahli di negerinya untuk membuat buku-buku cerita yang dipenuhi dengan miniatur dan beberapa di antaranya yang terkenal adalah Book of the Soul, Book of Kings, Book of Festivities, dan Book of Victories.

Istanbul, tempat di mana Timur bertemu Barat. 1883

Pusat perkembangan kesenian dan kebudayaan Turki pada saat itu tentu saja berada di Istanbul yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan kekhalifahan Utsmani. Kota yang dulunya bernama Konstantinopel ini sangat unik karena terbagi menjadi dua bagian antara benua Asia dan Eropa yang dipisahkan oleh selat Bosphorus. Walaupun dipisahkan oleh lautan, Istanbul dengan kedua sisinya tetap menjadi salah satu titik pertemuan antara kebudayaan barat dan timur. Sekularisme dan rasionalisme Barat bertabrakan dengan konservatisme serta mistikisme Timur di daratan Anatolia. Oleh karena itu, isu perbenturan budaya yang tak terelakkan tersebut menjadi salah satu tema utama dari novel Pamuk terbitan tahun 1999 ini. Praktik pergesekan budaya yang diangkat di novel ini yaitu di bidang kesenian, tepatnya seni lukisan.

Salah satu penyebab kematian Elegant Effendi dalam cerita adalah karena kebingungannya. Ia gelisah karena mendapat tugas dari masternya untuk mengiluminasi buku yang mengandung lukisan miniatur kehidupan Sultan. Sebenarnya, ia memang sudah sering membuat miniatur-miniatur yang terpampang pada buku-buku sebelumnya. Namun, kali ini Sultan menginginkan potret dirinya dilukis dengan gaya kaum Frank, untuk menonjolkan taji dan kedigdayaannya kepada bangsa Eropa. Elegant berada dalam dilema antara kewajibannya untuk menuruti keinginan Sultan — salah satu wakil Tuhan untuk memimpin manusia di muka bumi ini — sekaligus meragukan permintaan beliau yang ingin digambarkan dengan cara yang tak sesuai dengan syariat Islam — metode yang sering digunakan oleh para ‘kafir’.

Komparasi Seni Lukisan Timur & Barat

Timur

“Procession of the guilds in Hippodrome of Constantinople”. Wikimedia

Seni lukisan menjadi salah satu unsur yang penting dalam periodisasi kejayaan kekhalifahan Islam. Sultan, pasya, dan effendi berlomba-lomba untuk memperkaya diri demi menunjukkan statusnya juga untuk meninggalkan warisan budaya bagi generasi penerusnya. Salah satu jenis harta untuk menunjukkan kekayaannya adalah melalui kepemilikan buku/manuskrip yang diiluminasi. Miniatur asal dunia timur pertama-tama berawal dari tanah Persia pada abad ke-13. Namun, seni miniatur baru mencapai keemasannya pada tahun 1451–1750 masehi, bertepatan dengan masa kejayaan Utsmaniyah. Semakin ke sini, lukisan miniatur Timur seringkali menunjukan hasil akulturasi gaya lukis dari Persia, Hindustan, Cina, dan bangsa lainnya.

Sultan Murad II dalam “Book of Festivities”. Bilkent

Lukisan pada miniatur dari Timur biasanya menggambarkan segala subjek maupun objek dengan sangat mirip. Semua orang berwajah sama, tinggi yang senada, pakaian hanya beda warna, dan lain sebagainya. Penyebab gaya lukisan ini tentu saja berakar dari ajaran agama Islam yang melarang para umatnya untuk melukis makhluk yang bernyawa. Oleh karena itu, kebanyakan miniaturis lukisan dari Utsmani yang mayoritasnya muslim tidak berani menonjolkan subjek lukisannya secara detail. Gaya lukisan yang biasanya diasosiasikan layaknya “penglihatan seseorang yang memandang dari atas minaret” ini juga umumnya bukan dipakai untuk mengejawantahkan potret seseorang ke dalam media lukisan, tetapi hanya dipakai sebagai unsur pendukung berupa ilustrasi dari manuskrip tentang peristiwa dan cerita-cerita rakyat yang berasal dari Timur Tengah, seperti: kisah-kisah Nabi dan Rasul; Khosrow dan Shirin; epos Rustam dari Shanahmeh; dan lain sebagainya. Di masa sekarang, kebanyakan koleksi miniatur kuno dari zaman Persia hingga runtuhnya Utsmaniyah nan dibuat oleh pelukis terkenal seperti Mir Sayyid Ali, Kamālud-Dīn Behzād, dan Nakkaş Osman banyak disimpan di dalam Istana Topkapı, yang dulunya menjadi tempat tinggal sultan-sultan Utsmani.

Barat

“Madonna and Child with Saints” oleh Bonifacio Veronese. Metmuseum

Seni lukis menjadi salah satu bukti kemegahan peradaban Eropa zaman dahulu. Bangsa Italia-lah yang menjadi salah satu pemeran utama dalam pengembangan kebudayaan ini dan gerakan “kelahiran kembali” yang jadi pemantiknya. Renaisans merevolusi besar-besaran pemikiran dan kebudayaan masyarakat Eropa yang sebelumnya terkungkung oleh dogma-dogma teologi gereja Katolik & Protestan serta lazimnya praktik semena-mena oleh wakil Tuhan terhadap martir-martir penyampai gagasan yang dianggap menyelewengkan titah dari Yang Mahakuasa pada Abad Pertengahan. Gerakan ini bermula di sebuah kota bernama Firenze (Florence), yang terletak di bagian utara Italia, pada akhir abad ke-14. “Kembali ke sumber” menjadi moto semangat renaisans, yang bermaksud kembali ke paham ‘humanisme’/segala hal kembali bergulir di seputar kemanusiaan, layaknya yang dilakukan pada era Yunani kuno.

“Flagellation of Christ” oleh Piero della Francesca. Wikimedia

Kebangkitan spirit kemanusiaan terus meluas hingga akhirnya mencapai bidang kesenian. Penekanan pada gairah individual mendorong orang-orang di masa tersebut untuk melakukan pemujaan diri mereka masing-masing. Seni lukis menjadi salah satu media untuk menyalurkan pemikiran dan eksistensi mereka kepada dunia. Berkat humanisme, kebanyakan lukisan pada masa itu sering dipakai untuk merekam potret diri seseorang maupun tokoh-tokoh penting demi menunjukan individualitasnya. Ciri utama lukisan renaisans yaitu selalu memfokuskan detail wajah maupun badan dari segala subjek yang digambar dan juga penggunaan cat/warna yang sesuai demi menceritakan objek lukisan dengan serealistis mungkin. Pemahaman akan perspektif tiga dimensi dan pencahayaan juga dimulai pada era renaisans, yang turut berperan bagi lukisan-lukisan pada zaman ini untuk lebih menunjukkan gaya realismenya. Berbeda dengan gaya pelukisan dari Timur yang menggambarkan potret tanpa perspektif, lukisan Venesia berhasil memakai perspektif dan bayangan yang sesuai layaknya penglihatan dari mata manusia dalam memandang sekelilingnya. Lukisan khas barat tidak hanya digambarkan dalam media kanvas, tetapi juga sering dilukis dengan teknik fresco , yakni teknik pelukisan dengan cara menggambar dan mewarnai ke dinding bangunan secara langsung — seringnya dilakukan pada gereja maupun gedung pemerintahan. Dinding pada Kapel Sistina, Basilika St. Petrus, dan Katedral Firenze menjadi contoh lapak bagi para pelukis renaisans seperti Leonardo da Vinci, Raphael, juga Michelangelo untuk memanifestasikan bakat melukisnya.

Kota dan Penduduknya

Orhan Pamuk kerap mengangkat tema sosial ke dalam novel-novelnya, khususnya isu yang berkutat di sekitar masyarakat Turki. Ia tak perlu pergi ke luar negeri atau ke mana pun untuk mencari inspirasi. Istanbul, kampung halamannya, dengan melankolia serta kompleksitas budaya dan sejarahnya sangatlah cukup bagi Pamuk untuk dijadikan sebagai latar dalam cerita-ceritanya, dari The White Castle, The Red-Haired Woman, hingga A Strangeness in My Mind. Tak merasa cukup, novelis kontemporer Turki ini masih juga menulis memoar hidupnya dari kecil sampai menginjak dewasa di kota tempatnya tinggal dalam semi-autobiografi berjudul Istanbul: Memories and the City.

Namun, My Name is Red-lah yang digadang-gadang sebagai karya terbaik Pamuk yang membuat dirinya berhasil memboyong hadiah Nobel Kesusastraan pada tahun 2006. Novel ini digolongkan sebagai salah satu sastra postmodern, tercontohkan dari kritik sosialnya juga penggunaan narator cerita yang berubah-ubah — dari Anjing, Koin Emas, Kuda, sampai Kematian turut memberikan sumbangsih pemikirannya dalam cerita. Tidak hanya satu, cukup banyak tema yang dipakai dalam novel ini. Hubungan romansa antara Black dan Shekure; pemberantasan praktik bidah oleh kelompok Erzurumi; diskursus filosofi seni lukisan oleh para miniaturis; dan pelanggaran aturan agama Islam jadi beberapa contoh kekompleksannya. Dua yang terakhir menjadi isu utama.

Prosa indah dan gaya penceritaan Seribu Satu Malam-nya yang cantik makbul membuat pembacanya terpana. Pamuk menulisnya megah dengan ide dan kata, tetapi tak sampai pretensius dibuatnya. Keelokan Istanbul di abad pertengahan yang terdengar meriah sekaligus sayu berhasil tergambarkan dengan indah. Pamuk patut berterima kasih kepada kampung halamannya, begitu pula sebaliknya. Kesimpulannya, novel ini patut dibaca. Iya.

Oh, Orhan Pamuk! Semoga bisa mengunjungimu ke kota asalmu — tak apa jika tak sempat, cukup wariskan kepiawaianmu padaku.

--

--