Romantisisme dan Kierkegaard dalam Lukisan Dorian Gray

“Nowadays people know the price of everything and the value of nothing.”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
5 min readFeb 14, 2021

--

Film “The Picture of Dorian Gray” (1954).

Beauty, Hedonism, Corruption, Youth, Sensation. Lima kata tersebut menggambarkan secara garis besar pemahaman yang saya peroleh dari cerita ini. “The Picture of Dorian Gray” terkenal karena beragam kontroversi tentang ceritanya yang menyinggung kebudayaan dan nilai-nilai nan sensitif dalam masyarakat Eropa pada masa itu.

Dorian Gray adalah seorang pemuda aristokrat asal London nan sangat tampan & menawan. Oleh karena itu, salah satu temannya yang merupakan seorang pelukis bernama Basil Hallward yang tergila-gila padanya berniat untuk melukis potret diri Dorian ke atas media kanvas. Pada suatu hari, di tengah-tengah waktu pelukisan, Lord Henry Wotton berkunjung ke studio Basil dan akhirnya berkenalan dengan si “Prince Charming”. Terkagum-kagum akan ketampanannya dan keatraktifannya, Lord Henry akhirnya sering datang kembali untuk bercengkrama dan memberikan “ceramah” kepada Dorian sekaligus melihat hasil lukisan tersebut. Setelah lukisannya selesai, Lord Henry memberikan suatu pernyataan terkait betapa kasihannya Dorian karena lukisan tersebut selamanya akan tetap menyimpan dan menampilkan betapa tampan dirinya di masa muda namun berkebalikan untuk tubuh serta perawakannya yang semakin lama akan semakin menua dan berkeriput. Pernyataan tersebut membuat Dorian terluka hingga ia berkata:

“How sad it is! I shall grow old, and horrible, and dreadful. But this picture will remain always young … If it were only the other way! If it were I who was to be always young and the picture that was to grow old! For that — for that — I would give everything … I would give my soul for that!

Kejadian tersebut lah yang menjadi awal mula bagi Dorian untuk mengenal tentang pemikiran-pemikiran baru dan perubahan sifatnya nan akhirnya akan mengubah dirinya di masa depan.

Sastra Romantisisme

“The Picture of Dorian Gray” merupakan satu-satunya novel yang diciptakan oleh Oscar Wilde dan dipublikasikan pada abad ke-19 yang merupakan masa kejayaan romantisisme dan estetisisme di Eropa, dalam hal ini di Inggris pada era Victoria. Romantisisme adalah suatu gerakan pemikiran yang luas meliputi seni, sastra, sikap politik, dan pandangan hidup yang menekankan pada perasaan, imajinasi, dan emosi yang kuat serta mengedepankan subjektivitas masing-masing individu. Gerakan yang khas akan semangat “back-to-nature” ini lahir sebagai bentuk perlawanan atas rasionalisasi besar-besaran terhadap segala hal yang terjadi pada Abad Pencerahan di masa sebelumnya. Revolusi Industri dan Revolusi Prancis yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke-18 & 19 juga menjadi salah satu titik tolak lahirnya gerakan avant-garde ini. Karya seni dan sastra menjadi salah satu media yang paling sering digunakan untuk menyalurkan ide-ide dan nilai dari semangat Romantisisme.

Wanderer Above the Sea of Fog (1818), Caspar David Friedrich.

Namun, di novel ini Oscar Wilde seakan-akan mengkritik gerakan pemikiran Romantisisme. Efek samping dari gerakan ini yaitu terjerumusnya orang-orang pada zaman itu dalam praktik hedonisme, yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa tujuan utama manusia dalam hidup adalah untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan pribadi sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan hal-hal yang membuat perasaan menjadi sedih. Banyak percakapan antar tokoh dari cerita ini yang merupakan penggambaran pola pikir pada masa tersebut, yang menitikberatkan kepada kenikmatan, kemewahan, dan pemuasan diri terhadap banyak hal. Unsur-unsur tersebut digambarkan pada cerita metamorfosis dari Dorian yang awalnya merupakan seorang pemuda polos dan belum tahu apapun tentang dunia menuju dirinya yang “rusak” oleh pencarian kenikmatan, sensasi, dan segala praktik hedonismenya yang selama ini ia lakukan. Hal-hal yang dilakukan Dorian pada akhirnya juga memberikan pengaruh yang buruk pada lingkungan sekitarnya. Lord Henry Wotton merupakan tokoh yang sangat krusial dalam perubahan dalam diri Dorian, karena Lord Henry-lah yang awalnya mengenalkan dirinya terhadap kecantikan rupa yang ia miliki serta kenikmatan dunia. Oleh sebab itu, ia “secara tidak sengaja” menjual jiwanya demi menjaga ketampanan fisiknya yang — seharusnya — duniawi.

Fun fact (or not so), perkara kelakuan Dorian lah yang membuat naskah awal novel ini dianggap kontroversial pada masa itu — yang ditakutkan akan memperkenalkan dan menunjukkan hal-hal buruk hingga akhirnya dapat merusak moral masyarakat Inggris pada zamannya — sehingga novel yang dipublikasi dan dibaca selama ini adalah hasil revisi dari naskah asli yang bahasanya lebih vulgar. Untuk lebih mengetahui perbedaan antara naskah asli dengan terbitan yang telah direvisi, dapat dibaca melalui tautan ini (spoiler alert).

Tahapan Eksistensialisme

Søren Kierkegaard (1813–1855). Prospect

Cerita hidup Dorian Gray yang terjebak dalam dunia penuh sensasi ini dapat dikorelasikan dalam salah satu pemikiran filsafat eksistensialisme milik seorang filsuf asal Denmark. Søren Kierkegaard, salah satu filsafat terkenal abad ke-19, dalam salah satu buku kumpulan esainya yang berjudul “Either/Or”, membagi kehidupan menjadi tiga tahap, yaitu:

  1. Tahap Estetika: Manusia estetis adalah manusia “paling rendah” yang memahami eksistensinya dan menjalani kehidupannya dengan cara yang paling sederhana yaitu hanya dengan melakukan kesenangan-kesenangan yang bersifat badani dan duniawi, tanpa memedulikan pandangan orang lain.
  2. Tahap Etika: Dalam tahap ini, seseorang mulai memikirkan tentang tanggung jawab dan akibat dari perbuatannya. Manusia etis adalah manusia yang ikhlas untuk tidak melakukan apa yang ia senangi demi mencapai kepentingan bersama/for the greater good.
  3. Tahap Religius: Religius di sini bukan hanya terkurung dalam artian agama/ketuhanan saja, namun dalam arti keimanan. Keimanan adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak pasti/abstrak. Oleh karena “leap of faith” yang dilakukan pada jurang antara rasionalitas dengan hal abstrak itulah seseorang dianggap berada di puncak eksistensinya.

Kehidupan Dorian, apabila didasarkan dari tahapan itu, berada dalam tahap estetika. Pencariannya terhadap kenikmatan dan sensasi-sensasi baru di sepanjang umurnya menunjukkan tahapan eksistensinya sebagai manusia estetis. Ditunjukkan dengan Dorian yang mempelajari hal-hal baru seperti seni busana, pernak-pernik, perhiasan, dan sebagainya yang ia lakukan hingga menjelajah ke bagian lain di bumi ini. Ia terus-menerus mengidamkan impresi baru hingga akhirnya menjerumuskannya ke hal-hal yang tabu seperti seks bebas dan seks sesama jenis. Pada akhirnya Dorian tersadar atas segala kelakuan buruknya selama ini dan berusaha untuk berubah sekaligus menebus dosanya. Sayangnya, ia tidak berhasil mencapai keinginannya itu.

Dorian Gray tidak berkesempatan untuk naik tahapan menjadi seorang manusia etis, apalagi religius.

--

--