Rumah Jagal Lima dan Keabsurdannya

“Everything was beautiful and nothing hurt.”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
4 min readJan 28, 2021

--

Kurt Vonnegut dan berbagai sampul novel Slaughterhouse-Five. Book Marks / bookmarks.com

Kurt Vonnegut adalah seorang novelis asal Amerika Serikat yang terkenal akan novel-novelnya yang memiliki gaya penulisan bertema satir dan diselingi komedi gelap. Slaughterhouse-Five merupakan novelnya yang termasyhur dan paling sukses hingga didapuk sebagai salah satu dari 100 Novel Terbaik oleh majalah TIME. Novel ini adalah karya keduanya yang saya baca setelah Mother Night.

Billy Pilgrim merupakan tentara (or not) Amerika yang bertugas untuk negaranya sebagai pembantu pendeta militer, yang kerap kali menjadi bahan ejekan oleh anggota pasukan lain, karena ketidakbergunaannya bagi kawan dan ketidakberbahayaannya untuk lawan. Ia ditempatkan di Luksemburg untuk mengikuti perang di sektor barat Eropa saat Perang Dunia II yang kemudian dikenal sebagai Battle of the Bulge. Setelah pertempuran itu usai, ia bersama 3 tentara lain berusaha untuk tetap hidup dengan terus berjalan dan berjalan. Saat tiba di suatu hutan, ia tertidur dan di momen itulah pertama kalinya Billy mendapati dirinya “unstuck in time”, yaitu keadaan dimana ia terus melompat-lompat antar waktu di sepanjang kehidupannya secara acak/tidak berurutan, dari kelahirannya pada tahun 1922 sampai kematiannya pada tahun 1976. Contoh kejadiannya yaitu ketika tiba-tiba ia melompat pada momen saat dirinya digiring oleh tentara Jerman untuk masuk ke penjara bersama kamerad-kamerad Amerikanya. Di sana, ia juga bertemu tawanan-tawanan perang asal Inggris yang makmur karena sudah berada di dalam penjara itu selama 4 tahun lamanya dan gemar mengadakan pertunjukan teater Cinderella. Billy pernah juga melompati waktu ketika dirinya sedang berorasi sebagai presiden Amerika Serikat dan dibunuh pada saat itu juga dengan senjata laser tepat di kepalanya. Kisahpun berlanjut dengan melompatnya Billy ke momen-momen aneh yang lainnya — lagi. So it goes.

Novel yang cukup membingungkan karena ceritanya yang absurd dan alur paralelnya yang melompat acak dari waktu ke waktu ini merupakan salah satu contoh novel yang tepat untuk menggambarkan karya literatur pascamodern yang kerap kali menggunakan unsur satirisme, metafiksi, unreliable narration, dan bertema tentang sejarah dan politik. Gaya penulisan novel Kurt Vonnegut seringkali diawali dengan kata pengantar yang ia tulis sendiri, dan hal tersebut secara tidak langsung mengesankan bahwa Kurt sendirilah yang menjadi narator dalam ceritanya. Layaknya yang ia lakukan pada Slaughterhouse-Five, bab awalnya menceritakan seorang veteran perang yang ingin menulis novel tentang pengalamannya sendiri sebagai penyintas pengeboman kota Dresden, Jerman pada Februari 1945 yang menewaskan kurang lebih 25.000 jiwa dan menghancurkan kota yang terkenal dengan peninggalan kebudayaan dan bangunan bergaya Baroknya tersebut. So it goes.

Foto puing-puing sisa bangunan setelah pengeboman kota Dresden (1945)
Foto puing-puing sisa bangunan setelah pengeboman kota Dresden (1945). Amos Chapple / rferl.org

Oleh karena ceritanya yang menyentil dan mengutip salah satu peristiwa terburuk — sejujurnya tidak ada satu pun yang baik — dari Perang Dunia II tersebut, novel ini dianggap sebagai salah satu novel antiperang terbaik. Contohnya yaitu kritikannya terhadap dikirimnya para pemuda dan anak-anak yang tidak tahu apa-apa menuju ke medan perang, yang disinggung pada salah satu bagian cerita dimana para tokohnya berpendapat bahwa Perang Dunia II hanyalah mengulang kejadian Perang Salib, yang mana para pemuka agama Kristen di masa tersebut mengirim anak-anak untuk menyebarkan ajaran agama mereka di Jerusalem demi merebut kembali tanah suci tersebut, yang sekarang dikenal dengan nama peristiwa Children’s Crusade. Selain itu, cerita novel ini yang menggambarkan betapa absurd dan senseless-nya perang itu juga disimbolkan secara subtil oleh alur cerita yang mbulet dan tidak jelas. There ain’t nothing smart and sensible about war.

Sedikit Filosofi Teras

Kurt Vonnegut juga tak lupa untuk memberikan kalimat motivasi — yang mirip dengan prinsip stoisisme — melalui salah satu percakapan antara Billy dengan makhluk Trafalmadorian:

Billy: “But you do have a peaceful planet here”

Trafalmadorian: “Today we do. On other days we have wars as horrible as any you’ve ever seen or read about. There isn’t anything we can do about them, so we simply dont look at them. We ignore them. We spend eternity looking at pleasant moments — like today at the zoo. Isn’t this a nice moment?

Billy: “Yes”

Trafalmadorian: “That’s one thing Earthlings might learn to do, if they tried hard enough: Ignore the awful times, and concentrate on the good ones.”

Billy: “Um”

Cuitan seekor burung

Setelah perang usai, burung-burunglah yang pada akhirnya menjadi saksi bahwa kekerasan memang merupakan — dan akan selalu menjadi — bagian dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, merekapun hanya bisa berkomentar:

“Po-tee-weet?”

--

--