Sang Pencipta Tanpa Warna dan Tahun-Tahun Ziarahnya

“You can hide memories, but you can’t erase the history that produced them.”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
4 min readJan 29, 2021

--

Clifford Harper / Agraphia.co.uk

Penulis asal Jepang memang ahlinya menceritakan betapa tidak mengenakannya rasa kesendirian dan kesepian itu. Layaknya yang ditampilkan oleh Yukio Mishima melalui “Temple of the Golden Pavilion”, “Kokoro” dari Natsume Soseki, hingga “No Longer Human” milik Osamu Dazai. Baru-baru ini, Haruki Murakami sekali lagi membuktikan bahwa penulis dari negara matahari terbit selalu berhasil mendeskripsikan dengan ciamik bagaimana rasanya terasingkan — salah satu perasaan yang pernah dialami oleh sekian banyak penduduk di muka bumi ini — melalui novel bildungsroman-nya: Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage”.

Pada awal tahun ‘90an di Nagoya sebagai kota asalnya, Tsukuru Tazaki adalah seorang remaja yang menggemari stasiun kereta. Di masa SMA-nya, ia merasa bahagia karena tergabung di suatu kelompok — yang “tertata dan serasi” — bersama karibnya yang terdiri dari 2 laki-laki dan 2 perempuan: Kei “Aka” Akamatsu, si jenius; Yoshio “Ao” Oumi, si periang; Yuzuki “Shiro” Shirane, si cantik; dan Eri “Kuro” Kurono, si humoris. Kegiatan kelompok itu sangat beragam, dari nongkrong di kafe untuk sekedar bercerita, menjadi relawan sebagai pengurus di taman kanak-kanak, dan aktivitas lainnya yang membuat persahabatan mereka semakin erat.

Sekian tahunpun berlalu. Tsukuru harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia bercita-cita menjadi seorang insinyur perancang stasiun. Demi mencapainya, ia harus rela untuk pergi berkuliah ke Tokyo, meninggalkan kampung halaman serta kawan-kawannya. Namun, hal aneh tiba-tiba terjadi. Di tahun kedua perkuliahannya, Tsukuru mendapat kabar dari keempat temannya bahwa mereka tak mau lagi bertemu atau berbicara lagi dengannya, untuk selama-lamanya.

Singkat cerita, Tsukuru telah berumur 36 tahun dan telah menjadi seorang insinyur perancang stasiun kereta, sesuai dengan cita-citanya. Di masa ini ia bertemu dengan seorang wanita bernama Sara Kimoto, perempuan yang dicintainya. Kepadanyalah Tsukuru pertama kali menceritakan pengalaman yang hampir mencelakakan hidupnya itu. Setelah memahami masalahnya, Sara akhirnya menyuruh Tsukuru untuk mencari tahu penyebab kejadian itu dan “berziarah” kepada teman-teman lamanya sebagai obat untuk menyembuhkan luka yang sudah terkubur di hatinya selama 16 tahun.…

Murakami dan Musik

Novel ini tak luput dari kebiasaan penulis kelahiran Kyoto tersebut yang selalu memasukkan unsur musik ke dalam cerita-ceritanya. Sekarang giliran alunan piano klasik yang menjadi unsur besar di cerita ini, tepatnya melalui lagu “Le mal du pays”. Lagu urutan kedelapan dari rangkaian set permainan solo piano berjudul “Années de pèlerinage” oleh Frans Liszt, seorang musisi era romantisisme asal Hungaria.

Uniknya, kedua judul musik berbahasa Prancis tersebut memiliki arti penting di novel ini. Pertama yaitu judul novel ini yang terinspirasi dari lagu “Années de pèlerinage” yang terjemahannya ke bahasa Inggris berarti “Years of Pilgrimage”. Lebih unik lagi, dalam memberi judul tersebut Frans Liszt juga mengacu kepada salah satu novel ciptaan Goethe nan terkenal, Wilhelm Meister’s Journeyman Years. Inception-esque.

“Le mal du pays”

Lagu nan dimainkan melalui solo piano yang berdurasi sekitar 6 menit itu dipakai Murakami sebagai simbol yang mewakili tema besar cerita dari novel ini: Tsukuru Tazaki yang kehilangan “rumah”-nya, lalu usahanya untuk mencari tahu penyebabnya. Seperti terjemahannya dalam bahasa inggris: homesickness — longing for home — perasaan yang mengakibatkan Tsukuru depresi dan berbuntut pada keinginan untuk mengakhiri hidupnya, selama 6 bulan. Pada saat itu, pemikiran yang selalu hinggap di otaknya yaitu bahwa ia mungkin hanyalah seorang pelengkap di kelompok ‘berwarna’ tersebut, apalagi karena dirinya sendiri sadar akan sifat dan karakteristiknya yang sangat biasa, tak memiliki keahlian, lempeng, dan membosankan. Tergambarkan dari namanya yang berbeda dari teman-temannya, tak ada unsur warna — tak berwarna. Sedangkan, nama Tsukuru berarti “to make or build” tepat seperti pekerjaannya sekarang, seorang insinyur perancang stasiun — seorang pencipta.

Sekali lagi, Murakami berhasil membuat saya terpukau dan tenggelam ke dalam prosanya nan elok rupawan. Permainan kata-kata dan kalimat deskriptif tak berlebihan yang sangat enak untuk dibaca memanglah karakteristik utama dari semua novelnya. Kehangatan yang tercipta dari percakapan, deskripsi, latar belakang, ide-ide, serta karakter-karakter dalam cerita ini dapat membuat pembaca menikmati untuk menghabiskan novel keluaran tahun 2013 ini dalam sekali duduk. Salah satu deskripsinya nan indah dapat terwakilkan dari salah satu paragraf di bawah:

“And in that moment, he was finally able to accept it all. In the deepest recesses of his soul, Tsukuru Tazaki understood. One heart is not connected to another through harmony alone. They are, instead, linked deeply through their wounds. Pain linked to pain, fragility to fragility. There is no silence without a cry of grief, no forgiveness without bloodshed, no acceptance without a passage through acute loss. That is what lies at the root of true harmony.”

Persimpangan

Keramaian penumpang di Stasiun Shinjuku, Tokyo. AP / japantimes.co.jp

Setelah pulang kerja, Tsukuru pergi ke Stasiun Shinjuku yang terkenal sebagai stasiun tersibuk di dunia. Ia pergi ke kios kecil untuk membeli kopi. Hitam panas selalu menjadi favoritnya. Lalu ia duduk di sebuah bangku di Peron 9, tempat orang-orang menunggu untuk naik kereta tujuan Matsumoto. Para manusia pun berlalu-lalang melewatinya. Ada seorang pemuda yang sedang memakai headphone, sepasang anak kembar bersama kedua orang tuanya, juga sepasang kekasih yang sedang bermesraan di bangku peron seberang. Mereka semua sedang berada di persimpangan untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Entah menuju orang tua atau pasangan; rumah maupun restoran; dan pulang ataupun datang.

Tsukuru iri kepada mereka, karena ia tidak memiliki tempat yang ingin dituju — tidak lagi. Tak ada yang jadi tujuannya di antara 11 jalur kereta di Stasiun Shinjuku, tempatnya duduk menikmati kopi pahitnya. Bukan juga Tokyo, tempat tinggalnya sekarang, maupun Nagoya, kampung halamannya.

Tsukuru Tazaki kesepian berada di antara 7,5 miliar manusia yang tinggal bersamanya.

--

--