Sepucuk Ode untuk Jakarta

Rizki Ardhana
Ardhanisme
Published in
5 min readMay 27, 2021
Tirto

Bagaimana Jakarta akan menceritakan tentang dirinya? Apakah seperti yang ditampilkan di layar kaca? Dari pucuk gedung-gedung nan menjulang di Sudirman, kaca spion berdebu di Tanah Abang, atau di Jalan Medan Merdeka, tempat pejabat pemerintah menggodok peraturan?

Bukan, kali ini Jakarta hendak menceritakan sisi lain miliknya melalui lorong-lorong apartemen Kalibata, merah darah cahaya senja di Pantai Mutiara, serta momen penutupan wahana Istana Boneka.

Jakarta adalah kota nan senantiasa berkembang. Peranannya sebagai ibukota sejak masa kemerdekaan memaksa kota metropolitan ini untuk terus-menerus membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Namun, hal-hal yang berkembang pesat akan senantiasa berbanding lurus dengan efek samping yang ditimbulkannya. Gedung baru dibangun setiap bulan, jutaan kendaraan melaju dan “berpolusi” di aspal jalanan, bayi-bayi baru dilahirkan, dan lansia mati kelaparan. Banyak orang-orang memilih datang ke sana dari desa maupun kota lain untuk mengisi pundi-pundi sebagai upaya melangsungkan hidup — entah hanya berapa yang berhasil mencapai keinginannya.

Karena banyaknya latar belakang nan berbeda-beda dari para penduduknya, Jakarta sangat terkenal dengan keberagamannya, yang bisa dilihat dengan jelas dari ujung timur hingga ujung barat, juga utara sampai selatan. Diversitas sosial, seperti agama, suku, dan budaya, sangat mudah ditemui, begitu juga dengan ketimpangan strata ekonomi di masyarakat. Terlihat jelas pada saat kita berjalan di antara permukiman yang kumuh, gedung-gedung pencakar langit nan terpampang sebagai latar belakang bisa dilihat dalam satu kedipan.

Goodreads

Oleh karena itu, semua pemandangan dan sukma atas Jakarta tersebut ingin dirangkum melalui Cerita-Cerita Jakarta. Buku antologi cerpen ini pertama kali dicetak dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of Jakarta: A City in Short Fiction pada Desember 2020, sebagai salah satu bagian dari seri Reading the City oleh penerbit Comma Press asal Manchester, Inggris. Kali ini, POST Press mencetak Cerita-Cerita Jakarta dalam bahasa aslinya untuk menyapa para pembaca di tanah air. Sepuluh penulis yang menganggap Jakarta sebagai rumahnya — sejak dulu hingga kini atau sebuah masa di dalam hidupnya — menceritakan 10 kisah kehidupan dari pinggiran kota, yang kerap kali tak tersentuh oleh media. Tidak main-main, banyak penulis termasyhur yang turut menyumbangkan cerita pendeknya masing-masing, seperti: Yusi Avianto Pareanom, Sabda Armandio, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie, serta penulis lain yang telah memenangkan berbagai penghargaan atas karya yang telah mereka gubah sebelumnya.

Dan semua kota sejatinya merupakan kota yang romantis, begitu pun Jakarta. Tidak hanya “romantis” dalam konteks percintaan, tetapi juga tentang melankolia dan perasaan-perasaan lainnya. Layaknya cerita pembuka berjudul “B217AN” yang ditulis oleh Ratri Ninditya. Judulnya merupakan permainan kata tentang plat nomor kendaraan yang menggambarkan kisah tentang pasangan sejoli kelas menengah yang berkencan berdua untuk satu tujuan terakhir, makan bersama di restoran seafood. Saat duduk di jok belakang dalam perjalanan melewati gang berliku, deretan rumah petak, hingga lapangan becek, tokoh “Aku” mengingat kembali semua kenangan manis juga masam nan berlalu di antara mereka berdua, yang akhirnya ditaklukkan oleh pahitnya kenyataan.

Juga ada cerita fiksi ilmiah unik tentang Jakarta di masa depan yang berjudul “Buyan”. utiuts menuliskan cerita komedi satir tentang seorang ibu-ibu yang sedang menumpang di sebuah mobil taksi online yang berjalan secara otomatis tanpa supir. Tante Nana melaju menuju ke arah utara yang telah tenggelam diterkam air asin Laut Jawa. Di masa itu, setengah Jakarta telah tenggelam sepinggang akibat penurunan permukaan tanah dan ragam keserakahan manusia, tetapi dia belum mengetahuinya. Tante Nana berjalan menuju kenahasannya sendiri akibat kemajuan teknologi dan hantu dari masa lalu yang tak kunjung hilang. Kisah ini seolah-olah mengkritik para petinggi-petinggi kerah putih atas “kenaifan” mereka terhadap penggembar-gemboran wacana modernisasi serta otomatisasi industri dan pemerintahan, seperti istilah-istilah artifical intelligence, Revolusi Industri 4.0, big data, dsb. Namun, wacana tersebut tidak pernah diimbangi dengan keputusan-keputusan yang terbaik untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan alam. Pada akhirnya, semutakhir apapun teknologi dibuat oleh manusia demi kemaslahatan, tetap saja kita akan menyerah apabila ibu pertiwi berkehendak lain.

Selain itu, banyak lagi peristiwa yang dibahas pada 8 cerita-cerita pendek lainnya. Ada cerita tentang sepasang sahabat yang berpisah karena Peristiwa Mei 1998, juga seseorang yang terjebak dalam birokrasi yang melilit saat ingin membuat paspor di kantor imigrasi. Kedua cerita tersebut membahas tentang kisah orang-orang peranakan yang menjadi korban stereotip dan kekerasan rasial yang belum bisa terpisah dari kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, dalam hal ini di Jakarta. Lalu ada Dewi Kharisma Michellia yang ingin mengingatkan kembali akan kenangan tentang daerah lokalisasi Kramat Tunggak yang seakan ingin ditutup-tutupi, padahal telah berperan besar terhadap pembangunan kota Jakarta di masa lalu. Kisah tersebut dibawakan melalui interaksi antara anak perempuan dengan ibunya yang dulu pernah bekerja di sana.

Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta berperan layaknya coup de grace karena telah mengakhiri antologi ini dengan apik. Premisnya simpel, seharian kita diajak menemani seorang warga Depok pergi ke Jakarta untuk mengerjakan beberapa ihwal: mengurus visa ke Kedutaan Besar Amerika di Medan Merdeka, masuk ke salah satu bangunan tinggi di Setiabudi, dan bertolak ke Kemang untuk berjumpa kawan lama. Dibawalah kita menaiki komuter dan bus tingkat pariwisata, didatangi pengamen saat makan siang, serta berbincang-bincang dengan dua sopir taksi yang menanyakan agama dan merekomendasikan poligami. Akhirnya, warga Depok tersebut sampai ke rumahnya pada dini hari. Namun sialnya, ia teringat bahwa di esok hari dirinya perlu menyusulkan paspor miliknya yang tertinggal di rumah dan belum diserahkan ke kantor kedutaan besar. Subuh esok, ia harus kembali pergi ke Jakarta…

Memang muskil untuk menggambarkan Jakarta yang sangat kompleks hanya dari sepuluh cerita pendek saja. Namun, melalui antologi yang dikurasi Maesy Ang dan Teddy W. Kusuma ini, para pembaca dapat lebih mengenal Jakarta yang tak hanya sarat akan kisah kriminalitasnya, ataupun sebagai pusat dibuatnya peraturan-peraturan yang berbuntut kepada kehidupan seluruh warga negara, tetapi juga kisah-kisah yang ada di baliknya: di tengah sesaknya perkampungan, meja warung makan di Pecenongan, perempatan Jalan Palmerah, di Stasiun Juanda, dan tepi-tepi lain Jakarta. Kesimpulannya, kesepuluh cerita tersebut menggambarkan Jakarta sebagai entitas yang kaotis, terus bergerak, berubah, dan tak akan pernah usai.

Judul Buku : Cerita-Cerita Jakarta

Penulis : Yusi Avianto Pareanom, Sabda Armandio, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie, Cyntha Hariadi, dll.

Editor : Maesy Ang & Teddy W. Kusuma

Cetakan : I, Maret 2021

Penerbit : POST Press

Ketebalan : xv + 213 halaman

ISBN : 978–602–60304–6–7

--

--