The Sailor Who Fell from Grace with the Sea

“All six of us are geniuses. And the world, as you know, is empty.”

Rizki Ardhana
Ardhanisme
4 min readFeb 8, 2021

--

Film “The Sailor Who Fell from Grace with the Sea” (1976). United Archives / getty

“The Sailor Who Fell from Grace with the Sea”. Entah mengapa, saya suka sekali dengan judulnya. Novel ini adalah karya ke-3 Yukio Mishima yang telah saya baca dan rasanya, buku ini sangat mencerminkan dengan jelas tentang pandangan dan idenya, khususnya tentang maskulinitas, kebanggaan diri, penolakannya terhadap westernisasi, dan juga pandangan glorifikasinya tentang kematian.

Berlatar tempat dan waktu di Yokohama, Jepang pada masa pasca Perang Dunia II, menceritakan tentang 3 tokoh utama yakni Noboru, bocah berumur 13 tahun, lalu Fumiko, ibu Noboru yang bekerja sebagai pengusaha toko pakaian mewah impor, serta Ryuji, seorang pelaut. Suatu malam, Noboru tidak sengaja mengintip melalui lubang di dindingnya bahwa Ibunya sedang melakukan “affair” dengan Ryuji. Momen tersebutlah yang mengawali obsesi Noboru terhadap Ryuji, yang ia idealkan sebagai “the peak of manliness”. Noboru pun menceritakan tentang hal ini kepada gengnya — semacam “thought gang” — yang beranggotakan ia bersama 5 teman sebayanya. Singkat cerita, Ryuji mulai menunjukkan sisi dirinya yang halus & romantis yang mana hal tersebut sangat mengecewakan bagi Noboru, karena proyeksi dan anggapannya terhadap Ryuji nan ia puja selama ini salah. Setelah mengetahui kenyataan tersebut, Ia akhirnya bercerita kepada teman-teman satu gengnya. Segalanya pun berlanjut menjadi semakin gelap.

Tentang Yukio Mishima

Yukio Mishima saat melakukan orasi dalam upaya kudetanya (1970). unknown/VT

Yukio Mishima, bernama asli Kimitake Hiraoka, adalah seorang sastrawan, seniman, aktor, dan model asal Jepang yang terkenal pada masa 1960-an. Ia dianggap sebagai salah satu sastrawan terpenting di abad 20. Gaya penulisan sastranya sangat indah, dengan menggunakan kosakata nan mewah serta menggabungkan bahasa tradisional Jepang dengan gaya penulisan sastra-sastra barat modern.

Selain karena karyanya, ia juga dikenal karena gerakan politiknya yang kontroversial. Ia merupakan seorang pendukung spektrum politik sayap kanan yang mengagungkan semangat nasionalisme masa konservatif Jepang nan khas akan semangat “bushido” milik samurai zaman Edo . Ia menolak segala bentuk modernisme yang dilakukan Jepang pada masa pasca-Perang Dunia II, di mana Jepang sedang galak-galaknya melakukan revolusi industri dan menerima budaya-budaya barat akibat kekalahannya atas Amerika. Yukio merasa bahwa lama-kelamaan masyarakat Jepang akan kehilangan identitas nasionalnya (Kokutai) serta warisan kebudayaan yang telah dimiliki selama berabad-abad. Segala pandangannya pun selalu dicurahkan pada novel dan drama-drama yang ditulisnya.

Simbolisme

Penulis kelahiran Tokyo ini sering menggunakan gaya simbolisme untuk mendeskripsikan pandangannya secara subtil. Dalam novel yang dalam bahasa Jepang berjudul “Gogo no Eiko” ini, Yukio juga banyak menggunakan simbol-simbol, baik melalui tokoh, percakapan, atau narasinya. Sedikit contoh simbolisme yang dipakai, yaitu:

  1. Noboru: mencerminkan tentang pemikiran milik Yukio sendiri nan terpaku pada nilai-nilai tradisional Jepang. Noboru bersama teman-teman satu gengnya kerap kali berdiskusi tentang sia-sianya kehidupan manusia dan bermasyarakat serta membenci konsep kedewasaan dan kebapakan. Noboru dan gengnya menggambarkan konsep nihilisme Yukio Mishima.
  2. Fusako: menggambarkan tentang Jepang di masa pascaperang saat mulai masuknya budaya-budaya barat. Simbolismenya ditunjukkan melalui beberapa adegan seperti kamarnya yang penuh dengan ornamen serta barang-barang mewah asal negara barat, jarang melakukan upacara kebudayaan, memilih menyajikan kopi dibandingkan teh, dan sebagainya.
  3. Ryuji: memproyeksikan tentang transisi antara Jepang lama menjadi modern. Awalnya ia melambangkan nilai-nilai konservatif Jepang seperti maskulinitas, heroisme, pemujaan terhadap laut, serta kematian nan mulia — dicerminkan melalui pekerjaannya sebagai pelaut. Lama-kelamaan ia akhirnya tunduk kepada rasa cintanya kepada Fusako, layaknya Jepang yang menyerah pada hegemoni Amerika.

Yukio Mishima selalu sukses menggubah karya-karyanya dengan cemerlang, melalui prosa-prosa yang indah dan ide-ide yang thought provoking. Pemikiran-pemikiran radikalnya berhasil ia bungkus dengan ciamik melalui pemilihan kata dan penggunaan kalimat nan elegan, yang diselipkan menggunakan pelambangan melalui deskripsi-deskripsi latar cerita maupun percakapan yang dilakukan oleh para tokoh. Oleh karena itu, novel ini sangat pantas untuk dianggap sebagai salah satu karya terbaik Mishima.

Tetapi, menurut saya buku ini kurang cocok bagi para pembaca yang penasaran untuk mulai mengulik karya Mishima, apalagi jika belum pernah mendengar nama dan latar belakangnya sama sekali. Novel ini lebih cocok untuk menjadi novel urutan kedua untuk dibaca karena penggunaan simbol-simbol serta ceritanya yg tidak umum. Memulainya dengan novel “The Sound of Waves” — yang cerita dan bahasanya lebih easy-to-read — terlebih dahulu akan lebih mudah bagi para pembaca baru untuk mulai menikmati prosa-prosa cantik — serta pemikiran radikal — yang diciptakan oleh Mishima, karena seperti yang kita tahu: first impression does matter.

Dermaga Yokohama. MeijiShowa/Old Tokyo

“The whistle wails and streamers tear,

our ship slips away from the pier.

Now the sea’s my home, I decided that.

But even I must shed a tear

As I wave, boys, as I wave so sad.

At the harbor town where my heart was glad”

--

--