Pengembangan Software : Dengan In-house team, Freelance, atau Software House?

Big Zaman
Badr Interactive
Published in
8 min readMar 29, 2019

Disclaimer : Penulis adalah Direktur PT Badr Interactive, software house pengembang aplikasi web dan mobile yang telah berdiri sejak 2011 dengan 200+ portofolio proyek mobile & web application. Review berusaha dibuat seobyektif mungkin namun klo khilaf-khilaf dikit promosi, mohon dimaklumi :D

Kami Butuh Programmer!

Bagi yang pernah membaca novel atau menonton film “Harry Potter” tentu tidak asing dengan istilah “muggle” dan “wizard”. Mungkin ini istilah yang pas untuk menjelaskan profesi programmer atau developer (well, sebenarnya semua orang yang punya spesialisasi apapun sih hehe). Programmer dapat membuat sesuatu yang awalnya tidak ada menjadi ada. Layaknya wizard, ia bisa menciptakan sesuatu yang muggle tidak bisa. Dulu orang gak mungkin bisa pesen ojek tanpa ketemu dengan babang ojeknya terlebih dahulu, namun saat ini semua itu sangat mudah dilakukan karena ada aplikasi ojek online “lima huruf” atau “empat huruf” yang semuanya sama-sama dibuat oleh…programmer. Tidak hanya itu, ingin melakukan perhitungan dengan mudah dan cepat, melihat summary sejumlah data yang rumit dan kompleks, membuat orang mampu berkomunikasi walaupun tidak berada di tempat yang sama…itulah “sihir” yang diciptakan oleh seorang programmer.

Belakangan dengan maraknya dunia startup digital, penggunaan teknologi di semua aspek kehidupan pribadi hingga pekerjaan. Maka orang-orang mulai berbondong-bondong membuat website maupun aplikasi. Programmer pun mulai banyak dicari agar ia mau bekerja menciptakan “sihir” untuk para pengusaha atau orang-orang yang membutuhkan teknologi ini. Maka sudah menjadi rahasia umum beberapa posisi in-house programmer punya rate salary yang setinggi langit. Hal ini akhirnya membuat ciut para founder startup atau perusahaan yang ingin meng-hire mereka karena besarnya fixed cost untuk mengakuisisi talenta programmer terbaik hari ini. Pada akhirnya muncullah opsi selain hire programmer, yakni mencari jasa tenaga lepas baik freelance perorangan hingga mempertimbangkan jasa software house untuk memenuhi kebutuhan IT mereka.

Pertanyaannya, lebih baik manakah rekrut programmer untuk develop software secara in-house, atau freelance perorang, atau hire software house? Tulisan ini sedikit banyak akan mengupas hal ini. Agar tidak melebar konteksnya, saya kerucutkan dalam konteks founder yang ingin membuat startup digital, atau seorang pimpinan perusahaan yang memiliki kebutuhan IT rutin didalam perusahaannya.

The Best Thing : You Must Have Your Own CTO!

Jika ada perusahaan startup digital baru yang akan mengembangkan produknya meminta saran diantara ketiga hal diatas, maka saya akan menyarankan mereka untuk memiliki profil seorang CTO yang qualified terlebih dahulu dalam startup-nya.

“If you are not a wizard, so find ‘the boss’ of wizard. He know what to do!”

Kenapa CTO (yang qualified) ini penting? Karena ente mau bikin startup IT boss..jadi kudu ada yang ngerti IT. Ini agak-agak you don’t say, tapi percayalah banyaaak orang diluar sana yang bermimpi ingin menjadi the new Nadiem Makarim, Achmad Zaky, dsb tapi di tataran cofounder-nya sama sekali tidak ada orang yang punya background IT yang mumpuni. Pikirnya kalau udah mulai ngoding, yaudah tinggal hire aja anak Fasilkom atau anak Informatika. (FYI, sejujurnya ini sama aja dengan anak-anak jagoan IT yang mau bikin startup, yang penting ngoding dulu, klo udah waktunya jualan tinggal hire sales, ntar sales itu yang jualan wkwk)

NDAK BISA BRO SIST! Justru disinilah peran critical seorang CTO. Dia tau bagaimana cara mengejawantahkan dari roadmap bisnis ke roadmap pengembangan produk. Dari roadmap pengembangan produk ke technology stack yang akan digunakan. Menimbang-nimbang arsitektur sistem MVP (Minimum Viable Product) yang simpel untuk segera dapat mem-validasi ide, namun juga mempertimbangkan potensi agar tidak memiliki technical debt yang besar di masa depan. That’s why you need a qualified-CTO! Gak cuma anak bawang yang punya gelar S.Kom atau Sarjana Informatika dibelakang namanya. Atau fresh grad yang masih hijau dalam dunia sepak terjang pembuatan produk. Apalagi yang gak punya background IT sama sekali :D

Terus dimana cari CTO? Emang ini yang susah. Cari programmer yang bagus dan loyal hari ini aja susah setengah mati, apalagi CTO yang mau berbagi masalah dengan kita, mempertaruhkan waktu-waktu produktifnya bahkan masa depannya untuk “ketidakjelasan” startup kita, dengan gaji startup fase awal yang biasanya juga ala kadarnya.

Beberapa hal yang dibutuhkan untuk mencari CTO biasanya:

  1. Butuh kemampuan the power of “coti” alias ajakan persuasif yang kuat. Karena memang startup awal gak punya apa-apa kecuali mimpi. Maka butuh passion yang kuat, karakter yang mantap dulu sebagai founder dari ide startup Anda. Sering-sering nonton Naruto, belajar lah jurus “tausiyah” Naruto yang paling ampun untuk mengalahkan lawan-lawan terberatnya seperti Pain, Sasuke, Obito, dll. xD
  2. Variabel kedekatan seperti sama-sama temen main, sama-sama temen kuliah, temen satu komunitas, dll. Pastikan sudah kenal cukup baik karena ini masalah muamalah. Cari co-founder itu gampang-gampang susah, sebelas dua belas kayak cari jodoh #azeeg Silahkan bisa tonton video dari Badr Startup Studio tentang tips mencari founder disini.

Sekali lagi hati-hati jangan cuma yang sekedar lulusan IT karena gak semua anak IT tau cara mengembangkan produk, implementasi MVP dari scratch. Kata kuncinya adalah : expertise dan experience. Ketika kita sudah mendapatkan “the right one”, maka cukuplah dia yang akan menentukan kapan harus rekrut, cukup di-outsource ke freelance perorangan, atau harus divendorin ke software house.

But I can’t Find My CTO!

Tahun 2014 ada seorang founder startup, sebut saja Saipul, datang ke kantor Badr Interactive. Saipul sejak mahasiswa terkenal sebagai mahasiswa yang bertalenta, mapres, cumlaude, menang kejuaraan ini itu dan bagian terpentingnya dia punya karakter mahasiswa jarang hari ini, IDEALIS! Saipul tidak berlatar belakang IT, jadi dia datang ke Badr untuk menawarkan menjadi partner IT di startup-nya, jadi CTO-nya begitu kira-kira tapi dengan entitas Badr sebagai perusahaan bukan perorangan. Walaupun beliau cerita dengan sangat berapi-api tentang startup-nya, tapi saat itu kami tidak tertarik. Namun kami tetap membantu beliau dengan mencarikan anak intern yang bisa diminta untuk mengembangkan produknya. Sekian bulan berjalan gak works, anak-anak intern-nya gak komit dengan target, software-nya buggy. Akhirnya Saipul memutuskan untuk hire beberapa orang / intern sendiri, ternyata hasilnya masih jauh juga dari memuaskan.

Tidak putus asa, Saipul mencoba peruntungannya untuk mencari orang IT (tapi sepertinya kualifikasinya masih jauh dari CTO ideal) yang bisa membantunya. Akhirnya dia coba hire vendor “kelas menengah” atau mungkin bisa dibilang sekelompok tim freelance. Cost yang keluar lebih mahal namun software-nya ternyata masih banyak bug dan glitch didalamnya. Bisa sih didemoin buat presentasi kesana kemari, tapi untuk dipakai massal sebagai sebuah produk pada umumnya, masih banyak error disana sini. Di akhir 2018, saya ketemu lagi dengan beliau di suatu tempat, dan beliau bilang kurang lebih,

“Saya udah mau nyerah Bang..Hampir lima tahun jalanin ini, banyak presentasi kesana kemari, hampir semua orang bilang produknya prospektif. Saya masih yakin startup saya ini secara bisnis promising, tapi….secara produk, startup saya lemah.

Dari sini saya mengambil kesimpulan, mengembangkan produk dengan hire programmer sendiri tanpa campur tangan CTO yang mumpuni mungkin bisa berhasil tapi kemungkinannya bisa dibilang sangat kecil. Walaupun senior programmer sekalipun, apalagi fresh graduate. Kecil kemungkinan kita bisa mempekerjakan sekelompok orang tapi gak ada bisa jadi “mandor”-nya. Seringkali malah di-markup cost pengerjaannya, gak sebanding dengan deliverables pekerjaan yang diberikan, atau kita tidak pernah bisa mengevaluasi pekerjaannya dengan optimal.

Disinilah, vendor menjadi solusi. Ada ‘mandor’-nya, ada orang yang bisa kerja. Ada yang bisa implementasi, ada yang bisa merancang dan memonitor standar kualitasnya. Gak perlu pusing cari CTO, gak perlu sibuk cari programmer (yang katanya juga suka jadi ‘kutu loncat’), cukup pikirkan apa yang mau dibuat. Dan tentu, siapkan budgetnya :D

Kapan Harus Hire Software House?

Ini pertanyaan yang sulit, karena saya sebagai ‘juragan’ software house tentu pengen jawab, “Setiap saat situ butuh software lah” xD

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan hire software house. Untk mengetahuinya, coba anda jawab beberapa pertanyaan-pertanyaan berikut.

  1. Apakah kita memiliki tim yang memiliki skill plus resource yang cukup dan KITA PERCAYA dia bisa mengerjakan pekerjaan tersebut?
  2. Apakah outsourcing ini dapat mencapai goals jangka pendek kita dengan lebih cepat? Apakah ada momentum penting yang kita lewatkan jika kita tidak bisa men-deliver goals kita tepat waktu?
  3. Apakah kita memiliki resource untuk merekrut dan me-maintain in-house talent tersebut?
  4. Apa saja value yang kita dapatkan untuk cost outsourcing yang kita keluarkan tersebut?
  5. Dimanakah diri kita dan talent-talent terbaik di startup kita, kita alokasikan? Lebih baik belajar dan mengerjakan pekerjaan tersebut atau yang lain yang lebih impactful?

Timbang-timbang lima pertanyaan diatas, kalau perlu sholat istikhoroh dulu biar mantep :D

Harus diakui, vendor adalah solusi berkualitas yang paling praktis namun tidak efisien. Cost tersebut harus kita keluarkan karena kita membeli value yang disediakan oleh software house. Gak perlu cari developer, gak perlu maintain perasaan para programmer-nya, gak perlu mikirin biaya peningkatan kapasitas, dll. Belum lagi bayar sewa kantornya, listrik dan internetnya, jaminan kesehatan orang-orangnya, PPh karyawannya, dan banyak lagi. Semuanya sudah dipikirin oleh si vendor sendiri.

Untuk non-startup yakni perusahaan level korporat sekalipun juga biasanya cukup berhati-hati dalam hiring karyawan baru, yang akan menjadi fixed cost jangka panjang perusahaan. Beberapa klien-klien corporate Badr misalnya PT Pertamina Persero, orang IT-nya state sendirinya kalau semua project di Pertamina pasti “divendorin”, alih-alih dikerjakan sendiri.

Kenapa ke software house gak ke freelance perorangan aja? Setidaknya karena dua alasan. Satu, seringkali perorangan terlalu beresiko karena freelance ini biasanya single fighter. Kalau tiba-tiba ada hal-hal force majeur yang terjadi, maka bisa dipastikan proyek kita akan terbengkalai. Dua, biasanya perusahaan korporat hanya bisa bekerjasama dengan perusahaan yang sudah PKP (Perusahaan Kena Pajak), yang harus bayar PPN, PPH Badan, dll begitu-begitu yang saya juga gak terlalu faham. Intinya mereka butuh dikirim invoice dan faktur resmi perusahaan begitu :D Yang tidak bisa mereka dapatkan dari freelance perorangan pada umumnya.

Key Takeaways : Gunakan Software House Seperlunya

Pengembangan software akan lebih mudah jika kita punya CTO atau orang yang memiliki kualifikasi ideal seorang CTO. Jika ia belum ada dalam startup atau perusahaan anda, pastikan untuk ada. Rayu dengan segala daya dan upaya yang bisa Anda lakukan. Kita sudah dapat, maka percayakan ia membuat tim “in-house”-nya sendiri atau meng-outsource-kannya.

Kalau gak dapet-dapet CTO nya? Segera siapkan budget lebih. Kalau startup, founder-nya banyak-banyak nabung atau cari pendanaan ke para investor yang baik hati diluar sana, untuk hire software house. Karena anda gak punya pilihan lain saat ini.

Saran tambahan dari saya:

  1. Usahakan kerjasama yang bersifat jangka panjang, bukan hanya proyek jual beli putus agar vendor tetap melakukan maintenance jangka panjang produk kita. Cons-nya tentu harus ada yang ditawarkan baik profit sharing hingga share. Dan kalaupun si software house bersedia, tetap siapkan budget juga karena biasanya vendor tetap meminta alokasi untuk modal pengembangan. Kerjasama seperti ini works di Badr, kita sudah kerjasama dengan PT Buku Yusuf Mansur dan PT Nurul Fikri untuk startup yang sedang kami kembangkan Skydu.id yang juga mengembangkan Paytren Academy dan NFJuara.
  2. Kalau vendornya maunya jual beli putus aja, yaa apa daya karena kita “membayar momentum” yang tidak boleh terlewat. Momentum itu sangat krusial yang menentukan growth tidaknya sebuah startup atau keputusan bisnis di perusahaan corporate. Maka siapkan perencanaan yang terukur dari sisi timeline dan tentu budget, sambil menyiapkan dalam jangka panjang untuk menyiapkan tim in-house sendiri. Kapan waktunya hiring sendiri? Ya, ketika produk Anda sudah siap. Sistem lebih stabil, revenue stream sudah terlihat pola-nya atau setidaknya business model-nya sudah tervalidasi, disitulah saatnya membentuk “the dream teamdevelopment untuk melanjutkan estafet pengembangan produk Anda selanjutnya.

Selamat memutuskan. Apapun hasil pilihan Anda, pastikan Anda bisa membuat software yang Anda harapkan namun tidak melewatkan momen yang ingin dikejar dan tentu dikembangkan dengan kualitas terbaik :)

--

--

Big Zaman
Badr Interactive

Leading a visionary software house BADR Interactive http://badr.co.id. Passionate in project management, leadership, and Islamic as well.