Perjalanan Memahami Esensi Keilmuan, Menemukan Passion dan Kesadaran Menerapkan Ilmu secara Bijaksana

Nadia Maghfira
Badr Interactive
Published in
5 min readMar 31, 2018

Perjalanan quarter life crisis ini dimulai sejak tingkat tiga di bangku perkuliahan. Berkuliah jurusan desain khususnya desain produk, membuat gamang arah saking bebasnya pilihan. Saat teman-teman saya sudah menemukan passion mereka, ada yang cenderung ke industri otomotif dengan sketching ala industrial design yang lihai, ada yang senang mengeksplorasi material bambu lalu punya brand usaha sendiri, dsbg. Sedangkan, saya belum yakin dengan passion saya sendiri, lebih dari itu saya belum menemukan esensi keilmuan ‘desain’ ini.

Kegundahan ini saya coba tantang dengan bekerja praktik di tempat yang tak lazim dipilih oleh teman-teman lain. Saat teman-teman saya memilih studio/biro desain atau industri koorperat besar saya malah memutuskan bekerja praktik di desa. Tepatnya, di sebuah NGO (Non-goverment Organization) bernama Spedagi di Desa Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Sekilas tentang Bekerja Praktik

Spedagi didirikan oleh Bapak Singgih S. Kartono. Beliau adalah desainer sekaligus founder dari Radio Kayu Magno yang meraih banyak design award bergengsi. Salah satunya, Good Design Award yang tentunya diidam-idamkan oleh para desainer dunia. Berkat idealis Bapak yang mencetuskan Village Revitalization Movement atau gerakan pulang kampung bangun desa, membawa Radio Kayu Magno, produk desa ini jadi mendunia karena konsep sustainable dengan menggunakan material lokal dan membedayakan keahlian orang desa. Bapak bilang “Desa kekurangan pemikir-pemikirnya” banyak orang desa yang sekolah di luar namun tidak kembali pulang untuk bangun desa. Pemikiran inilah yang membentuk Spedagi, di dalamnya terdapat proyek Pasar Paprigan.

Bapak Singgih S Kartono dan Radio Kayu Magno

Di sana saya membantu Pasar Papringan mengembangkan produk dan masyakat lokalnya selama tiga bulan. Pasar Papringan sendiri merupakan Pasar dibawah kebun bambu sebagai upaya cagar kebun bambu karena masyarakat disana menganggap kebun bambu itu kumuh, malah sering dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Padahal bambu sendiri lekat dengan orang-orang desa dalam menunjang aktivitas sehari-hari (vernacular activity) mereka untuk bahan bakar tungku, peralatan rumah, dsbg.

Pasar Papringan

Dengan diberikan sentuhan desain, Papringan (Kebun Bambu) diupayakan menjadi tempat yang bernilai (valueable) bagi masyarakat lokal. Itulah fungsi desain, menaikan sebuah nilai (value). Pasar Papringan terdiri dari beragam makanan tradisional, kerajinan lokal, hasil kebun dan kearifan lokal lainnya yang jarang kita temui di kota-kota besar. Intinya, kembali pada alam, mengambil material dari sumber-sumber terdekat kita sebagaimana konsep slow movement, yang lebih menyehatkan tubuh dan mengurangi carbon foot print sebagai misi baik untuk keberlanjutan hidup bumi.

Lalu, Apa yang saya dapatkan dari proses belajar selama 3 bulan tinggal di Desa?

  1. Belajar Hidup Sederhana

Selama jadi mahasiswa yang tinggal di kos-kosan, saya merasa pola hidup saya tidak teratur, termasuk pola makan yang padahal itu esensial untuk tubuh. Selain itu, secara psikologis, terkadang budaya di kota membentuk manusianya menjadi individualis

Tinggal di desa membuat saya merasakan rindunya akan kesederhanaan. Sesederhana asyiknya main di sawah atau berkumpul duduk di pawon (dapur) dekat tungku, gegenih (menghangatkan tubuh) sambil makan singkong rebus. Hal yang paling menarik, setiap pagi saling sapa “Gasik! (Pagi!)” dengan tetangga sehingga memberikan energi positif di pagi hari. Budaya menyapa, ngobrol, beramah tamah memang self-healing atas kejenuhan hidup individual.

Merasa lebih menghargai tubuh ketika makan makanan yang sehat. Buah atau sayur yang masih segar bisa langsung dipetik disana atau makan ayam kampung yang diternak sendiri tanpa suntik hormon. Makanya orang desa jarang memiliki penyakit kompleks, karena konsumsi mereka masih terselamatkan.

Jalan-jalan dan main bersama ke sawah, Izah, Rina dan Mutia, gadis Dusun Kelingan

2. Mencintai Indonesia Kaya Raya

Selama proses pengembangan Pasar Papringan, saya dan tim membuat social mapping untuk pemetaan potensi natural resource dan human resource di desa Kelingan. Ajaibnya, material apapun bisa digali disini. Sewaktu itu kami pernah mencoba eksplorasi kulit biji kopi yang dikira terbuang, ternyata bisa digali menjadi teh. Selain itu, masih banyak keajaiban-keajaiban lainnya bahwa Indonesia sangat kaya, baik alam maupun manusianya.

Beberapa eksplorasi yang pernah dicoba oleh masyarakat lokal:

Sapu dari Serabut Batang Pohon Kelapa
Eksplorasi pembuatan tempe dari Biji Benguk yang tanamannya hampir punah

2. Memahami Esensi Keilmuan Desain

Desain identik dengan sesuatu yang tampakannya indah. Terkadang desainer berpikir desain dianggap hanya menyelesaikan permasalahan visual saja. Padahal lebih jauh dari itu, desain dapat digunakan sebagai cara berpikir. Selama bekerja praktik disana, saya belajar bagaimana membuat sistem Pasar Papringan ini bisa membentuk budaya positif di masyarakat lokal, bagaimana mengintegrasikan potensi alam dan manusia, dsbg. Semua itu menggunakan cara berpikir desain.

Hal lainnya, saya memperhatikan banyak desainer Indonesia yang konsentrasi karyanya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri target market yang kebutuhan primer-sekundernya sudah terpenuhi. Misalnya desain untuk orang-orang ekonomi kelas atas.

Tentu tidak ada yang salah, tiap orang punya pandangan yang berbeda-beda, tergantung pada pilihan desainernya. Namun jika direnungkan, esensi keilmuan desain sebagai problem solver yang tugasnya memanusiakan manusia, menurut saya alangkah baiknya manfaat karya desain bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Lahan untuk desainer berkarya masih luas karena permasalahan yang bisa diselesaikan dengan desain masih banyak.

Memfasilitasi Mas Indien dan Mas Hakim, Penjahit Lokal Dusun Kelingan mengeksplorasi Karung Goni Bekas
Memfasilitasi anak-anak Kelingan belajar membuat es dawet sendiri untuk jualan mereka di Pasar Papringan

4. Menemukan Passion

Selain mendapatkan pemahaman tentang keilmuan desain, sepulang dari Temanggung saya meyakini passion saya. Saya menyadari, saya menyukai hal-hal tentang mengobservasi perilaku manusia, pola interaksi manusia dan budaya. Menyenangkan untuk menggabungkan keilmuan desain dengan psikologi, antropologi, dan budaya. Edukasi juga! karena diajar dan mengajar itu mengasyikan.

5. Menerapkan ilmu secara bijaksana

Selama disana, saya mengamati problema ‘mengapa desa sulit untuk berkembang?’ itu jawabannya sangat kompleks. Yang dikatakan Bapak, bahwa orang-orang desa kekurangan pemikir-pemikirnya memang miris. Karena orang-orang berpikir dibutuhkan pada pembangunan desa, sedangkan kenyataanya urbanisasi lebih besar dari transmigrasi.

Ini baru bagian kecil dari Indonesia. Jika dikontemplasikan lebih jauh, kenyataannya pembangunan di Indonesia memang belum merata. Bukan hanya di desa yang banyak masalah, tapi di kota pun juga. Coba kita berempati ketika melewati daerah kolong jembatan, terminal, dsbg. Pasti ada saja kejadian yang membuat kita merenungi ‘Masih banyak hal yang harus kita bantu untuk membenahi bangsa kita ini!’

Itulah kewajiban kita sebagai orang yang berilmu, Kitalah yang bertanggung jawab untuk mencetak kebaikan-kebaikan dengan ilmu yang sudah kita punya. Tidak semua orang seberuntung kita, mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tinggi, hidup berkecukupan dan bisa memilih jalur hidup.

Tidak harus di desa, berperan sebagai siapapun dan berkarya dimanapun yang penting selalu berpegang pada nasihat “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya.”

***

Banyak cerita yang mungkin tidak mampu saya tuliskan semuanya disini tentang pengalaman di tinggal di desa selama 3 bulan, namun jika ada yang ingin berdiskusi, Saya tidak akan pernah bosan menceritakan proses belajar ini kepada siapapun.

--

--