Tiga Silent Killer Dalam Flexible Working Time

Rahardian Wahyu Pradana
Badr Startup Studio
3 min readMar 31, 2019

Ketika kamu pingin kerja dengan jam yang fleksibel tapi belum bisa, kemudian baca judul di atas pasti dahimu akan mengernyit dan bilang

“Ah masa? Itu mah alasan aja biar dikesankan kerja fleksibel itu gak enak.”

Ya, mungkin juga begitu sih, tapi coba baca dulu deh tulisan ini. Itupun kalau tahan bacanya ya, hehe.

Sebelum kita bicarakan tentang tiga hal yang disebut di judul, ada baiknya saya cerita dulu tentang jam fleksibel yang kami jalani di Badr Startup Studio.

Sekitar dua tahun yang lalu, Badr Interactive (dulu belum ada Badr Startup Studio) menghadapi wacana yang lumayan seru, yaitu sebagian programmer kurang bisa perform dengan baik di pagi hari karena mereka lebih senang untuk bekerja di malam hari. Jadi, di siang hari mereka kelihatan santai dan malah mengantuk karena begadang di malam sebelumnya.

Oiya, saat itu kami masih menganut sistem jam kerja nine to five ya, alias masuk jam sembilan pagi dan pulang jam lima sore.

Demi mencapai kinerja terbaik dari programmer dan seluruh anggota tim, manajerial saat itu mencoba untuk menginisiasi jam kerja fleksibel. Beberapa bentuk jam fleksibel dicoba, hingga kami settle dengan sistem yang masih dipakai sekarang.

Sekarang kami tidak memiliki jam bekerja sama sekali, semua dibagi berdasarkan tugas dan target. Tidak ada jam minimal di kantor, tidak ada waktu khusus harus ke kantor. Semua bisa bekerja kapanpun dan dimanapun.

Anak-anak hanya diwajibkan berada di kantor saat ada meeting atau agenda wajib kantor saja.

Kayaknya enak ya kerja tanpa ada jam, semua bisa dikerjakan dimana saja, tak harus datang ke kantor.

Hmm, iya sih enak, tapi saya sedang gak mood untuk bahas enaknya, karena sepertinya semua bisa membayangkan asiknya. Yang jarang diketahui justru masalah yang muncul.

Saya masuk ke masalah PERTAMA ya. Yaitu kehilangan kontrol. Jam kerja yang super fleksibel seperti ini memberikan kita kontrol penuh terhadap waktu, tapi target yang sudah disepakati bersama ya akan tetap begitu saja.

Waktu tak akan menunggu kita yang bersantai-santai.

Pernah pada beberapa kesempatan, saya dan mungkin juga semua individu di Badr Startup Studio mengalami fase ini. Saya terlalu santai, sampai lupa kalau ada tugas yang harus selesai dalam waktu dekat.

Setiap orang dalam tim harus aware dengan tugasnya masing-masing, boleh sekali-kali menurunkan pace bekerja, tapi awas kebablasan, hehe.

Masalah KEDUA yang mungkin muncul dari sistem jam kerja yang fleksibel adalah tercampurnya waktu kerja dengan waktu untuk keluarga atau lainnya. Bahasa gaulnya, work-life balance kita bisa terganggu.

Jam kerja yang enggak ada ini bikin kita sering rancu lho dengan waktu.

Misalnya begini, katakanlah kita sendiri komitmen untuk bekerja di hari Senin hingga Jumat pada jam siang untuk menghindari bekerja di akhir pekan.

Eh tapi-tapi, ternyata rekan satu tim kita lebih senang bekerja di akhir pekan, dan mau tidak mau mengganggu waktu istirahat kita di hari yang sama. Gimana dong?

Atau atasan kita meminta kita melakukan pekerjaan di akhir pekan, karena merasa masih ada tanggungan pekerjaan kita di hari kerja. Mau nolak? Susah, hehe.

Jadi jangan heran, jika suatu hari kamu dianugerahi jam kerja yang full fleksibel, keluarga terdekatmu akan sedikit mengeluh. Alhamdulillah sih kalau cuma sedikit. 😜

Ini masalah yang KETIGA, munculnya sindrom penipu, atau imposter syndrome. Ini adalah sindrom psikologis yang membuat diri seseorang itu merasa seperti penipu.

kok bisa?

Sederhananya begini, jika kamu merasa bahwa dirimu seperti penipu, merasa bekerja kurang keras, tapi diberikan gaji dan kompensasi yang tinggi, bisa jadi kamu sedang mengalami sindrom ini.

Tidak hanya staf, beberapa orang cerita kepada saya sedang atau pernah mengalami masalah ini.

Orang-orang ini, apakah benar sedang menipu? Apakah benar kerja mereka kurang?

Tidak juga, perasaan ini muncul ketika melihat orang lain sedang bekerja keras di saat dia sedang menurunkan ritme kerjanya. “Harusnya dia digaji lebih besar daripada saya, saya santai banget nih”.

Ingat ya, jam kerjanya kan fleksibel, bisa jadi ritme dan kecepatan orang berbeda-beda karena mereka mengaturnya demikian. Tapi kita sebagai manusia kerap kali membandingkan dengan manusia lainnya kan.

Dasar manusia. Hehe

Kalau Kamu merasa ada orang seperti itu di sekelilingmu, ayo bantu dia mengenali dirinya lagi, yakinkan bahwa dia sudah bermanfaat untuk tim, dan apa yang dia peroleh adalah benar hasil kerja kerasnya.

Sepertinya dari tiga tulisan yang sudah saya publish di Medium, ini yang paling serius ya. Gapapa deh, sekali-kali. 😄

--

--