Bahasa Sebagai Alat untuk Mengucilkan

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
2 min readFeb 5, 2017
Ilustrasi — Foto: Pixabay.com

“Aku paling benci berada di tengah-tengah sekumpulan orang yang sibuk dengan gawai mereka masing-masing, meskipun itu adalah keluargaku,” demikian kata temanku.

Kawanku itu merasa terasing, meski berada di tengah kerumunan. Ia merasa terkucil. Merasa dikucilkan, terpisah dari kerumunan. Lebih menyakitkan ketimbang ditinggal sendirian secara fisik. Begitu ia selalu bilang.

Perasaan dikucilkan, atau diasingkan jika meminjam istilah kawanku, memang kadang membikin kita jengkel setengah mati. Ada banyak cara mengucilkan atau mengasingkan seseorang. Dalam pemaknaan denotasi maupun konotasi.

Ir. Sukarno, presiden pertama Indonesia pernah bilang, “Cara membunuhku mudah saja. Jauhkan aku dari rakyatku, maka aku akan mati pelan-pelan.”

Nahas, demikianlah pada akhirnya Bung Karno, Si Singa Podium, harus menghabiskan masa tuanya. Terasing. Terkucil dari rakyat yang dicintainya. Apakah dengan diasingkan ke pulau terpencil? Rupanya tidak. Beliau hanya ditempatkan di Wisma Yaso, sebuah rumah di jalan Gatot Subroto yang ramai dan dekat dengan hiruk-pikuk Jakarta. Namun ia dikucilkan dengan otoritas penguasa. Bung Karno tak diijinkan bersinggungan dengan masyarakat, konsumsi berita diatur, bahkan keluarga pun tak diijinkan menjenguk setiap saat. Keterasingan yang nyata. (Lihat Reni Nuryanti, Tragedi Sukarno: Dari Kudeta sampai Kematiannya — Penerbit Ombak 2008. Bab VI)

Bicara masalah pengucilan aku ingat salah satu, dari banyak sekali, fungsi bahasa adalah untuk mengucilkan. Dalam beberapa kondisi, bahasa bisa digunakan oleh penuturnya untuk mengucilkan orang secara konotatif. Membuat sang ‘korban’ terlempar dari lingkar komunikasi verbal dengan efektif.

Tahun 2007, aku masih baru saja merasakan asap Jakarta. Dari kampung yang sejuk nan udik, aku nekat mengadu nasib ke ibu kota.

Siang itu aku menumpang bus Transjakarta menuju suatu tempat (aku lupa tepatnya kemana tujuanku waktu itu), aku berdua dengan seorang kawan. Teman seperantauan.

Kami berdiri bergelantungan bersama penumpang-penumpang kurang beruntung yang lain. Saat asyik mengobrol, seorang bapak menerima sebuah panggilan telepon. Bapak tersebut berdiri tepat di belakangku. Yang membuat menarik perhatian kami, bapak itu berbicara dengan nada tinggi sekaligus dengan volume kencang.

“Pokoknya gua enggak mau tahu, harus beres dah!”, demikian kira-kira isi percakapan yang bisa kuingat.

Karena aku dan kawanku berbahasa jawa, maka kami merasa aman dan santai saja ngedumel dan menggunjingkan bapak di belakangku ini.

Jangkrik, ngomong buanter koyo ndek kebon, Rek!” kataku dengan volume biasa tanpa berusaha memelankannya, tertuju pada kawanku.

Iyoi, petung utang tah?” kawanku tak kalah sengit.

Kami memang sedang menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengeksklusifkan diri, mengucilkan diri kami sendiri dari khalayak. Supaya kami menjadi terasing dan tak seorang pun memasuki lingkar komunikasi kami.

Kami santai saja sembari sesekali melontarkan candaan, dalam bahasa jawa, selama masa pembicaraan si bapak. Hingga tiba saat bapak tersebut hendak mengakhiri percakapannya.

Wes sik yo, Cuk, mengko tak telepon maneh!” pungkasnya.

Disusul dengan bunyi ‘glek!’, rupanya aku menelan ludahku sendiri dengan terlalu keras.

Diamput!” Umpatku tertahan, masih tertuju ke temanku.

--

--