Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
4 min readMay 1, 2016

--

Balada Tenaga Kerja dan Ijazahnya

Ilustrasi — ruang kerja

“Aku sudah malas rekrut programmer dari universitas, kepingin ambil dari STM saja,”

“Lho, kenapa, Mas?” Tanyaku.

“Sudah coba rekrut beberapa sarjana, mereka suka semaunya sendiri dan sulit dikasih tahu. Merasa lebih jago, nggak mau dengerin pendapat orang lain terutama yang ada di bawahnya.”

“Oh iya ya, anak STM biasanya nurut, suruh belajar apa saja mau. Dan nggak terlalu ngotot masalah gaji.” Kelakarku.

“Iya! Aku mau-mau saja keluarin duit buat ngajarin mereka sampai jadi jago, asal dari mereka sendiri mau belajar dan nggak belagu.” Tutupnya.

***

Nah, di atas itu kutipan percakapan saya dengan seorang teman yang merupakan kepala bagian software development di sebuah perusahaan “berdarah campuran” antara BUMN dan swasta. Beberapa tahun yang lalu.

Tak lama setelah obrolan itu, beliau (dan timnya) pergi ke Malang dan mengadakan rekrutmen di sebuah STM (atau SMK) di kota itu.

Perdebatan panjang mengenai perlu atau tidaknya seorang karyawan untuk menyelesaikan pendidikan S1-nya memang sudah ada sejak dahulu kala. Dan hingga kini rasanya belum juga terlihat ujungnya.

Saya sendiri memulai karir dengan berbekal ijazah Sekolah Menengah Kejuruan, dan bahkan belum mendaftar ke perguruan tinggi. Untungnya saat itu ada perusahaan yang mau mempekerjakan saya.

Dan setelah itu saya harus menempuh kuliah malam selama hampir 7 tahun, hanya untuk menyelesaikan S1. Benar-benar ‘harga’ yang mahal. Jelas 13 semester kuliah bukan hal yang akan saya banggakan kelak di depan anak-cucu saya.

Sekarang ini, ketika gema start-up company makin nyaring terdengar. Kisah tentang perusahaan-perusahaan yang bergerak cepat dan dinamis, lean, agile, goal-oriented, rasanya jargon ijazah dan ‘lulusan mana lu?’ semakin tidak relevan.

Tapi apakah benar begitu?

Seorang kawan mengatakan, itu semua kembali ke kultur perusahaan. Kultur.

Ya, memang (sepemahaman saya) tidak ada perusahaan yang mencantumkan “kami semua adalah lulusan perguruan tinggi” sebagai salah satu poin kultur perusahan mereka. Namun, beberapa elit perusahaan tetap saja harus membuka kembali curriculum vitae ketika menghadapi kemungkinan promosi seorang karyawan ke jenjang manajerial.

Apa iya akan mengangkat anak lulusan STM untuk jadi manajer, general manajer, dan/atau jenjang yang lebih tinggi? Kegelisahan ini pun sebagian besar hanya berputar dalam benak, di alam bawah sadar. Perkara etika dan kepantasan praktis.

Jika bicara perusahaan dan kulturnya, saya jadi teringat tentang Google yang mulai mengubah paradigma mereka tentang bagaimana merekrut calon karyawan, setidaknya terhitung sejak 2014.

Mereka belajar bahwa sudah selayaknya penentuan standar tenaga kerja yang hanya mengandalkan ijazah perguruan tinggi mentereng dunia dan hasil ujian teknis tak bisa lagi digunakan.

Laszlo Bock, bos besar People Operations (istilah Google untuk departemen HR mereka) mengatakan kepada wartawan The New York Times, bahwa orang-orang jenius dari universitas mentereng itu hebat dalam menyelesaikan permasalah pekerjaan yang rumit. Namun rata-rata mereka sangat miskin dalam hal ‘Intellectual Humility’.

Mereka, karena nyaris tidak pernah menemui kegagalan selama hidupnya, akan kebingungan ketika suatu saat harus menerima kenyataan bahwa mereka salah. Bahwa mereka telah gagal melakukan sesuatu.

Saat mencapai keberhasilan, mereka akan menepuk dada dan berkata, “ini hasil kerja saya!”. Namun ketika menemui kegagalan, mereka kemudian berdalih, dan mengatakan bahwa ini salah orang lain, bahwa kami kekurangan sumber daya, atau tentang kebutuhan pasar yang bergeser.

Saat ini Google lebih menyukai tenaga kerja yang memiliki ‘intellectual humility’, yang mau mendengarkan masukan dari orang lain, siapapun dia.

Sebab, masih menurut Laszlo, Google ingin semua karyawannya adalah orang-orang yang memiliki ability to learn.

Bagaimana seseorang mampu belajar jika tak mau mendengarkan pendapat orang lain?

Kita tinggalkan Google.

Belum lama ini saya ngobrol dengan seorang teman, yang kebetulan mengepalai departemen HR di sebuah perusahaan berskala nasional.

Dia memisahkan tenaga kerja spesialis dengan tidak spesialis. Untuknya, tenaga kerja spesialis, dengan skill set yang sangat spesifik, tidak ada keharusan untuk menyelesaikan S1.

Sebagian besar pemangku kepentingan hanya akan melihat portfolio dan kemauan belajarnya.

Saya kenal banyak orang yang hebat sebagai engineer, tapi tak lulus S1.

Dan uniknya, saya juga punya seorang kawan yang memiliki dendam yang janggal. Dia memiliki misi, salah satunya, untuk menjadi sangat hebat di bidang per-coding-an, kemudian secara implisit mengatakan, kalau bisa berteriak, kepada para lulusan S1: “On your face!”. Ha ha ha.

Di lain sisi, jika bicara masalah apakah jurusan atau program studi kuliah harus sejalan dengan profesi? Saya rasa akan banyak orang yang menyangkalnya.

Engineer-engineer hebat yang saya kenal banyak yang berasal dari jurusan yang sangat nggak nyambung.

Mas Tjatur misalnya, salah satu (eks) petinggi Engineering Team di detikcom yang saya hormati sampai sekarang, pernah bercerita kepada saya bahwa beliau kuliah di jurusan yang justru berhubungan dengan pertanian. Dan pernah membuka jasa desain taman sesaat setelah lulus kuliah.

Jadi pesan saya sih, jika kalian memang belum menyelesaikan (minimal) S1, berusahalah untuk menempuhnya. Jika masalahnya adalah biaya, dan kebetulan kalian sekarang sudah berpenghasilan sendiri, jangan ditunda-tunda.

Walaupun dari sisi teknikal (menurut kalian) sama sekali tidak ada menfaatnya, percayalah ada banyak aspek lain yang tidak bisa kalian dapatkan jika tidak pernah merasakan bangku kuliah sama sekali.

Jauh berpaling, menurut saya perusahaan-perusahaan yang mengharuskan calon karyawan baru, atau calon karyawan yang hendak dipromosikan, mengantongi ijazah itu juga besar pengaruhnya terhadap kulitas perguruan tinggi di negara kita.

Ini berimplikasi pada tren kejar setoran, kuliah asal lulus hanya untuk bisa masuk ke perusahaan XYZ, agar bisa dipromosikan untuk posisi ABC. Dan, ada juga lho, calon mertua yang mengharuskan menantunya minimal berpendidikan S1!

Akibatnya, menjamurlah perguruan tinggi yang menjawab kebutuhan orang-orang tersebut. Kalian pastinya mengerti apa yang saya maksud.

Sebagai penutup, beberapa kali saya jadi pembicara di hadapan teman-teman dari beberapa universitas jurusan IT di Jakarta. Saya pun sering iseng bertanya pada mereka secara acak, “mengapa ambil jurusan IT”?

Secara mengejutkan, sebagian kecil dari mereka mengatakan alasan-alasan lucu seperti; yang penting kuliah, disuruh orang tua, dan tentu saja, ikut-ikutan teman. Duh…

Catatan: Tulisan “Balada Tenaga Kerja dan Ijazahnya” pertama kali saya publikasikan di LinkedIn Pulse dengan tautan berikut: https://goo.gl/DlOhWo

--

--