Jadi Tenaga Sukarela di Kantor? OCB Kuncinya

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
5 min readSep 29, 2017
Ilustrasi (Foto: Pixabay.com)

Apakah Anda senang mengerjakan hal-hal di luar pekerjaan formal di kantor? Bisa apa saja, syaratnya: membantu tim untuk bekerja dengan lebih efisien, dan yang paling penting harus sejalan dengan visi-misi perusahaan secara umum.

Menawarkan bantuan cuma-cuma kepada kolega yang sedang dikejar deadline, menjadi mentor sukarela bagi karyawan-karyawan baru, menjadi representasi perusahaan di event-event di akhir pekan, dan banyak lagi. Jika banyak anggota tim yang mengambil pekerjaan-pekerjaan ekstra semacam ini, secara sukarela ataupun sedikit terpaksa, tentu bisa membuat perusahaan bergerak lebih cepat. Tapi apakah selalu berdampak positif bagi karyawan yang melakukannya?

OCB, Organisational Citizenship Behaviour

Dalam studi Industrial and Organizational Psychology, perilaku di atas dinamakan organisational citizenship behaviour (selanjutnya kita sebut OCB).

Fenomena OCB sudah mulai dipetakan di perusahaan dan dipelajari sejak 1960-an. Master OCB yang teorinya banyak dijadikan rujukan sampai sekarang adalah Dennis Organ. Dan Organ sebetulnya menyempurnakan penelitian yang dimulai oleh Daniel Katz (The motivational basis of organizational behavior — 1964).

Dennis Organ pertama kali menggunakan istilah organisational citizenship behaviour (OCB) di bukunya yang terkenal berjudul Organizational Citizenship behavior: The good soldier syndrome (1988).

Teori OCB belakangan kembali populer seiring menjamurnya perusahaan startup yang punya karakteristik “ramping”. Kerampingan ini pada umumnya mengharuskan setiap anggota tim untuk berpikir dan bekerja melampaui hal-hal yang tertuang di kontrak kerja.

Kembali ke pertanyaan di atas, apakah OCB selalu berdampak positif bagi karyawan yang melakukannya? Baru-baru ini Anthony Klotz dan Mark Bolino menerbitkan publikasi di Harvard Business Review dan memberikan porsi yang besar untuk membahas fenomena ini. Jadi singkatnya, meski OCB besar sekali manfaatnya bagi perusahaan, bagi karyawan yang terlibat, efeknya bisa bercabang dua.

Untuk orang-orang yang melakukan OCB karena sesuai dengan passion dan bakatnya, kegiatan-kegiatan tambahan tersebut akan menjadi sangat menyenangkan. Hasilnya, orang tersebut akan sangat berkomitmen, bertanggung jawab atas proses dan hasil pekerjaannya, dan meningkatkan produktifitas secara umum. Hal ini pada akhirnya akan menguntungkan semua pihak, sebab karyawan yang bahagia dan berkomitmen akan membuat turnover-rate rendah, ujung-ujungnya pasti cost eficient bagi perusahaan. Tipikal karyawan ini adalah dambaan semua perusahaan.

Baik dan Buruk

Namun meskipun karyawan melakukan OCB dengan sukarela dan membuatnya semakin bersemangat, OCB bisa membuat karyawan tersebut menjadi sangat kelelahan, terutama dalam hal emosional. Bisa juga mereka mengalami konflik antara kehidupan profesional di kantor dengan kehidupan sosial mereka di rumah.

Efek buruk ini pada umumnya sulit diidentifikasi dan seringkali diabaikan. Celakanya hal ini lebih banyak menimpa karyawan yang punya performa dan komitmen yang tinggi, seperti yang diwanti-wanti oleh Stephen James Deery dalam jurnalnya: The Costs of Exhibiting Organizational Citizenship Behavior (disusun bersama Bruce Rayton, Janet Teresa Walsh, Nicholas Kinnie — 2016)

Sekarang mari bicara masalah yang lebih mendasar, tentang kondisi-kondisi yang membuat karyawan lebih mudah menerapkan OCB.

Dalam hal ini, leader (mulai dari direct leader hingga CEO) memiliki peran penting. Pertama, leader harus mampu menciptakan ruang dan kesempatan bagi timnya untuk mengerjakan hal-hal di luar tugas utama dan, tentu saja, yang berkaitan dengan passion masing-masing orang. Lebih penting, leader harus bisa mengomunikasikan kepada timnya bahwa ruang dan kesempatan itu ada.

Kedua, leader harus siap menjadi konsultan, mentor, dan “wasit” yang baik dan tegas. Ajak anggota tim yang berminat dan terbiasa melakukan OCB untuk menyusun prioritas di kantor. Perlu juga diingat, bahwa sejatinya OCB tersebut tidak (atau sedikit sekali) berpengaruh terhadap performance appraisal. Yah, meskipun pada prakteknya bisa berbeda. Dan karena OCB bersifat sangat personal, komunikasi yang baik untuk hal ini pastinya one-on-one consultation, bukannya one-to-many.

Yang saya temui dari praktik di beberapa perusahaan, OCB hampir mustahil terjadi jika direct leader-nya tidak kooperatif. Maksud saya, leader yang selalu mementingkan credit untuk dirinya sendiri, tidak terbiasa menerima feedback, punya attitude “aku suci kalian penuh noda”, dan tak pernah punya waktu untuk consultation sesion, timnya pun akan malas untuk mau mengambil pekerjaan dengan porsi lebih. Tak percaya? Buktikan saja.

Citizenship Crafting & Job Crafting

Untungnya, ada konsep yang bisa dijadikan acuan untuk berlatih mengadopsi konsep OCB dan mengatur prioritas, juga memudahkan leader untuk mendampingi timnya melakukan hal tersebut. Konsep ini bernama citizenship crafting.

Ide citizen crafting berakar pada teori job crafting, yaitu teori tentang bagaimana karyawan berlatih untuk mengelola pekerjaannya dengan lebih baik. Job crafting dilakukan dengan melibatkan semua komponen yang terlibat, oleh karena itu konsep ini sangat populer dan banyak diadopsi.

Job crafting terdiri atas tiga komponen:

Pertama, pekerjaan itu sendiri (task crafting). Anda bisa mulai mengidentifikasi seberapa besar cakupan pekerjaan formal yang dibebankan kepada Anda, kemudian mencari komponen-komponen kecil yang sejalan dengan minat pribadi. Misal jika Anda adalah seorang programmer komputer yang kebetulan senang bersosialisasi dan suka tampil, mulailah mencoba menawarkan diri untuk mengisi sharing session di tim. Atau lebih luas menawarkan diri menjadi perwakilan tim untuk presentasi saat town-hall meeting, dan seterusnya.

Kedua, kolega atau tim dalam menyelesaikan pekerjaan (relationship crafting). Mulailah melihat ke sekeliling, ke kolega dan rekan kerja Anda. Apakah ada di antara mereka yang bisa “membantu Anda” menjalankan OCB? Jika ada karyawan baru yang butuh informasi tentang seluk beluk administrasi di kantor, Anda bisa menawarkan diri untuk membantunya.

Ketiga, mindset dalam menghadapi pekerjaan (cognitive crafting). Ini berhubungan dengan bagaimana Anda memandang pekerjaan atau bidang yang sedang Anda geluti saat ini. Ini penting untuk mulai meyakinkan diri Anda sendiri akan pentingnya membantu sesama dalam proses OCB. Cobalah mulai mencari minimal dua nilai yang ada di balik pekerjaan Anda selama ini. Misalnya, jika Anda adalah seorang recruitment manager, Anda bisa mulai memetakan tujuan bidang pekerjaan tersebut, selain untuk membantu perusahaan mendapatkan karyawan terbaik, Anda juga punya peran untuk membantu banyak perguruan tinggi mempersiapkan mahasiswa dengan lebih baik untuk mencari pekerjaan.

Jika penjelasan seputar job crafting di atas kurang memuaskan, Anda bisa mendalaminya sendiri di publikasi Harvard Business Review di tautan ini.

Kesimpulannya…

Output dari OCB selayaknya menguntungkan kedua pihak: perusahaan dan karyawan yang menjalankannya.

Karyawan yang mengambil tugas tambahan yang sesuai dengan passion mereka akan bisa menerima feedback, saran, dan kritik dengan baik. Mereka juga akan mampu mengelola stress dengan lebih baik, dan selalu memberikan tenaga tambahan untuk mengerjakan tugas-tugas baru, mencari masalah dan memecahkannya.

Di sisi lain, dengan memberi kebebasan tim mengambil kegiatan-kegiatan yang menjadi passion-nya, leader bisa membuat timnya lebih efektif. Anggota tim menjadi tangguh, tahan stress, dan menghasilkan impact yang lebih besar. Pada akhirnya, leader tidak perlu menggunakan pendekatan-pendekatan berbasis otoritas untuk membuat timnya menyelesaikan tugas.

Sebab, kita semua tahu, pendekatan otoritatif dan penggunaan faktor-faktor eksternal seperti reward and punishment terbukti mengaburkan semangat dari dalam diri (intrinsik) karyawan itu sendiri.

--

--