Menjadi PNS, Versi Mas-Mas Ojek

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
3 min readJan 10, 2017
Ilustrasi — Sumber foto: Pixabay.com

“Sebentar ya, Mas, saya beli tahu bulat dulu.” Kataku, seraya mengeluarkan uang lima ribuan dari kantong celana. Mas tukang ojek yang baru saja kupesan melalui aplikasi itu mengangguk sembari menyiapkan helm untukku.

“Yuk, Mas. Ke arah Gajah Mada yo!” Ujarku seraya setengah melompat ke jok belakang.

Motor bertransmisi otomatis itu melaju dengan santai. Tak perlu mengebut, santai saja, toh aku juga tidak sedang terburu-buru.

“Enak jalan jam segini kalau ke arah tengah kota, Pak, enggak macet.” Kata Mas tukang ojek mencoba membuka obrolan. Angin yang berhembus akibat laju motor membuat suaranya hanya tinggal lirih saja sampai ke telingaku.

“Iya, enak, Mas. Bisa santai”

“Kerja di Wisma 77, Pak?”

“Iya.”

“Di perusahaan apa, Pak?” Belakangan sering aku mendapat pertanyaan serupa dari mas ojek yang mengantarku.

Kurio, aplikasi untuk baca berita gitu, Mas.”

“Oh, ya, tahu saya.”

Apa? Serius, Mas!?, batinku, bungah.

“Kerjaan saya banyak berurusan sama media, Pak, jadi tahu media-media online

“Lho, memangnya kerja di mana?”

“Saya kerja di Kantor Kementerian X, Pak.” katanya sembari menyebutkan nama sebuah kantor kementerian di Jakarta Selatan. Wah! PNS! “Tapi saya bukan PNS, cuma pegawai honorer” Ia buru-buru meluruskan.

“Oh, ya enggak apa-apa dong, tetep keren. Bisa belajar sama orang-orang hebat,” kelakarku. “Ngerjain apa di kantor?”

“Saya di bagian publikasi, Pak. Ngumpulin berita-berita terkait kementerian di media-media terus dibuat kliping. Kadang bantuin buat konten untuk media sosial.”

“Keren dong!”

“Ya, tapi bayarannya pas-pasan, Pak, cuma cukup buat bayar cicilan, nih buktinya saya tetep ngojek. Lumayan, buat duit bensin dan jajan sehari-hari.”

“Hoo…, terus yang statusnya PNS ngerjain apa, dong?”

“Yang dikerjain sih sama saja, Pak. Beda di status doang, dan gajinya. He he he.” Ujarnya terkekeh. “Di kantor biasanya baru dapet tambahan pas ada tugas dinas keluar, bisa dapet ‘duit jalan’. Nolong banget itu kalau buat pegawai honorer kaya saya, Pak. Misal ada konferensi pers di mana gitu, kita disuruh berangkat. Nah, dapet uang bensin dan ‘uang jalan’. Kalau pas enggak ada kerjaan keluar ya biasa aja, enggak dapet tambahan.”

“Kalau gitu enak dong pas ada acara di luar kota, pasti gede ya uang jalannya,” Tanyaku.

“Iya, Pak, bisa gede. Tapi sejak ganti presiden, perjalanan dinas banyak dikurangin. Pengeluaran juga banyak yang dipangkas anggarannya. Agak kering juga, Pak”

“Waduh, terus gimana tuh, Mas?”

“Ya enggak apa-apa, Pak, kan bisa cari tambahan lain. Yang penting kita tahu duitnya diarahkan buat pembangunan.” Nah, ini yang kusukai dari PNS. Walaupun honorer, ngomongnya tentang pembangunan, Jek!

“Tahu dari mana, Mas, duitnya dipakai buat pembangunan?” candaku menyelidik.

“Ya, kan setiap hari saya monitoring media, Pak. Kadang juga ikut liputan ke daerah-daerah. Jadi saya ngerti.”

“Hoo..” aku bingung bagaimana menanggapinya. “Eh, saya turun di bawah pohon sehabis plang ATM warna kuning itu ya, Mas.” Tak terasa kami hampir sampai tujuan.

“Oh yang itu, oke, Pak.”

“Ya ambil pejalaran aja, Mas, banyak-banyak. Pasti kan kelak banyak manfaatnya. Mas jadi tahu banyak hal.”

“Oh, masalah itu jelas, Pak. Saya banyak ngobrol sama PNS-PNS sana. Ngopi dan ngerokok bareng. Untungnya saya bukan di Pemprov (DKI), Pak. Denger-denger sering ada evaluasi. PNS yang kerjanya enggak bener langsung dipecat-pecatin”

“Loh, kan memang harusnya begitu. Udah dibayar mahal pakai uang pajak, masak kerjanya enggak bener,” timpalku.

“Kalau di tempat saya, mana ada PNS yang diusik gara-gara kerja enggak bener, Pak. Aman hidupnya”

“Kok gitu, kasihan dong, PNS yang kerjanya bener”

“Biasa saja lah, Pak. Enggak ada yang protes”

“Kok gitu?”

“Ya kan memang (di tempat saya) enggak ada PNS yang kerjanya bener…!”

“Ha ha ha!” kami tertawa bersama. Entah apa sebabnya, dan entah apa yang sebetulnya kami tertawakan.

Tawa kami masih tersisa ketika aku beringsut turun dari jok belakang motornya. Kami berpisah, setelah menepuk pundaknya dan kulempari kata-kata “sukses ya, Mas!”.

Hari beringsut ke pertengahan malam. Aku dapat kisah baru, selalu unik seperti biasa. Tapi memang selalu ada yang bisa ditertawakan bersama.

Hidup boleh berat, bisa saja pasang dan surut. Kalau tak pintar-pintar tertawa, lantas mau jadi apa?

--

--