Mewaspadai Bahaya Laten ‘Expert Syndrome’

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
4 min readOct 13, 2017
Ilustrasi — Foto: Pixabay.com

Barangkali tak banyak yang pernah mendengar istilah expert syndrome. Padahal belakangan — terutama sejak media sosial menjadi salah satu rujukan para hiring manager untuk menilik sisi lain seorang pelamar pekerjaan — expert syndrome mulai diangkat kembali. Namun tetap saja, Anda bahkan tidak akan menemukan penjelasannya di Wikipedia, setidaknya hingga artikel ini dibuat. Sebab nampaknya expert syndrome kalah pamor dengan lawannya: impostor syndrome.

Sekilas, impostor syndrome adalah kondisi di mana seseorang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas di suatu bidang, namun selalu merasa tak mampu.

Seseorang dengan impostor syndrome selalu mengatakan bahwa orang-orang lain lebih hebat dan lebih jago dibanding dirinya. Mereka pada umumnya kurang percaya diri, selalu menganggap pekerjaannya kurang sempurna, dan memilih tak banyak bicara. Sebab mereka takut bahwa apapun yang mereka bicarakan akan terdengar seperti bualan. Namun faktanya mereka ini orang-orang hebat dengan skill yang teruji.

Kembali ke expert syndrome. Seperti yang sudah bisa diduga, orang-orang dengan expert syndrome merasa diri mereka hebat dan menguasai suatu topik, padahal hanya berbekal membaca sebuah artikel di internet. Ketika menyelesaikan sebuah proyek biasa dengan tanggung jawab terbatas, ia segera menambahkannya di CV dengan bahasa yang luar biasa seakan-akan proyek tersebut tidak akan terwujud tanpa kehadirannya. (Baca: Impostor Syndrome is not the problem. Expert Syndrome is. — Laura Bergells)

Orang-orang dengan expert syndrome terus bermunculan di mana-mana. Bisa saja ada di kantor tempat Anda bekerja saat ini, atau mungkin partner dekat Anda. Atau mungkin Anda sendiri? Wah!

An expert, more generally, is a person with extensive knowledge or ability based on research, experience, or occupation and in a particular area of study. Experts are called in for advice on their respective subject, but they do not always agree on the particulars of a field of study.
~Wikipedia

Rupanya mendeteksi orang-orang dengan expert syndrome ini begitu sulit, mereka sangat lihai bermain kata dan meyakinkan orang-orang di sekitarnya.

Bila di awal tulisan ini dikatakan bahwa tidak banyak tulisan dan penelitian tentang expert syndrome, hal tersebut, menurut Laura Bergells, disebabkan orang dengan expert syndrome ini tak pernah menyadari bahwa mereka memilikinya. Bagi mereka, semua sepertinya baik-baik saja. Hal ini mengakibatkan penelitian tentang expert syndrome sulit sekali mencapai sasarannya.

Orang dengan expert syndrome juga pada umumnya jago menulis dan menghias CV, portfolio, bahkan tampil memesona saat sesi interview. Nah, hiring manager yang kurang pengalaman biasanya terkecoh. Lagipula, masih menurut Laura, banyak organisasi yang ketika melihat kepercayaan diri dan presentasi hebat, mereka menjadi terlampau permisif terhadap hasil akhir dan performa.

Apakah Anda punya expert syndrome? Bagaimana mendeteksinya?

Suzanne Lucas, praktisi HR favorit saya, punya tips untuk kita.

Pada umumnya, orang-orang dengan expert syndrome punya empat ciri berikut ini:

1. Mereka punya jawaban atas segala pertanyaan

Seorang expert betulan tahu betul batasan dirinya, dan tak pernah malu mengatakannya. Ia memahami bahwa tak ada satu orang pun mampu menguasai segala hal.

Namun tidak demikian dengan expert syndrome. Anda akan menemukan mereka memiliki jawaban atas segala pertanyaan yang Anda ajukan. Apapun, mulai dari pemrograman komputer hingga proses sekresi insulin. Intinya, mereka sulit sekali untuk mengatakan, “Saya tidak menguasai topik ini.”

2. Percaya bahwa kata lain dari ‘research’ adalah ‘Googling’.

Seseorang yang mengaku menguasai suatu hal dengan mendalam dan mendapatkannya dari hasil Googling semalaman, hampir bisa dipastikan hanya membual.

Faktanya, tidak pernah ada seorang yang expert pada sebuah topik hanya berbekal artikel di internet. Banyak di antara mereka harus menempuh pendidika bertahun-tahun, membaca banyak buku, mencoba berbagai metoda di lapangan, hingga mengalami banyak kegagalan untuk memahami sebuah subyek.

3. Tidak tertarik malakukan klarifikasi

Jika Anda bertanya mengenai sebuah hal yang pelik pada seorang expert betulan, mereka akan bilang, “Menurut saya adalah seperti ini. Tapi beri saya sedikit waktu untuk mencari sumber yang relevan dan lebih baru”. Dan lagi, mereka sangat terbuka dengan diskusi dan gagasan-gagasan baru.

Namun seorang dengan expert syndrome akan bilang, “Jawabannya adalah ini”. jika Anda mengajukan ide atau gagasan alternatif, mereka akan menolaknya begitu saja.

4. Mereka punya kebenaran mutlak

Di banyak kasus, ada lebih dari satu kebenaran. Bahasa gaulnya, “Banyak jalan menuju Roma”. Sebab memang demikianlah adanya.

Expert sejati selalu terbuka dengan metoda penyelesaian alternatif, dan dengan senang hati melakukan pengujian atau benchmarking. Jika Anda menemui seseorang yang ngotot bahwa metoda mereka adalah satu-satunya cara, maka patut Anda curiga mereka punya expert syndrome.

Setelah mangaduk-aduk expert syndrome, saya ingin menutup tulisan ini dengan pertanyaan, bagaimana cara menyaring orang-orang dengan expert syndrome ini agar tak menyusup ke organisasi kita?

Susah-susah gampang memang. David, CEO saya di Kurio selalu menekankan ke komite rekrutmen untuk memberikan tes teknikal untuk seleksi karyawan baru, di segala level.

Jangan pernah menerima seseorang dengan sekadar pemaparan semata. Semua orang bisa melakukannya dengan bekal google dan membaca beberapa tutorial sederhana. Beri mereka kasus betulan.

Saat menyeleksi software developer, misalnya, beri si kandidat soal untuk diselesaikan dengan logika pemrograman dan tulis langsung di whiteboard. Penting untuk tidak sekadar melihat hasil akhir. Amati juga pola dan langkah demi langkah ia menyelesaikan tantangan yang Anda berikan. Sering terjadi orang dengan expert syndrome gelagapan pada proses ini.

Yah... Ketauan deh!

--

--