Momoye: Mereka Memanggilku

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
2 min readSep 29, 2014
Momoye: Mereka Memanggilku

Judul buku: Momoye: Mereka Memanggilku
Penulis: Eka Hindra, Koichi Kimura
Penerbit: Esensi Erlangga Grup
Tebal buku: 314 Halaman
Tahun terbit: 2007 (Cetakan I)

Buku ini bukan novel. Ya, memang terlihat seperti novel dan barangkali bertutur layaknya novel, namun bisa dipastikan isinya adalah kisah nyata.

Kisah bermula dari kehidupan sederhana di Yogyakarta pada masa awal penjajahan Jepang, sekitar tahun 1942.

Bu Mardiyem mengisahkan seluruh isi buku ini dengan lugas dan lantang, dengan ingatan yang mengakar kuat di kepalanya, seolah baru terjadi kemarin sore.

Pada usia 10 tahun Mardiyem harus kehilangan kedua orang tuanya. Sehingga ia harus bekerja keras untuk menyambung hidup. Garis takdir menuntun Mardiyem untuk menerima tawaran dari seorang kawan untuk bekerja sebagai anggota kelompok sandiwara di Borneo (Kalimantan).

Namun apa lacur, bukannya bermain sandiwara, Mardiyem justru terseret ke lingkungan prostitusi bentukan Jepang.

Pemerintah Jepang dengan sengaja membentuk kamp-kamp yang dihuni oleh wanita-wanita pribumi. Apa fungsinya?

Wanita-wanita yang dijuluki “Jugun Ianfu” ini berperan sebagai sarana pelampiasan kebutuhan seks para tentara dan pegawai Jepang yang ada di negara yang menjadi jajahannya. Termasuk Indonesia.

Mardiyem yang pada saat itu masih berusia 13 tahun harus menjalani hari-hari kelam di sebuah kamp bekas asrama tentara Jepang yang terletak di Telawang, Kalimantan Selatan. Ia mendapat julukan Momoye, yang konon adalah nama seorang artis Jepang yang sedang naik daun pada masa itu.

Untung saja Mardiyem alias Momoye adalah sosok wanita yang kuat dan tegar. Ia menerima segala siksaan lahir dan batin sebagai “ransum” Jepang dengan tabah.

Penderitaan Mardiyem tidak berakhir seiring dengan mundurnya serdadu Jepang dari tanah air pada 1945.

Kenyataan bahwa dirinya adalah mantan wanita penghuni “kamp Telawang” senantiasa membekas dan menghantui di sepanjang sisa hidupnya. Belum lagi tatapan sinis dan cibiran orang-orang yang tahu mengenai masa lalunya.

Mardiyem kemudian menikah dengan seorang tentara dan pulang ke Yogyakarta, hidup sederhana hingga meninggal dunia.

Buku ini menggelitik sisi kemanusiaan kita. Bahasa lugas dan lugu ala Mardiyem sengaja diloloskan utuh oleh penulis.

Episode demi episode kehidupan Mardiyem seakan menjadi lini masa perjuangan bangsa Indonesia di sisi lain. Sisi yang lebih kelam dan cenderung luput dari perhatian.

Kisah perjuangan para Jugun Ianfu barangkali memang tidak akan kita jumpai di buku sejarah kurikulum manapun, namun tentu saja kita tidak bisa menutup mata akan sosok-sosok teraniaya seperti mereka.

--

--