Orang atau Produk Duluan?

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
4 min readApr 15, 2017
Ilustrasi — Foto: Pixabay.com/Marco Lovric

“Bagaimana, ada yang ingin kamu tanyakan ke kami?”, begitu pertanyaan wajib saya di setiap sesi interview. Textbook sekali, ya? “Boleh apa saja,” sambung saya, “Tim, produk, perusahaan. Apa saja yang bikin kamu penasaran.”

“Dalam waktu dan budget yang terbatas, dan harus memilih, perusahaan memilih develop people atau product duluan?” interviewee saya bertanyan kalem.

Terus terang saya kaget juga, sudah agak lama saya tidak bertemu interviewee, terkhusus fresh graduate, yang mengajukan pertanyaan semacam ini. Pertanyaan yang bikin agak mikir. Biasanya sih, paling banter, “Di sini bisa klaim uang kaca mata enggak?” atau “Masuk dan pulang kerja di sini jam berapa, Mas?”

Logika dari pertanyaan interviewee saya ini kira-kira seperti ini; dengan anggaran terbatas, khas perusahan startup, biasanya perusahaan harus memilih untuk mendahulukan satu dari dua opsi ini:

Opsi pertama, nguber rilis fitur-fitur baru, bug fixing, genjot growth, dan bikin investor seneng.

Atau opsi kedua, adalah fokus membangun people di perusahaan tersebut: bikin semua karyawan dan stakeholders nyaman dan bahagia, yang dengan begitu diharapkan bisa bekerja dengan optimal, sepenuh hati, dan ujung-ujungnya sama juga; bikin produk bagus. Cuma pada umumnya yang kedua ini growth mereka secara business-related metrics agak slow.

Akan jadi masalah serius jika kebetulan bidang usahanya sedang di tengah kompetisi yang keras. Kalau terlalu fokus bangun people, kirim training, ESQ, team building, dan lain-lain, bisa-bisa kompetitornya udah jauh di depan.

Malah saya kenal beberapa CEO startup baru yang, demi kejar target tahun pertamanya, punya strategi yang ekstrem: apapun caranya asal deliver. Ujung-ujungnya dia lari ke vendor, freelance, manage service, dan semacamnya. Salah? Menurut saya sih, tidak. Sebab, produknya jadi deliver cepat, unggul, user yang pakai happy, akhirnya, investor juga happy.

Mana yang lebih baik? Tentu tak bisa buru-buru dicap mana lebih baik. Sebab masing-masing punya kelebihan. Namun secara logika bisnis, disengaja atau tidak, banyak eksekutif akan milih produk dulu.

All the advertising dollars in the world won’t help a bad product, and you need to be confident that your product delivers on its brand promise.

Sama sekali tidak salah. Pernah dengar ungkapan “All the advertising dollars in the world won’t help a bad product, and you need to be confident that your product delivers on its brand promise.”?

Banyak sekali perusahaan baru kepingin grow cepet dan ngebut, sehingga bisa bikin investor makin ‘sayang’.

Mereka akan pasang target agresif nan ambisius. Misal, jika produknya website, dalam dua tahun bisa ada di peringkat ke-5 Alexa. Nah, target seperti itu sulit sekali dicapai jika pada saat budget (dan terutama waktu) sangat terbatas harus bekerja dengan dua fokus. Dalam kondisi ini, CEO akan cenderung pilih kejar produk dulu. Ya memang tidak semua, strategi orang bisa beda-beda.

Kelemahannya apa kalau selalu ‘kejar setoran’ beresin produk dan genjot business growth? Ya seperti yang saya bilang tadi, kompetisi itu candu. Sekali perusahaan berada di puncak kompetisi, mereka akan terpicu untuk terus rilis fitur-fitur baru, benerin user interface, mulai mikir untuk benahin technical debt, apapun caranya biar tetap ada di puncak.

Dan di saat bersamaan selusin kompetitor siap menyodok dari belakang, kapan saja. Semakin parno CEO-nya, semakin sulit deh timnya tidur tenang.

Sudah baca ‘Zero to One’-nya Peter Thiel? Di buku itu Pak Thiel singgung sedikit terkait kompetisi dan monopoli. Dia bilang, sebetulnya perusahaan-perusahaan dengan produk yang fungsi (dan kualitasnya) mirip itu sedang ada dalam kompetisi yang ketat. Dan dalam keadaan seperti itu, sulit sekali untuk membagi fokus untuk hal-hal selain produk. Sebab mereka tahu pasti; lengah sedikit saja, kompetitor bisa memporakporandakan bisnisnya dalam semalam.

Untuk keluar dari kompetisi, perusahaan harus bikin produk yang, minimal, sepuluh kali lebih baik dibanding kompetitornya.

Saat kondisi ini tercapai, perusahaan tersebut masuk ke fase berikutnya; monopoli. Studi kasus paling baik untuk ini, jelas, Google (berlaku untuk mesin pencari maupun sistem operasi Android-nya).

Jika sebuah perusahaan sudah, meminjam istilah Thiel, memonopoli, maka ia bisa dengan santai dan fokus mikir tentang people. Bisa kasih fasilitas yang keren, atau bangun kantor warna-warni layaknya taman bermain, yang menginspirasi banyak sekali perusahaan lain (termasuk perusahaan tempat Anda bekerja, siapa tahu?).

Kelemahan lain, dengan terlalu serius nguber number di KPI, kadang people agak terlantar.

Saya pernah lho lihat perusahaan yang performa bisnis dan pencapaiannya bagus, tapi kondisi timnya ampun-ampunan. Gosip tak sehat menjalar di tembok-tembok kantor tanpa terkendali. Padahal sangat disayangkan, mengingat di luar sana ada selusin kompetitor siap menampung karyawan-karyawan brilian namun merasa kurang dapat perhatian. Ujung-ujungnya, banyak (banget) perusahaan yang mewajibkan karyawannya tanda tangan perjanjian, bahwa setelah mengundurkan diri tidak akan pindah ke kompetitor. Duh!

Kembali ke meja wawancara saya, Anda ingin tahu, bagaimana saya menjawan pertanyaan interviewee saya tadi?

Saya jawab, “Kami fokus kembangkan produk, tentu saja”. Sengaja saya beri jeda sebentar, supaya dramatis. “Dan dalam proses delivery produk di tengah jadwal yang ketat itulah, tim kami belajar dengan keras. Sehingga dengan fasilitas yang memadai, mereka juga berkembang sama hebatnya dengan produk kami.”

Bagaimana, mirip filsuf kan jawaban saya?

--

--