Selamat Datang Kembali, Pak Kumis.

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
3 min readNov 13, 2016
Pak Antasari Azhar Menggendong Cucu (Foto: Tribun Network)

Setelah mengikuti upacara bendera di Lapas kelas I Tangerang, Pak Antasari Azhar, ketua KPK yang menjabat pada kurun 2007 hingga 2009, menghirup udara bebas. Berkopiah hitam ditambah aksesoris merah putih beliau disambut hiruk pikuk di luar Lapas. Tak hanya keluarga dan awak media, namun juga para sahabat, teman ‘sejawat’, hingga orang-orang yang singgah sekadar menyaksikan prosesi emosional itu.

Peluk cium beliau untuk keluarga; istri, anak, cucu, membuat Kamis itu terasa hangat. Pekik merdeka, lengkap dengan tinju kiri yang diangkat khas para pejuang perebut kemerdekaan, membuat semuanya menjadi lengkap.

Seiring mantapnya langkah kaki Pak Antasari meninggalkan Lapas, sejuta kebahagiaan menjelma, sejuta harapan baru menguar, pun beribu tanda tanya usang turut kembali mengemuka. Akankah Pak Antasari benar-benar sudah ikhlas dan ridho atas segala yang menimpa beliau, ataukah perjuangan mengejar kebenaran akan dibangkitkan dari tidur panjangnya?

Biar beliau yang memutuskan. Tak elok membahas hal itu sekarang, saat Bu Ida Laksmiwati sedang berbunga-bunga menyambut belahan jiwa tercinta kembali ke rumahnya yang hangat dan (bakal kembali) penuh tawa.

Pak Kumis, demikian beberapa orang menyapa Pak Antasari dengan akrab, tampak betul-betul menikmati momen awal kebebasan bersyaratnya. Tumpeng dipotong, doa dipanjatkan, sahabat dekat diundang, tawa canda kembali didendangkan.

Ketika beberapa orang tak masuk ke daftar undangan, seharusnya tak perlu risau, apalagi dikorek-korek penyebabnya, yang nyata maupun yang tersembunyi dalam hati. Suka-suka yang berhajat, demikian barangkali ungkapannya.

Jika sahabat-sahabat sejati saya masih mengingat dan mendukung saya ketika saya sedang berjuang kesakitan, memang wajib bagi saya untuk sekadar berucap terima kasih. Sedang yang hanya datang menemani dan tertawa bersama ketika berjaya, rasanya ada berjuta. Terlampau sukar dikata banyaknya, pun akan penuh rumah saya untuk menampung mereka ke daftar tamu undangan.

Kisah tentang kasus yang pernah menjerat Pak Antasari rasanya tak akan pernah cukup dihikayatkan. Toh, keputusan hakim setelah proses peradilan sudah jelas dan nyata. Pak Antasari dijatuhi vonis 18 tahun penjara (lebih ringan dari tuntutan jaksa; hukuman mati) pada awal 2010, Februari jika tak keliru.

Saya mengikuti kasus Pak Antasari sejak awal beliau ditangkap pada Mei 2009 hingga ketukan palu hakim pada Februari 2010. Saya tonton semua sidang yang disiarkan televisi.

Tiap saksi yang dihadirkan, tiap bukti yang diperagakan, tiap pembelaan dan bantahan yang terucap sahut-menyahut, semua membuat gambaran yang kabur itu sejatinya mulai mengejawantah pada benak para khalayak. Dan celakanya tak seirama dengan ketukan palu pak hakim.

Namun apa lacur? Vonis telah dijatuhkan, upaya Pak Antasari mentah di segala jenjang peradilan. Dan Presiden kala itu menandatangani surat pemberhentian Pak Antasari secara permanen dari jabatannya; ketua KPK.

Kalahnya Pak Kumis tak lantas membuat kasus ini hilang begitu saja. Setidaknya bekas asapnya masih samar terlihat. Desas-desus merebak, konspirasi jahat dan kekuatan tangan-tangan tak terlihat disebut membuat kasus ini nampak dilempar ke lemari arsip begitu saja dengan meninggalkan tanda tanya.

Memanglah Pak Antasari hanya manusia biasa. Sama saja seperti saya dan Anda semua. Punya keinginan, ambisi, bisa keliru, dan sesekali terpeleset nafsu. Namun apakah skandal perebutan cinta sang caddy manis membuat nyawa seorang bos BUMN melayang karena tiga lubang peluru di kepala, sekaligus membuat Pak Antasari menjadi pesakitan?

Biarlah, kebenaran sejati tetap ada di langit. Seperti kutipan yang dinukil Pak Antasari; Satyameva Jayate. Biarlah kebenaran yang akan menang.

Pelajaran bagi saya? Jelas setiap profesi datang sepaket dengan segala risikonya. Menjadi abdi negara yang diberi kewenangan menumpas korupsi kelas kakap memang terdengar mengerikan bagi sebagian orang.

Dan ketika Anda kebetulan memenjarakan dan dianggap mengancam kenyamanan hidup orang-orang dekat (termasuk besan) sang penguasa, maka Anda memang selayaknya paham betul risiko yang Anda hadapi.

Terlepas dari segalanya. Secara pribadi saya ingin menyampaikan selamat kepada Pak Kumis dan keluarga. Semoga kebahagiaan ini langgeng tanpa ada yang mengusik lagi. Namun jika ada yang sekonyong-konyong dan penuh kesadaran menjadi khawatir, kemudian memasang kawat berduri di sekitar rumah, ya apa mau dikata? Satyameva jayate!

--

--