Tentang AADC2 dan Upaya Penuntasan Hutang Masa Lalu

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
4 min readMay 5, 2016
Sebuah adegan di film Ada Apa dengan Cinta 2, berlatar Yogyakarta — Sumber: Miles Films

Ketika beberapa saat yang lalu ramai terdengar rumor bahwa film lanjutan dari Ada Apa dengan Cinta sedang dalam proses pengerjaan, banyak orang ‘menahan napas’.

Seakan tak sabar menyambut kembalinya Rangga dari negeri jauh untuk ‘mempertanyakan kembali cintanya’.

Sekaligus mengakhiri penantian panjang Cinta yang tampaknya sudah lelah menghitung jumlah purnama setelah (dalam kisah ini) hampir sepuluh tahun diputuskan cintanya melalui secarik surat.

Sebagian besar berlokasi di Jogja, AADC2 mengajak para penikmatnya bernostalgia dengan roman Rangga dan Cinta yang legendaris.

Anak-anak SMA masa lalu yang kini telah menjadi orang-orang berada.

Komposisinya dibuat mirip, ada dinamika romantisme Rangga dan Cinta, persahabatan yang penuh tawa dan sedikit bumbu prahara, dan masalah keluarga.

Tanggapan para pemirsanya tentu beragam. Sebagian besar berkata dengan mata berbinar, telah menuntaskan kerinduan, bernostalgia, dan memuaskan hutang penasaran tentang kisah lanjutan dua sejoli ini.

Namun tak sedikit pula yang harus menelan kekecewaan karena rupanya apa yang didapat tak jua seperti yang diharapkan, ditambah lamanya waktu penantian.

Secara pribadi saya melihat Ada Apa dengan Cinta, film pertama dan yang kedua ini sebagai dua bagian yang justru (anehnya) tidak bertemu. Alias bagaikan dua kisah yang berbeda.

Saya kemudian bisa memahami mengapa banyak yang mengutarakan kekecewaan terhadap film arahan Riri Riza ini.

Pertama, adalah sebuah beban yang sangat berat ketika kita harus membuat sebuah karya yang dinantikan banyak orang dengan harapan selangit.

Kita tentu masih ingat betapa Ada Apa dengan Cinta, yang menghentak layar lebar pada 2002, berhasil memukau banyak orang sekaligus menghasilkan gelombang optimisme yang masif terhadap kualitas karya sinematografi tanah air.

Tak ayal, Ada Apa dengan Cinta kedua ini harus memikul ‘hutang’ yang begitu berat terkait kesuksesan pendahulunya.

Penonton tentu menantikan kisah yang ‘menghentak’ setelah menunggu nyaris empat belas tahun, bukan sekadar reuni dadakan yang canggung dan kisah cinta yang berulang.

Benar dugaan saya, penonton hanya disuguhi drama perjumpaan Rangga dan Cinta yang sepertinya hanya mem-foto kopi kisah lalu.

Romantisme jual mahal ala anak SMA, lalu kemudian berakhir dengan sebuah ciuman.

Hanya saja kali ini ditambah bumbu penguat, ada dua yang saya lihat secara kasat mata; pertama adalah eksotisme Jogja, kedua adalah bumbu joke-joke dan muatan komedi yang jumlahnya terus ditambah hingga terlalu banyak.

Riri Riza benar-benar ingin menjaring penonton seluas-luasnya, mulai dari para penanti Rangga, hingga anak-anak muda kekinian yang haus kisah roman yang dibalut guyonan.

Tampaknya hal itu pula yang membuat film ini jadi jauh sekali dari AADC pertama. Saya melihat sedikit sekali para tokoh di sini membahas kisah di masa SMA, mading yang diusung oleh geng Cinta ataupun puisi-puisi Rangga di masa lalu.

Ya, sangat berhati-hati, seolah takut penontonnya akan tersesat dan kebingungan.

Di mata saya, dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, sineas Indonesia jarang sekali melahirkan film-film yang memiliki efek yang kronis bagi penontonnya dan berjangka panjang. AADC pertama adalah yang paling sukses, menurut saya.

Tentu kita semua masih ingat bagaimana kala itu tiba-tiba saja muncul fenomena anak-anak SMA berpuisi. Seni sastra menjadi begitu populer di kalangan pelajar.

Khairil anwar, melalui puisi-puisinya sendiri maupun melalui Aku-nya Sjuman Djaya, menjadi ‘standar’ bagi anak-anak kala itu untuk bisa dikatakan ‘anak gaul’ dan kekinian.

Dan rupanya tren tersebut tak lantas padam dalam waktu singkat. Ya, memang juga tidak bertahan lama pula.

Yang kedua ada Ayat-Ayat Cinta dari novel Habiburrahman El Shirazy yang berjaya di layar lebar medio 2008 silam.

Menurut saya film ini juga memunculkan fenomena serupa, gelombang tren gaya islami, bahasa arab, dan sosok ‘Aisha’ yang terkadang pemeonya masih saya dengar sampai sekarang.

AADC pertama begitu menginspirasi (seperti halnya Ayat-Ayat Cinta). Pesonanya berhasil membawa penonton tak lantas meninggalkan film ini begitu saja ketika keluar dari ruang bioskop.

Mereka masih membawanya hingga ke kamar, dan memberi energi untuk membuka buku agenda kemudian menuliskan bait-bait puisi ala-ala.

Kemudian pergi ke Kwitang keesokan harinya dan mencari-cari buku Sjuman Djaya (yang bisa dipastikan tidak akan mudah ditemukan).

Saya ingin menutup tulisan ini dengan kelakar kawan saya tentang AADC2.

Bahwa ini adalah senjata pamungkas Mbak Mira. Ketika saatnya tepat, kata kawan saya ini, buat saja AADC 2, maka tak pedulia baik atau buruk hasilnya, orang akan tetap berbondong-bondong menonton dan meraup banyak untung. Demikian katanya.

Namun terlepas dari segala pandangan orang mengenai AADC2, dalam alam bawah sadar saya lega juga.

Setelah akhirnya tahu bahwa Rangga ternyata buka bisnis di New York. Bukan sebagai pekerja di kantor mewah dengan penampilan parlente seperti yang pernah digambarkan di iklan sebuah produk teknologi asal Jepang itu. He he he.

Selamat bernostalgia!

Catatan: Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis. Sama sekali tidak mewakili pihak maupun kepentingan manapun.

--

--