Karena Kenangan tak Pernah Sama

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
2 min readJul 23, 2015
Old Man chat

Seperti halnya tradisi keluarga kami di setiap hari lebaran, beberapa waktu yang lalu kami pergi mengunjungi sanak kaluarga di kecamatan sebelah, kemudian sebelahnya lagi.

Bapak saya, seperti biasa, senangnya bukan alang kepalang bisa berjumpa dengan kawan-kawan sepermainan beliau semasa kanak-kanak. Maklum, banyak diantara mereka yang tak lagi tinggal di kampung dan hanya berkunjung setiap hari lebaran tiba.

Ada topik pembicaraan yang tak pernah alpa, dan yang saya tidak pernah bosan menyimaknya, adalah tentang hal-hal (yang menurut mereka) keren yang mereka lakukan di masa lampau.

“Kang, kamu masih ingat waktu aku masih kelas satu SMA, kamu dan Kang Samsul ngajak aku jalan kaki mendaki Wilis?” Seorang saudara jauh memulai.

“Oh, ya, waktu itu kita bermalam di musala reot dan tiba-tiba diundang orang kampung setempat untuk ikutan ritual adat mereka.” Kenang Bapak.

“Iya, penafsiranku jalan menuju ke sana jarang betul dilalui manusia. Kita masih harus membabat semak belukar.”

Dan seterusnya, seolah tiada akhir bagai kisah cinta Jenderal Tian Feng.

Dulu barangkali saya hanya menganggapnya sebagai kisah usang yang seru untuk disimak.

Tapi lama-kelamaan, terutama sejak saya menikah, saya jadi mikir juga. Kelak, barangkali tiga puluh tahun yang akan datang, ketika saya berjumpa dengan kawan lama, kira-kira pembicaraan macam apa yang akan kami gelar?

Apakah anak-anak kami kelak cukup tertarik untuk menyimaknya sama seperti ketertarikan saya akan perbincangan Bapak saat ini?

Pada akhirnya, kata-kata Mark Twain ini layak kita tafsirkan ulang,

Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the ones you did so.

Catatan: Gambar adalah ilustrasi, diambil dengan memperhatikan hak cipta dari situs pixabay.com

--

--