Tentang pohon mahoni yang mengisahkan rindu

…dan kubiarkan kau melupakanku, biar saja.

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
3 min readJun 15, 2016

--

Sayangku, ketika rembulan sembunyi dan nyanyian burung gagak tak lagi semerdu air, kau boleh melupakanku. Tak perlu risau, karena aku sedang bercakap dengan air, berencana membawa rinduku ke samudra. Rinduku padamu. Berharap riak dan badainya mampu melumat rindu-rindu. Toh, semua tahu, segulung badai dan segala gelombang tak akan sebanding. Rindu ini terjalin ke setiap denyut hidup semesta. Milikku.

Sayangku, hari ini langit dimadu oleh kekasihnya, pohon mahoni di sudut kampung. Bergurau dengan angin lalu, aku memendam rindu. Setiap partikel tubuhku dicumbu rindu. Kau jadi suluhku, memandu menapaki gelap. Melelahkan. Tapi, sayangku, aku senang. Sungguh. Jentik apimu sumunar tak hilang. Angin-angin membawa kabut membuatmu meredup, tapi seperti biasa, kita saling menguatkan. Membuat jalan gelap dan meracun ini terasa lapang dan membahagiakan. Tapi, toh, aku tetap membiarkanmu melupakanku.

Sayangku, ingatkah kau, setiap kerikil yang membuat kita nyaris tersungkur? Mereka tak ubahnya riak-riak di kolam maha luas di halaman istana Solomon. Aku senang kita melewatinya bersama. Karena aku menduga setiap riak itu membawa pesan suci Tuhan. Kita tak henti tergagap-gagap. Tak apa, toh kita selalu bisa membuat semuanya jadi gelak tawa yang renyah dan menggairahkan. Dan ketika kau mulai berpikir untuk meninggalkanku, biar saja. Seikat ilalang di sudut meja keramik ungu menyisakan isak terakhirnya. Dan aku menepuki pundakku sendiri.

Sayangku, ingatkah kau, ketika kita selalu berangan tentang hari tua? Tentang hari-hari ingatanku mulai luruh. Tentang langkahku yang mulai goyah dan mataku yang kian rabun. Bukan mata batinku yang merekam cantikmu. Aku meyakinkanmu masa itu sudah dekat. Layaknya musim hujan yang sudah tercium aromanya. Karena burung gagak sudah mengabarkannya kepadaku. Sebentar lagi, sayangku, dan kau boleh melupakanku.

Sayangku, jika senjakala kita sudah diambang diamnya, biar saja. Apa kau merasakan genggaman tanganku semakin erat? Bahkan daun-daun kering pohon mahoni yang berguguran pun terasa bagai bilah-bilah tajam di kulitku. Aku tak ingin melepaskanmu, aku tak ingin bahkan sekadar mengendurkan genggamanku, barang sebentar. Karena ketika kau memutuskan untuk mengangkat sauh dan berlayar menjauh dariku, biar saja. Dan pohon mahoni akan berselingkuh dari bumi dan bercumbu dengan seikat ilalang di sudut meja keramik ungu.

Sayangku, ketika kau bergumul dengan maut dan mendorong anak kita meninggalkan rahimmu, aku terisak dan diam-diam membuat perjanjian dengan detak-detak jantungmu. Dan ketika tangisan pertamanya memecah malam dan membelah tidur kunang-kunang, tangan tak terlihat yang luar biasa kekar menamparku hingga nyaris buta. Kita telah melompati masa demi masa, layaknya pohon mahoni yang bertahan. Musim demi musim. Kalian berdua, kau dan anak kita, membuatku layaknya terlahir kembali. Aku tinggalkan pohon mahoni yang perkasa, aku langkahi riak-riak di kolam. Dan layaknya bayi, aku merengek mencoba bersekutu dengan Tuhan untuk merengkuh kalian. Gelombang laut tak pernah menjadi akrab, kerikil makin tajam dan beracun, burung-burung gagak makin nyaring berkoak, kau boleh menggantungkan laut dan badainya di leherku. Karena aku akan berdiri di sini, di antara gelap dan terang jalanan, mengencangkan pasak dan ikatan, demi anak kita. Makhluk mungil yang bahkan sudah kita libatkan dalam setiap perbincangan, sejak kaki mungilnya menggeliat genit di perutmu.

Percayalah sayangku, laut akan melumat kita dengan badai-badai maha dahsyatnya, burung-burung gagak akan terus menebar terornya, dan mohon mahoni akan kehabisan cahaya dan daun-daun. Tapi aku tetap di sini, kita tetap berpegang. Kau boleh melupakanku, biar saja. Tapi pohon mahoni tahu, aku ada di sana, bersamamu, sangat dekat.

Dan tetap saja, sayangku, kau boleh melupakanku.

--

--