The Look of Silence: Senyap yang Mengoyak Luka Lama

Andika Kurniantoro
Bakulrujak
Published in
3 min readNov 10, 2014
look-of-silence1

Kira-kira bagaimana rasanya bila harus hidup bertetangga dengan orang-orang yang telah membunuh anggota keluargamu?

Barangkali perasaan inilah yang pertama kali hadir dalam benak saya saat mulai menonton film dokumenter The Look of Silence. Film yang merupakan kelanjutan dari lakon bergenre serupa dengan judul The Act of Killing (2012) ini menceritakan bagaimana kehidupan sedih dan muram keluarga dari korban pembantaian paska tragedi G30S PKI tahun 1965.

look_of_silence_2

Adalah Adi Rukun, seorang tukang kacamata yang pada akhirnya menjadi “tokoh” utama dari film berdurasi 98 menit ini. Kakak kandung Adi, Ramli, adalah salah satu orang yang dituduh terlibat dalam organisasi “terlarang” bersayap kiri dan harus dijemput paksa dari rumahnya untuk dibunuh dengan brutal.

Anehnya, para pihak yang bertanggung jawab akan peristiwa yang konon disebut-sebut sebagai salah satu tragedi paling berdarah sepanjang abad 20 tersebut justru menikmati kemewahan dan menjabati posisi-posisi penting di pemerintahan hingga kini.

Adi mendatangi mereka satu per satu. Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan kakaknya. Tujuannya? Entah, saya kurang bisa menangkapnya.

Adi datang dengan menawarkan jasa pembuatan kaca mata kemudian mencoba mengorek informasi dari pelaku-pelaku sejarah yang semuanya telah berusia lanjut tersebut. Hampir semua dari mereka mengakui dan menceritakan dengan lancar bagian demi bagian pemusnahan nyawa besar-besaran itu.

Sedikitnya dari kacamata saya, film ini memuat tiga bagian besar. Pertama adalah mengulik kehidupan orang tua Adi yang telah renta dan hidup seadanya sambil tak henti-henti mengenang anak mereka yang menjadi korban pembunuhan.

Kedua adalah bagian ketika para pelaku pembunuhan bercerita tentang “detail teknis” eksekusi kejam para korban.

Dan yang ketiga adalah ekspresi aneh dan tidak nyaman ketika Adi dengan gamblang mengaku dan memperkenalkan diri sebagai adik kandung Ramli, salah satu korban yang turut mereka bantai berpuluh tahun lalu.

Film garapan sutradara kelahiran Amerika, Joshua Oppenheimer ini betul-betul menitik beratkan pada sisi kejiwaan dan emosi. Bagaimana gambar-gambar yang diambil dari sudut-sudut “mematikan” bisa membuat kita menahan napas. Walaupun memang sebagian besar tanpa suara, senyap, persis seperti judulnya.

Kita akan dipaksa berada pada suasana canggung dan tegang ketika Adi memperkenalkan diri sebagai adik kandung orang yang menjadi korban pembantaian dan datang untuk menuntut pertanggung jawaban moral dan rasa bersalah yang tak terucap.

Bayangkan saja jika suatu hari ada tamu yang berkunjung ke rumahmu dan berkata sambil berkaca-kaca, “bapak Anda telah membunuh kakak saya.”, sedang ayahmu hanya bisa mengakui dalam diam dan gamang. Dalam usia rentanya.

Tidak ada yang salah jika sebuah rezim berlaku sesuai keinginan penguasa. Karena ia berhak mengubah persepsi masyarakat tentang sejarah dengan praktek indoktrinasi selama puluhan tahun.

Namun saat sang penguasa telah mangkat, kita akan terkejut saat menemukan fakta bahwa bahkan ketika sejarah yang sebenarnya telah dibentangkan, otak kita masih juga enggan menerimanya. Hebat sekali bukan?

Film yang telah menyabet sedikitnya 5 penghargaan pada Festival Film Venesia ini memang bukan satu-satunya sarana untuk “membentangkan” alternatif celah yang bisa kita intip untuk menguak fakta-fakta sejarah yang lain. Namun setidaknya kita akan menjadi terbiasa dan tidak lagi mudah terkaget-kaget ketika mendapati kenyataan bahwa apa yang sudah dipahatkan di kepala kita sejak masih bayi adalah tak lain sebuah topeng dan polesan belaka.

Sumber foto:

[1] Dokumentasi Bakulrujak.com

[2] situs www.dfi-film.dk

--

--