Banda Aceh

Ferzya
Banda Aceh
Published in
2 min readMay 9, 2014

Lampu jalan yang remang menandakan bahwa kita sudah sampai di Kota Banda Aceh, lebih baik daripada tetangganya, Aceh Besar yang menggunakan lampu jalan sebagai penghias jalanan. Bisa juga dijadikan tempat tinggal untuk serangga-serangga malam yang kehujanan.

Taman-taman tepi sungai yang beranak-tangga juga ada untuk mengandaikan diri berada di sebuah negara di Eropa atau Korea? Satu taman kesukaanku anak tangganya sudah rapuh, besi-besi penyangga tempat duduk bengkok ke arah sungai, tak lagi melengkung tuk melindungi penduduk. Taman itu berada di depan kantor polisi, walau demikian terkadang ada yang mencuri cium bibir, diantara remangnya lampu dan harunya air. Mungkin terbawa harumnya zat volatil bunga-bunga di taman itu. Aku tak peduli, bukan karena mereka berjenis kelamin sama, tapi karena remangnya lampu, harunya air dan zat volatil tidak bisa disalahkan. Aku tak peduli karena masih sibuk dengan urusan sendiri yang tak kunjung membaik.

Kota ini cenderung gelap dan pasif di malam hari, tapi cenderung terang dan aktif di sore hari. Aktif berkomentar kesana-kemari. Tidak ada rahasia di kota ini. Bahkan kamu bisa tahu apa yang baru kulakukan 2 menit yang lalu tanpa harus bertemu. Dikenal secara acak bukanlah hal baik.

Aku suka kota Banda Aceh. Jenis bangunannya beragam. Aku paling suka sebuah bangunan di depan SPBU Simpang Jam, warung telepon para kolonial kini dijadikan kantor PSSI. Aku suka karena bangunan itu dilindungi oleh pohon-pohon besar yang teduh.

Aku juga suka daerah Peunayong, lantai dua ruko-ruko tersebut kadang membuat otak kananku mencoret-coret otak kiri. Jendela kayu yang tersusun-susun kecil, teralis sederhana berwarna abu-abu tua, jemuran-jemuran dan tumpukan kardus di balkon atas, atau bunga-bunga kecil di pot yang berusaha hidup di bawah sengatnya sinar matahari.

Aku suka.

Aku suka menatap rumah wali naggroe yang kini atapnya mulai rusak padahal belum dihuni. Terkadang berfikir siapakah pemilik rumah tersebut sebenarnya? Apa yang dilakukannya disana? Jauh dari kota, jauh dari laut, jauh dari sawah. Aku suka menatapnya, bukan karena bentuk bangunannya, tetapi dengan menatapnya aku bisa membayangkan bahwa yang tinggal disana adalah orang-orang yang jauh untuk orang-orang dekat.

Aku suka dukanya kota ini dan aku paling suka suasana malam harinya, remang; mencoba menenangkan hati-hati yang resah. Kerap berhasil tapi tak jarang menyisakan pilu.

Aku suka kota ini, sebagian jiwanya seperti ingin tetap bertahan pada masa lalu, sebagian lain dalam ragu mulai mempercepat masa depan.

--

--