Tentang Desain

Usability Testing #1 — Jembatan Antara Aku dan Kamu

Memahami pengguna dan membuat produk yang sesuai kebutuhan mereka

Jamika Nasaputra
Published in
6 min readMar 4, 2020

--

Dalam satu siklus perancangan produk, ada satu tahapan penting yang menjadi kunci keberhasilan produk itu sendiri: proses validasi. Banyak sekali metode validasi yang bisa kita pilih. Mulai dari survey, Focus Group Discussion (FGD), heatmap, A/B test, dan salah satunya adalah Usability Testing.

Ikuti instagram kami di @belajardesain.io untuk mendapatkan update #BelajarDesain terbaru dan bagaimana agar menjadi lebih baik — bagi diri sendiri, pekerjaan, ataupun orang lain.

Usability Test (disingkat menjadi UT) adalah salah satu metode validasi yang menggunakan takaran kualitatif untuk menguji fungsionalitas sebuah produk dengan cara mengamati perilaku pengguna pada saat menggunakan produk tersebut.

Pada umumnya, sebuah sesi UT terdiri dari fasilitator atau periset, partisipan, dan sebuah skenario. Fasilitator akan memberikan beberapa pertanyaan atau tugas yang sesuai dengan skenario kepada partisipan. Jawaban dan perilaku partisipan selama sesi akan diperhatikan dan dicatat oleh fasilitator sebagai data awal.

Image Source Here

Dalam perancangan pengalaman pengguna (atau biasa disebut desain UX), usability testing merupakan salah satu metode validasi yang memiliki peranan penting. Tidak hanya periset yang mestinya menguasai skill usability test, melainkan justru desainer-lah yang lebih membutuhkannya.

Mengapa Harus Desainer?

Sebenarnya nggak harus periset atau desainer. Product Manager, Lead, atau bahkan tim bisnis juga bisa (dan butuh) melakukan metode validasi ini. Tetapi, patut dipertimbangkan bahwa usability test adalah jembatan antara aku (desainer) dan kamu (pengguna). Ia dapat menjadi cara terkonkrit yang dapat dilakukan desainer untuk lebih mengenal penggunanya.

Sebagai desainer, UT membantu kita dalam menggali bagaimana perilaku, kebutuhan, motivasi, intensi, bahkan ekspektasi pengguna.

The most effective way of understanding what works and what doesn’t in an interface is to watch people use it — Jakob Nielsen

Validasi dapat membantu kita mengidentifikasi potensi, permasalahan yang mungkin akan muncul, atau yang luput dari pengelihatan kita. Kita bisa melihat bagaimana sebenarnya pengguna kita bereaksi terhadap desain kita.

Dengan begitu, kita bisa melakukan iterasi berdasarkan data dan asumsi yang tervalidasi. Bukan lagi sekedar ‘kayaknya’ atau ‘menurut saya’ saja.

Usability Testing… Tidak Semudah Itu, Ferguso!

Iya, langkah validasi ini memang sangat penting. Tapi kenyataan berkata lain. Ternyata, susah ya mencari pengguna yang tepat. Selain itu, UT memakan waktu yang sangat panjang, bingung bagaimana cara agar tidak bias.

Banyak sekali tenaga yang dicurahkan eh tapi hasilnya — hampir selalu — tidak bisa memuaskan berbagai pemangku kepentingan (seperti product manager, atau rekan kerja dari divisi lainnya).

Jadi harus bagaimana? Ada beberapa metode dan tips agar UT-mu menjadi lebih valid dan mendapatkan buy-in dari para stakeholders.

Beberapa Metode yang Bisa Kamu Pilih

Usability test nggak harus selalu bertemu langsung dengan partisipannya. Ada banyak metode untuk menjembatani pertemuan kita dengan partisipan UT, salah satunya adalah dengan cara interview melalui telepon.

Gambar di bawah ini adalah rangkuman dari beberapa metode yang bisa kita pilih dalam melakukan UT. Tapi ingat, sebelum menentukan metode apa yang akan kita gunakan, akan lebih baik jika kita memahami terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai dalam proses validasinya.

Image Source Here

Moderated atau Unmoderated?

Moderated adalah jenis UT yang membutuhkan moderasi langsung antara fasilitator dengan partisipannya. Dalam sesi moderated UT, fasilitator dan partisipan dapat berkomunikasi dua arah secara langsung. Fasilitator-pun dapat pertanyaan pada saat sesi berlangsung.

Sementara unmoderated UT adalah jenis UT yang dilakukan tanpa moderasi langsung dari fasilitator. Partisipan melakukan aktifitas yang diminta oleh fasilitator secara mandiri. Fasilitator baru dapat mengajukan pertanyaan setelah hasil tes diselesaikan oleh partisipan.

Kita bisa menggunakan moderated UT jika tujuan validasinya adalah untuk mengetahui ‘why’-nya, atau latar belakang perilaku pengguna. Sementara unmoderated UT biasanya digunakan untuk mengetahui pola perilaku pengguna dalam sebuah fitur/aplikasi/halaman.

Remote atau In-Person?

Remote UT adalah sesi UT jarak jauh yang dilakukan menggunakan media internet atau telepon. Sementara in-person adalah sesi UT yang dilakukan dengan cara bertemu langsung antara fasilitator dan partisipan.

Kedua jenis UT ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Tentunya, remote UT menghabiskan biaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan in-person. Tetapi, yang menarik dari metode in-person adalah kita bisa mengamati secara langsung gerak-gerik, ekspresi, dan reaksi partisipan pada saat sesi UT.

Tips Biar Semakin Jago nge-UT

Yes, beibeh~

💡 Tips #1: Konsultasi

Membuat rangkaian kegiatan UT memang tidak mudah dan butuh jam terbang. Semakin sering kita melakukan UT, maka semakin lihai pula kita mengeksekusinya. Nah, jika kita belum memiliki ilmu dan pengalaman yang cukup dalam melakukan UT, yang bisa kita lakukan adalah:

  1. Konsultasikan skenario dan rancangan UT yang kita buat kepada pihak yang lebih ahli dan berpengalaman, misalnya ke senior/lead kita, atau kepada tim periset yang memiliki background keilmuan di bidang ini.
  2. Mintalah bantuan rekan kerja untuk mendampingi pada saat sesi UT. Utamakan rekan yang sudah berpengalaman dalam melakukan UT agar dapat membantu mengarahkan kita pada saat sesi. Lalu mintalah kritik dan saran terhadap sesi tersebut sebagai bahan evaluasi.
  3. Jangan segan untuk meminta masukan dari para partisipan terkait sesi UT yang kita lakukan. Hal ini juga dapat mencadi salah satu topik pembicaran untuk mencairkan suasana tegang pada saat UT lho!

💡 Tips #2: Komunikasi dan Partisipasi

Pada umumnya, sesi UT memakan waktu kurang lebih 3 sampai 5 hari. Ditambah sekitar 3 hari untuk penyusunan laporannya. Bukanlah sebuah waktu yang singkat, apalagi jika dikejar-kejar deadline dan stakeholders.

Nah, agar tidak terjadi miss-komunikasi dan persepi bekepanjaangan, komunikasi kepada stakeholders menjadi penting. Beberapa poin yang bisa kita terapkan adalah:

  1. Saat memutuskan untuk melakukan UT, komunikasikan kepada stakeholders terkait kelebihan, kekurangan, serta ekspektasinya. Informasikan tentang waktu hingga hasil yang akan dicapai.
  2. Partisipasi: libatkan stakeholders dalam setiap sesi UT. Ajak mereka untuk ikut serta mengamati proses UT yang terjadi. Biarkan mereka turut memberikan pertanyaan kepada partisipan. Dengan begitu, stakeholders akan lebih memahami apa yang dilakukan pada saat UT.
  3. Jangan segan untuk mengkomunikasikan segala hal yang menarik, termasuk halang rintangan yang terjadi pada saat UT. Misalkan, ketika partisipan tidak jadi datang, sehingga proses UT akan jadi lebih lama. Meminta mereka untuk memberikan pertimbangan atas permasalahan tersebut juga bisa meningkatkan rasa kepemilikan mereka.

Komunikasi dan partisipasi akan memudahkan kita selama proses UT. Ketika UT tidak berjalan sesuai rencana, kita tidak lagi sendirian. Sebab sesi UT ini bukan-lah tanggung jawab desainer atau periset saja. Melainkan tanggung jawab kita bersama (termasuk para stakeholders) sebagai pemilik produk.

💡 Tips #3: Dokumentasi

Seperti kata pepatah, no pict = hoax. Tanpa dokumentasi yang jelas, bisa jadi lho UT yang sudah kita lakukan dianggap tidak valid oleh para stakeholder. Apalagi jika desain yang menjadi objek UT ini berhubungan dengan banyak sekali pihak.

Nah, bagaimana agar dokumentasi bisa menjadi senjata yang dapat menjembatani kita dengan stakeholders?

  1. Membuat dokumentasi skenario yang terstruktur, mudah dibaca dan dipahami oleh orang lain selain fasilitator UT. Jika tetiba ada halangan, kita bisa minta bantuan rekan lain untuk menggantikan kita. Selain itu, dokumen skenario yang rapih dapat menjadi rujukan selanjutnya. Menghemat waktu sebab tidak perlu lagi membuat formatnya dari nol.
  2. Catat, rekam, dan foto. Catat segala hal penting dan menarik yang terjadi selama sesi, termasuk jika ada pernyataan user yang berkesan. Rekam agar kita bisa memutarnya kembali ketika menyusun laporan. Foto, sebagai barang bukti nyata bahwa kita benar-benar melakukan UT bersama dengan pengguna.
  3. Membuat laporan hasil UT. Tidak harus berlembar-lembar, tidak harus sedetail itu. Yang terpenting usahakan laporan tersebut komprehensif, menjawab tujuan yang ingin dicapai. Ceritakan laporan dengan bahasa yang sesuai dengan stakeholders sehingga lebih mudah diterima.

Meskipun peranannya sangat penting, proses validasi dengan menggunakan Usability Testing memang tidak semudah itu. Tapi kita bisa memilih metodenya berdasarkan kemampuan dan tujuan kita, kok. Dan ternyata banyak sekali manfaatnya.

Selain sebagai jembatan antara desainer dan pengguna, sebenarnya Usability Test yang dilakukan dan didokumentasikan dengan baik juga dapat menjadi jembatan antara stakeholders dengan pengguna. Sebab tidak hanya desainer yang wajib memahami pengguna, stakeholders pun memiliki tanggung jawab yang sama. :)

Hari ini, kamu sudah #BelajarDesain dan menjadi lebih baik tentang Usability Testing.

Ikuti instagram kami di @belajardesain.io untuk mendapatkan update #BelajarDesain terbaru dan bagaimana agar menjadi lebih baik — bagi diri sendiri, pekerjaan, ataupun orang lain.

--

--

Jamika Nasaputra

A Mother and a UI/UX Designer. I wrote things about Productivity, Working-Mom related topics, and of course about UX Design. Enjoy :)