Komersialisasi Pendidikan dalam Pusaran Ekonomi Padat Pengetahuan
ADA hantu yang bergentayangan di kampus-kampus. Hantu itu bernama “neoliberalisme”. Ia bersemayam di dalam kepala-kepala birokrasi kampus yang kolot, yang sekadar menjadi perpanjangan tangan dari status quo yang ada; pada akademisi-akademisi yang hanya menjadi “perkakas” bagi ekspansi modal; sampai pada tingkat pemerintahan yang membuat kebijakan dengan menghamba pada kapital. Akibat dari hantu ini, banyak orang yang harus membayar kuliah dengan harga yang sangat mahal hanya untuk menjadi cadangan buruh murah di pasar tenaga kerja setelah lulus. Ia membangun sekat antara “orang terdidik” dan “tidak terdidik” dengan memotong akses pendidikan yang terjangkau bagi orang-orang miskin. Dan baru-baru ini, ruh “neoliberalisme” termanifestasikan kembali pada kebijakan Kampus Merdeka dan UU Sisdiknas dan UU Dikti №12/2012 yang direvisi dalam Omnibus Law.
Pada prinsipnya, neoliberalisme adalah “ideologi” ekonomi-politik yang mengasumsikan bahwa kemajuan sosial akan lebih baik dicapai melalui pasar dan perdagangan bebas. Sebagai sebuah ideologi, negara dikonfigurasi hanya sebagai bingkai institusional yang menjamin keberlangsungan pasar melalui segala struktur aparatus legalnya: dari segi keamanan, polisi dan militer difungsikan untuk mempertahankan hak properti; sampai pada segi pendidikan, universitas direkonstruksi hanya sebagai instrumen pengetahuan bagi kelas yang berkuasa.
Meskipun ideologi neoliberal berjangkar pada “fundamentalisme pasar” di mana negara tidak boleh mengintervensi pasar untuk menjamin persaingan terjadi secara bebas, akan tetapi neoliberalisme justru sangat bergantung secara politik pada eksistensi negara untuk menjamin keberlangsungannya. Disinilah paradoks globalisasi dari kapitalisme neoliberal: di satu sisi, ekspansi modal tampak melampaui sekat-sekat negara bahkan menghancurkan batas-batas negara dalam pengertiannya yang konvensional sehingga membentuk anarkisme pasar, namun di saat yang sama, ia justru membutuhkan negara — yang dijalankan oleh kapitalis-birokrat — untuk menjamin keberlangsungannya dengan serangkaian kebijakan yang memihak perusahaan-perusahaan transnasional atau pemodal-pemodal besar untuk berinvestasi.
Pada konteks ini, neoliberalisme berdiri di atas premis bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab minimum untuk menjamin kesejahteraan sosial, karena kebijakan sosial melalui subsidi publik dianggap akan mengganggu insentif bisnis untuk berinvestasi. Karena bagi neoliberalisme, tidak ada yang namanya hak publik: setiap hal dan setiap orang adalah komoditas yang dapat dibeli atau diperjualbelikan. Oleh sebab itulah, jika negara memberi subsidi pada pendidikan, kesehatan, dan hak publik lainnya, itu dianggap mengganggu persaingan pasar, karena semua hal tersebut dianggap sebagai komoditas yang seharusnya berada dalam wilayah bisnis. Intervensi negara hanya boleh sejauh itu menguntungkan modal dan pasar, sementara semua yang berkaitan dengan hak publik harus diminimalisir.
Asumsi dasarnya sederhana: jika semakin banyak pemodal besar yang berinvestasi, maka kekayaannya akan mengucur kepada orang yang lebih miskin dengan terbukanya lapangan kerja baru; atau melalui pengeluaran agregat yang dikeluarkan oleh pemodal-pemodal besar ini ke pasar, dan seterusnya. Berikut juga dengan akses pada hak publik seperti pendidikan, jika semuanya dilepaskan ke pasar, maka asumsinya entitas privat akan menjamin kualitas jasanya akibat dari kompetisi yang akan memberi insentif bagi “korporasi” penyelenggara pendidikan — sehingga ia mentransformasikan universitas tak ubahnya sebagai korporasi yang bersaing di pasar pendidikan.
Berangkat dari latar belakang ekonomi-politik inilah, kita akan mencermati bagaimana kebijakan Kampus Merdeka dan/atau UU Dikti №12 Tahun 2012 — yang baru-baru ini direvisi dalam Omnibus Law — sejatinya adalah bagian dari proyek kelas yang berkuasa untuk mengintensifkan komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan di Indonesia dalam konteks pembangunan ekonomi padat pengetahuan. Dan secara khusus, kita juga akan memeriksa bagaimana implementasi kebijakan Universitas Udayana yang mengikuti cetak biru pendidikan neoliberal seperti ini melalui pencacahan atas Rencana Strategis Kebijakan Kampus.
Proyek Kelas dalam Kebijakan Ekonomi Padat Pengetahuan di Perguruan Tinggi
Sejak terjadinya transisi ekonomi Fordisme yang bergantung pada sektor manufaktur ke revolusi teknologi informasi, pengetahuan berada dalam domain yang sangat fundamental dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, posisi pengetahuan dalam konjungtur sosial, ekonomi, dan politik hari ini telah mentransformasikan pembangunan ekonomi yang berbasis produktivitas dan efisiensi ke arah ekonomi yang berbasis barang dan jasa yang bernilai tinggi dan padat pengetahuan.
Hal ini kemudian menempatkan pendidikan tinggi — sebagai penyedia modal manusia — sebagai lini baru investasi dalam kebijakan publik. Di tengah kebutuhan pasar global akan teknologi dan inovasi, maka negara-negara yang bisa mengembangkan ekosistem pengetahuannya sesuai dengan kebutuhan pasar, akan menjadi daya tarik investasi asing. Pada konteks ini, universitas dipandang sebagai pendorong utama dalam ekonomi berbasis pengetahuan, dan sebagai konsekuensinya lembaga pendidikan didorong untuk mengembangkan hubungan dengan industri dan bisnis dalam serangkaian kemitraan usaha baru.
Obsesi atas teknologi dan inovasi ini menjadi semakin masif ketika Klaus Schwab — presiden dari Forum Ekonomi Dunia Davos — mencanangkan tentang “Revolusi Industri 4.0” sejak 2015 lalu. Meskipun sebenarnya itu bukanlah wacana baru — ide tentang ini sudah ada sejak 1960 dan memperoleh popularitasnya di tahun 1990 di bawah label New Economy — akan tetapi ia direproduksi kembali secara masif melalui publisitas yang berlebihan dan seringkali tidak informatif dalam merincikan patahan fundamental yang membedakannya dengan revolusi industri sebelumnya terhadap produktivitas ekonomi. Bank Dunia pun dalam laporan perkembangan dunia yang diterbitkannya di tahun 2019 kemarin membahas hal serupa, dan memberikan preskripsi kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi peraturan ketenagakerjaan demi menyambut “Revolusi Industri 4.0.” — salah satu pokoknya adalah pemotongan upah buruh.
Terkait hal ini, pemerintahan Jokowi ikut latah mempromosikan Revolusi Industri 4.0., bahkan telah membuat peta jalan Indonesia untuk menghadapi revolusi industri keempat yang disebut “Making Indonesia 4.0.” yang pada intinya memuat kebijakan pengembangan lima sektor manufaktur, yakni makanan dan minuman, elektronik, tekstil dan busana, kimia, dan otomatif — dengan alasan 84% permintaan ekonomi dunia terpusat pada lima sektor tersebut.
Terlepas dari pentingnya utilitas teknologi kecerdasan buatan (AI) yang konon akan menggantikan otak manusia untuk mengambil keputusan bisnis strategis; kerja mesin pabrik yang digantikan oleh Cyber-Physical System; analisis saham yang menggunakan Robo Adviser, dan berbagai teknologi mutakhir lainnya di masa depan, akan tetapi reaksi pemerintahan Indonesia terkait ini sejatinya tidak lebih dari sekadar gestur kosong yang tidak didasari oleh basis ilmiah yang jelas. Pasalnya, di tengah kecanggihan teknologi tersebut, Indonesia sendiri tengah mengalami deindustrialisasi prematur selama satu dekade terakhir, yang ditandai oleh naiknya porsi industri teknologi rendah, yang diiringi dengan stagnannya nilai tambah dari industri teknologi menengah dan tinggi. Bahkan, faktor produksi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor agraris, tanpa mampu mengembangkan industri dasar di dalam negeri. Jika dibahasakan secara lain: kebijakan pemerintahan Jokowi terkait ekonomi padat pengetahuan lebih karena mengikuti tren internasional dengan pengiklanan yang seolah-olah canggih, ketimbang berdasarkan pada dasar ilmiah yang jelas atas situasi material objektif di Indonesia.
Mencermati hal ini menjadi sangat penting, karena kebijakan di sektor pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat bergantung pada konteks ekonomi padat pengetahuan yang tengah berkembang secara global. Ekonomi padat pengetahuan sendiri adalah model pengembangan ekonomi yang menggunakan pengetahuan sebagai kapital utama dalam memproduksi barang dan jasa. Kontras dengan ekonomi agraris yang aktivitas utamanya bergantung pada lahan dan kerja manual; dan ekonomi industrial yang ditandai oleh produksi massal komoditas oleh “pekerja tak terlatih”; ekonomi padat pengetahuan sangat bergantung pada “pekerja terlatih” yang memiliki pengetahuan dan kapasitas berpikir yang dibutuhkan dalam mengoperasionalkan sektor-sektor jasa baru (ekonomi pasca-industri).
Karena wataknya yang bergantung pada pengetahuan, maka output yang dihasilkannya adalah modal manusia (human capital), sementara industri menjadi konsumennya. Pada konteks ini, universitas memiliki peran ganda dalam rantai produksi: di satu sisi, ia menempatkan mahasiswa sebagai konsumen yang membeli pendidikan, sekaligus menghasilkan mahasiswa sebagai produk (komoditas) yang akan dibeli oleh industri-industri baru di pasar tenaga kerja. Dalam hal ini, mahasiswa adalah konsumen sekaligus produk dari “korporasi” perguruan tinggi.
Dalam kerangka sistem pendidikan di Indonesia, pemerintah telah melaksanakan reformasi pendidikan tinggi melalui serangkaian regulasi yang mengatur tentang pendidikan. Jika dirunut secara kronologis, reformasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai dari adanya proses pemberian otonomi pada tujuh institusi pendidikan tinggi negeri di Indoesia sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang pada prinsipnya memberi otonomi penuh kepada perguruan tinggi bukan hanya di aspek akademik tapi juga otonomi non-akademik (dalam mengatur keuangan, dll).
Dari PP 61/1999 tersebut, lahirlah serangkaian Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar hukum (Statuta) dari PP BHMN tersebut pada tahun 2000. Berikut juga pada tahun 2003, lahir UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yang pada pasal 53 ayat 1 UU tersebut, diperkenalkan terminologi ‘Badan Hukum Pendidikan’. Selanjutnya pada tahun 2009 dikeluarkan UU yang melegalkan otonomi tersebut, yaitu UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), meskipun kemudian UU BHP ini dianulir karena dianggap mengkomersilkan pendidikan dan bertentangan dengan prinsip pendidikan sebagai hak publik. Namun sejak tahun 2012, pemerintah secara resmi menerbitkan UU №12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang mengatur beberapa hal yang telah dibatalkan di UU BHP sebelumnya — terutama tentang konsep Pendidikan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (PTN-BH).
Konsep PTN-BH ini menjadi problematis, sebab kewenangan otonomi non-akademik dalam pengelolaan keuangan universitas tidak dianggap sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara. Otonomi yang dimiliki PTN-BH pun begitu luas karena kampus dapat mendirikan berbagai badan usaha dan dapat mengadakan berbagai macam pungutan dari mahasiswanya tanpa perlu persetujuan dari Kementerian Keuangan. Di sisi lain, PTN-BH juga bisa mendapatkan kucuran dana dari APBN dalam bentuk Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (BPPTNBH). Dalam bingkai Badan Hukum, pengelolaan kampus dibuat persis sama dengan manajemen bisnis dalam korporasi — atau apa yang disebut sebagai model New Public Management (NPM).
Perlu diketahui, wacana reformasi pendidikan tinggi ini telah dikampanyekan oleh Bank Dunia dan WTO sejak tahun 1994 melalui perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS) yang pada intinya meliberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya adalah sektor pendidikan tinggi. Bahkan lahirnya UU Dikti tidak terlepas dari proyek Indonesia dengan Bank Dunia yaitu Indonesia: Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Artinya, kebijakan pendidikan yang ada di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan lembaga finansial internasional untuk menginjeksikan logika pasar bebas dan melepaskan tanggungjawab negara terhadap pendidikan.
Kebijakan Kampus Merdeka yang dicanangkan oleh Nadiem Makarim pun masih bertautan dengan hal tersebut. Ada empat poin utama dari kebijakan tersebut: pertama, otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru setelah memiliki kerjasama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral atau universitas Top 100 ranking QS dan bukan di bidang kesehatan dan pendidikan; kedua, program reakreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat; ketiga, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH), dan selanjutnya magang sukarela bagi mahasiswa hingga tiga semester.
Jika dicermati, esensi utama dari keseluruhan poin Kampus Merdeka masih berada dalam rute yang sama dari diskursus neoliberal dalam reformasi pendidikan tinggi, yaitu pembiayaan yang efisien dengan mendorong keterlibatan sektor privat dalam kerja samanya; di level manajerial, mendorong percepatan kampus untuk memiliki otonomi penuh sebagai Badan Hukum; sampai di level pekerjaan, perguruan tinggi diharapkan menjadi pemasok tenaga kerja dengan mendorong link and match dengan sektor industri.
Idealnya, universitas memang diharapkan dapat membantu percepatan industrialisasi dalam negeri dengan memasok pekerja yang terdidik di bidangnya dengan industri yang sudah ada. Tetapi masalahnya Indonesia justru tidak memiliki industri yang bisa memasok tenaga kerja tersebut, yang terindikasi dari deindustrialisasi prematur yang telah disebutkan sebelumnya dan penyerapan tenaga kerja yang terus merosot di sektor industri dari tahun ke tahun. Paling mentok, tenaga kerja dari lulusan perguruan tinggi akan terserap di indusri-industri milik perusahaan transnasional yang difasilitasi oleh negara untuk menanam investasinya walaupun dengan mengebiri hak-hak pekerja.
Tidak cukup sampai disitu, perkembangan sektor jasa yang diharapkan dapat menyerap “tenaga kerja terlatih” pun bukanlah sektor jasa yang langsung menopang industrialisasi, melainkan sektor jasa lainnya yang umumnya tidak modern dan berskala kecil, yang terindikasi dari banyaknya serapan pekerja jasa di sektor perdagangan, reparasi motor dan mobil, dan jasa lainnya. Artinya, semua rangkaian kebijakan tersebut, alih-alih membantu pembangunan industri dalam negeri, itu hanya akan membuat mahasiswa menjadi pasokan buruh murah dengan kedok magang ataupun setelah lulus melalui mekanisme pasar tenaga kerja fleksibel.
Selanjutnya, karena universitas diposisikan sebagai bagian pokok dari institusi ekonomi, maka sistem akreditasi dan pemeringkatan menjadi instrumen penting yang diperlukan bagi pasar untuk memberi petunjuk bagi aktor-aktor yang ada di dalamnya: bagi (calon) mahasiswa, pemeringkatan digunakan sebagai gambaran agar ia bisa melakukan investasi (ekonomi) yang tepat dalam menentukan pilihan kampusnya; bagi pemerintah, itu berguna untuk menarik perhatian investor menanamkan modalnya di sektor ekonomi padat pengetahuan; sementara bagi universitas, pemeringkatan berfungsi sebagai iklan, yang kemudian akan mempengaruhi harga jual dari jasa pendidikan yang akan ditawarkannya kepada mahasiswa.
Karena pentingnya instrumen pemeringkatan ini bagi pasar, pada tahun 2015, Kemenristekdikti merilis dokumen berjudul Menjadikan Perguruan Tinggi Indonesia Kelas Dunia yang selanjutnya menentukan bagaimana kebijakan strategis di tingkatan kampus dijalankan dengan berpatok pada hasrat mengejar status World Class University (WCU). Bahkan terciptanya Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) yang berada dalam koridor neoliberal di Indonesia adalah hasil dari proyek IMHERE dengan Bank Dunia.
Revisi UU Sisdiknas dan UU Dikti dalam Omnibus Law hanya mempertegas cetak biru pembangunan neoliberal di sektor pendidikan dengan melakukan perubahan pada aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya, diantaranya: penghapusan pidana pendidikan (pemalsuan ijazah); degelurasi kampus asing bahkan yang tidak terakreditasi di negaranya; dan menghapus kewajiban nirlaba bagi badan hukum pendidikan.
Dari berbagai macam rantai persoalan yang besar ini, di poin selanjutnya kita akan mencermati bagaimana penerapan kebijakan internasionalisasi pendidikan tinggi ini secara spesifik di Universitas Udayana dengan memeriksa Rencana Strategis Kampus; evaluasi pengelolaan keuangan di tahun-tahun sebelumnya, sampai dengan situasi terkini kampus Unud dalam konteks ekonomi padat pengetahuan.
Delusi Universitas Kelas Dunia sebagai Slogan Pemasaran (Marketing)
Mari kita mulai mempersoalkan hal ini dengan mengajukan pertanyaan yang lugas: apa yang sebenarnya dimaksud oleh pemerintah dan birokrasi kampus ketika mereka mengatakan “pendidikan kelas dunia”? Apakah itu merujuk pada model pendidikan kritis yang memiliki tugas membebaskan pemikiran manusia dari keterbelakangan menuju pencerahan? Atau itu hanyalah penanda yang menunjukkan posisi superior dalam hierarki pengetahuan dalam relasinya dengan institusi lainnya? Lalu, apa implikasi pedagogis dari status kelas dunia, dan siapa yang memiliki kapabilitas dan kuasa untuk mendefinisikan status ini? Selanjutnya, bagaimana status kelas dunia merekonstruksikan lanskap pendidikan tinggi hanya untuk melayani pertumbuhan ekonomi, ketimbang mengembangkan potensi manusia dan membawa perubahan sosial yang progresif? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu untuk kembali melihat dinamika politik sistem pemeringkatan yang menentukan kebijakan di kampus-kampus saat ini, sebab model pemeringkatan seperti ini tidaklah lahir dari ruang kosong melainkan berkelindan dengan kepentingan lembaga-lembaga internasional yang merumuskan bagaimana seharusnya pendidikan diorientasikan.
Secara historis, sistem pemeringkatan universitas secara global dimulai oleh Universitas Shanghai Jiao Taong di tahun 2003 dengan nama Academic Ranking of World Universities (ARWU). Pada mulanya, pemeringkatan ini hanya untuk membandingkan universitas di Tiongkok dengan universitas-universitas lainnya di dunia dengan menekankan pada reputasi institusional dan performa riset secara kuantitatif.
Ini kemudian memantik negara-negara lain untuk membentuk lembaga pemeringkatannya sendiri dengan metodologinya masing-masing, seperti The Times Higher Education World University Rankings di tahun 2004 yang mengukur reputasi kampus dengan menitikberatkan pada opini internasional dari akademisi dan informasi tentang rasio dosen-mahasiswa. Jutaan dolar diinvestasikan untuk menyusun praktik pemeringkatan ini, hingga menciptakan jaringan dan kekuatan organisasional yang kokoh dan meluas dari universitas sampai media, melalui bisnis dan langsung ke pemerintah nasional dan hampir semua organisasi internasional besar, termasuk Uni Eropa, Komisi Eropa, OECD, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan UNESCO. Bahkan Bank Dunia merilis publikasi terkait ini dengan judul “The Challenge of Establishing World-Class Universities” yang sarat dengan resep neoliberal bagi negara-negara berkembang dalam mereformasi perguruan tingginya.
Dalam dokumennya tentang target menuju status Universitas Kelas Dunia, Indonesia sendiri mengacu pada metodologi yang ditawarkan oleh lembaga QS (Quacquarelly Symonds) dalam mengukur kualitas perguruan tingginya. QS sendiri adalah perusahaan privat yang menyusun peringkatnya dengan metode yang sangat kompleks dengan enam indikator penilaian. Dua indikator dengan bobot tertinggi adalah: (1) telaah sejawat akademisi (academic peer review) dan (2) jumlah sitiran karya ilmiah (citations per faculty). Indikator lainnya, yaitu (3) perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa; (4) penilaian reputasi dari para pemberi kerja; (5) rasio jumlah mahasiswa asing dan (6) rasio staf pendidik asing.
Indikator yang disusun oleh QS ini sebenarnya menerima kritik tajam karena rentan dengan bias subjektif dan viabilitas pasar, sehingga hanya kampus terkenal yang memungkinkan untuk masuk ke dalam penilaian akademisi secara internasional. Bukan hanya itu, pemerintah menakar kualitas riset dari kampus hanya dengan penilaian bibliometric (indeks produktivitas dan jumlah sitiran). Berangkat dari hal inilah, kampus kemudian membuat indikator utama capaian kebijakan strategisnya dengan mengacu pada pemodelan QS tersebut.
Universitas Udayana sendiri mengukur sasaran strategis pengembangan lima tahunannya melalui indikator kinerja yang ditetapkan melalui kontrak kerja dengan Kemenristekdikti. Kinerja tersebut diukur dengan membuat sasaran strategis dan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang bisa berbeda-beda setiap tahunnya, tergantung pada perkembangan kinerjanya di tahun sebelumnya. Namun secara umum, Unud mengacu pada aspek-aspek fundamental berikut — yang mendukung indikator sasaran program Kemenristekdikti — dalam melakukan penilaian di aspek pendidikan hingga kelembagaannya:
1. Academic Reputation (keaktifan menjadi anggota dalam asosiasi tuan rumah kegiatan internasional, penelitian kolaborasi internasional, dan lain-lain);
2. Employer Reputation (jumlah lulusan yang bekerja di perusahaan multinasional, posisi penting lulusan di dunia internasional, jumlah mahasiswa yang berwirausaha, dan lain-lain);
3. Research and Publication (jumlah publikasi internasional yang memiliki reputasi, jumlah HaKI, jumlah jurnal terindeks Scopus, jumlah sitasi tiap dosen, dan lain-lain);
4. Internationalization (jumlah dosen asing, mahasiswa asing regular, dan lain-lain).
Jika dicermati, kita bisa melihat bahwa metodologi yang menjadi acuan universitas dalam menentukan kebijakannya sangat berat sebelah kepada kebutuhan pasar, namun hal ikhwal tentang keadilan sosial, pendidikan yang transformatif, sampai persoalan politik, filsafat dan sosiologi pendidikan tidak tersentuh sama sekali dalam variabel pengukurannya. Misalnya, menakar riset sebatas dalam koridor tersebut, membuat semakin banyak akademisi terlibat dalam pengajaran dan penelitian yang dapat diukur secara finansial atau simbolis (i.e harus terindeks Scopus, yang merupakan basis data komersial jurnal Elsevier yang dikelola secara privat), serta menguntungkan dalam pasar konsumen yang kompetitif, sementara dampak riset terhadap publik luas menjadi orientasi yang sifatnya tersier dalam kerja produksi kognitif. Begitu juga pada aspek reputasi lulusan, alih-alih berfokus pada kualitas pedagogisnya, itu hanya diukur dari seberapa banyak lulusan yang bekerja di perusahaan ternama.
Tidak cukup sampai disitu, di level manajerial sendiri, meski Unud selalu melaporkan bahwa capaiannya sangat baik — berdasarkan standar-standar “bermasalah” tersebut — namun alokasi anggaran Unud beberapa tahun terakhir cenderung konsumtif (yang terindikasi dari banyaknya realisasi anggaran yang habis di belanja pegawai dan barang), ketimbang produktif berinvestasi di belanja modal (belanja aset, infrastruktur, dsb) — bukan hanya secara persentase realisasi yang kecil, namun juga nominal yang dianggarkan sangat jauh jika dibandingkan dengan item belanja lainnya.
Meskipun untuk mencapai reputasi kelas dunia infrastruktur yang baik menjadi prasyarat utama, akan tetapi dari alokasinya sendiri Unud masih sangat lemah dalam melakukan pembangunan infrastruktur yang merata, walaupun Unud selalu berkilah sedang mengalami kekurangan anggaran. Apa yang tidak disampaikan oleh Unud adalah bagaimana anggaran tersebut diprioritaskan dalam perencanaan pembangunannya. Rinciannya bisa dilihat di tabel berikut:
Slogan kelas dunia yang selalu dihasrati oleh semua perguruan tinggi pada akhirnya tidak lebih dari sekadar branding yang hanya akan membuat biaya perkuliahan menjadi semakin mahal, bukan hanya karena standar-standar di dalamnya hanya diperuntukkan untuk pasar, namun juga karena kampus sendiri memiliki kewenangan untuk menarik biaya kuliah yang lebih mahal, walaupun kekurangan anggaran yang mereka keluhkan sebenarnya adalah hasil dari inkompetensinya dalam pengelolaan keuangannya sendiri. Jelas, karena menarik biaya kuliah dari mahasiswa adalah cara yang paling cepat untuk menutupi kebutuhan yang dituntut oleh target-target tersebut, meskipun dengan konsekuensi menutup akses yang lebih luas bagi setiap orang memperoleh pendidikan sebagai hak dasarnya.
Meruntuhkan Menara Gading Universitas sebagai Instrumen Ideologis Kelas yang Berkuasa
Di periode sekarang, liberalisasi pendidikan tinggi telah membuat universitas sibuk mengejar reputasi prestisius melalui label “Kelas Dunia” hanya untuk berkompetisi di pasar pendidikan. Namun, reputasi kelas dunia sejatinya tak lebih dari sebuah “penanda kosong” yang mengeksploitasi fantasi sosial masyarakat — seolah-olah dengan label itu berarti kampus memiliki kualitas yang diperlukan untuk mengembangkan kapasitas berpikir mahasiswanya. Masalahnya, sebagai institusi yang memonopoli dan memproduksi informasi, tentu akan lebih murah bagi perguruan tinggi memoles citranya dengan menjual gimik (kemasan) ketimbang benar-benar memperbaiki kualitasnya. Melalui proses analisis, kita bisa melihat bahwa apa yang ada dibalik label kelas dunia hanyalah birokrasi kolot yang menjalankan bisnis seperti biasanya. Universitas pada akhirnya hanya berfungsi untuk mencetak mahasiswa sesuai dengan citra subjek neoliberal: seorang enterpreneur yang bisa melakukan inovasi bisnis dan teknologi sesuai dengan kebutuhan pasar global.
Dihadapkan pada persoalan semacam itu, filsuf seperti Martha Nussbaum mengajukan sebuah proposal untuk merestorasi kembali ilmu kemanusiaan (humanities) di perguruan tinggi yang mulai digantikan prioritasnya oleh disiplin ilmu vokasional. Sebab, ilmu kemanusiaan dianggap sebagai prasyarat untuk memastikan mahasiswa dapat memiliki keterlibatan politik yang luas, agar mesin demokrasi bisa tetap berjalan dengan baik di tengah fetisisme terhadap pertumbuhan ekonomi yang vulgar.
Terkait hal tersebut, kami tidak berbagi optimisme yang sama, karena meskipun sastra, filsafat, ilmu sosial — yang kontras dengan disiplin ilmu vokasional — masih diajarkan di universitas, bukan berarti itu berkorespondensi dengan terbangunnya infrastruktur berpikir yang diperlukan untuk mengkultivasi pemikiran kritis mahasiswa di dalam struktur ideologi yang dominan hari ini. Pasalnya, rasio praktis dan etika bukan sekadar produk pembelajaran dari buku teks atau ruang kelas, melainkan hasil dari praktik konkret di situasi konkret. Ini perlu dipahami, karena “memiliki pengetahuan” tidak sama dengan “berkompeten dan berintegritas untuk menjalankan pengetahuannya”, sebagaimana politisi yang membaca John Rawls, tidak serta-merta memiliki komitmen terhadap keadilan.
Kita semakin baik dalam mengambil pilihan dan keputusan (“domain etik”), bukan karena sekadar memiliki seperangkat pengetahuan teoretis tentang logika atau mengetahui bentuk-bentuk kesesatan berpikir, melainkan karena terlibat langsung dalam proses deliberasi atas keputusan dan pilihan yang diambil. Bahkan sejak era antikuitas, Aristoteles menolak penegasan Sokratik semacam ini di dalam dialog Protagoras: bahwa seseorang memiliki kebajikan (virtue) karena pengetahuannya, dan sebaliknya menjadi buruk karena defisiensi pengetahuan. Ada supremasi praktik yang menjadi faktor komplementer dari teori di sana sebagai prasyarat dari pengetahuan yang baik.
Jelas, kampus yang membuat kebijakannya berlandaskan model bisnis dan mengukur kualitasnya secara mekanis tidak bisa mengkuantifikasi aspek-aspek seperti ini. Akibatnya, agensi deliberatif yang diperlukan sebagai syarat mengembangkan pemikiran kritis telah dibatasi oleh struktur yang ada. Sulit untuk membayangkan mahasiswa ilmu politik yang membaca teks filsafat politik modern akan menjadi ilmuwan politik yang berintegritas, jika kampus mengukur kualitas pembelajaran utamanya dari seberapa banyak mereka mencetak jumlah mahasiswa yang berwirausaha.
Alih-alih menyediakan ruang yang inklusif untuk belajar, kampus lebih mendorong mahasiswa untuk fokus saja pada kegiatan-kegiatan yang menjaga nama baik dan memberi citra positif pada kampus (seperti pernyataan Made Sudarma, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan di Tempo ketika kampus membubarkan diskusi). Bahkan kampus membuat aturan prosedural dan perizinan yang rumit untuk berkegiatan (termasuk membuka ruang diskusi). Kampus seperti mengulangi kembali kebijakan NKK/BKK di periode Soeharto, bahkan birokrasi kampus tidak mempersoalkan ketika aparat masuk ke dalam kampus untuk mengawasi diskusi, bahkan menurut WR III — dalam audiensi yang pernah kita lakukan — hal tersebut tidak masalah jika seandainya itu bisa mengganggu keamanan negara.
Hasilnya, semua teori yang dipelajari di ruang kelas hanya menjadi hafalan, namun akses untuk menempa pemahaman tersebut di dalam praktik konkret menjadi sangat terbatas, karena kampus hanya mengejar target yang telah ditentukan oleh indikator pembelajarannya yang bermasalah. Akibatnya, banyak sekali bakat-bakat brilian yang terbuang sia-sia, yang setelah lulusnya hanya menjadi pekerja rentan yang diupah murah. Mereka yang sedikit memiliki modal sosial, paling banter menjadi anggota DPR, staf presiden, atau yang paling payah adalah akademisi istana — akademisi yang pengetahuannya diabdikan untuk mempertahankan penindasan, persis seperti akademisi Unud yang menjadi bagian dari satgas penyusun draft Omnibus Law yang menyengsarakan rakyat luas.
Disini kita dihadapkan pada beberapa imposibilitas: meskipun kampus dalam hal ini tetap mengajarkan filsafat, sastra, dan ilmu sosial lainnya, namun pengajaran itu hanya akan dilakukan selama disiplin ilmu tersebut dicerabut dari dimensi emansipatorisnya dan hanya difungsikan sebagai “penanda mengambang” yang menyokong proyek ekonomi-politik kelas yang berkuasa. Selanjutnya, karena kedekatan kampus dengan pemerintah dan industri privat, maka peran pendidikan sebagai proyek politis dalam kerja-kerja pembebasan tidak bisa diambil alih oleh perguruan tinggi sebagai sebuah institusi. Lalu, apa yang tersisa dari ini semua? Apa yang harus dilakukan?
Sebelumnya, kita perlu menyadari bahwa neoliberalisme bukan lagi sekadar sebuah teori ekonomi yang partikular, melainkan sebuah weltanschauung yang merekonfigurasi seluruh relasi sosial di masyarakat sampai ke sektor yang paling fundamental seperti pendidikan hanya untuk kebutuhan akumulasi laba. Jika dahulu universitas berperan untuk melakukan diseminasi pengetahuan kepada generasi yang telah dan akan datang, sekaligus melakukan preservasi korpus pengetahuan untuk membebaskan pikiran manusia dari belenggu mitos, di horizon sejarah saat ini pendidikan direduksi lebih jauh lagi hanya sebagai korporasi yang memproduksi tenaga kerja untuk kebutuhan industri.
Ini bukan berarti bahwa mengorientasikan pendidikan untuk tujuan vokasional (industri) adalah sesuatu yang secara inheren keliru, karena tidak bisa dipungkiri bahwa transformasi historis 200 tahun belakangan adalah produk dari kerja-kerja industrial, sains, dan teknologi. Akan tetapi, “kemajuan teknokratik” seperti ini selalu menyisakan residu yang menggilas banyak manusia, yang digambarkan secara jelas oleh aforisme Walter Benjamin: “tak ada dokumen peradaban yang disaat bersamaan bukan dokumen barbarisme”. Karena “kemajuan” yang kita nikmati selalu membutuhkan tumbal manusia, dan di dalam masyarakat kelas, yang menjadi kurban pasti selalu adalah orang-orang yang berada di kelas sosial yang rendah (buruh, petani, dan orang-orang miskin lainnya).
Bukankah dalam setiap ikan laut yang kita santap tidak hanya mengandung protein, namun juga mengandung keringat dan darah para nelayan dan pekerja miskin di geladak-geladak kapal yang diperbudak dengan upah rendah? Bukankah di setiap cangkir kopi yang kita minum juga tersimpan jejak-jejak jari berdarah dan punggung terbakar matahari petani dan pemetik kopi di Aceh, Toraja, dsb? Bahkan gawai bermerek yang kita pakai, di dalamnya ditanam berbagai mineral yang mengandung sekian darah korban manusia dalam eksploitasi penambangannya di Congo, dan sebagainya, dan seterusnya.
Pada konteks inilah mengembangkan pendidikan sebatas dalam paradigma teknokratik justru mengabaikan dimensi keadilan yang luas dalam prosesnya. Kita bukanlah kaum ludite modern yang menolak kemajuan (globalisasi), hanya saja “efek samping” yang dibawa oleh kemajuan ini hanya menguntungkan segelintir kelas: di tataran global, imperialisme membentuk struktur kerja sama internasional yang asimetris dan eksploitatif yang hanya menguntungkan negeri imperialis sebagai makelar dan merugikan negeri-negeri berkembang seperti Indonesia. Jika dahulu kolonialisme dijalankan secara vulgar, hari ini penjajahan berjalan secara tidak langsung melalui mekanisme investasi dan hutang yang harus diikuti dengan berbagai penyesuaian struktural (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi) — atau yang disebut sebagai kondisi setengah jajahan (semi-kolonial).
Di dalam negeri, Indonesia masih harus menghadapi tantangan untuk mentransformasikan corak ekonominya yang masih sarat dengan faktor produksi agraris, yang juga terhambat karena masih eksisnya tuan tanah besar yang memonopoli tanah dan melakukan proses akumulasi primitif feodal, sehingga memiskinkan banyak sekali petani miskin dan/atau buruh tani di pedesaan yang kemudian menghancurkan potensi sumber daya manusia yang besar. Secara politik, karena gerakan rakyat yang sangat lemah, tidak ada daya tawar yang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan secara fundamental dihadapan kapitalis-birokrat (pejabat yang membuat regulasi untuk mempertahankan eksploitasi kelas — eksekutif dari kelas yang berkuasa).
Dari uraian tersebut, kita bisa menarik benang merahnya, bahwa penindasan membutuhkan aparatus reproduksi sosial yang berada di wilayah kultural (domain universitas/pengetahuan) untuk mempertahankan kekuasaannya. Akan tetapi, reproduksi sosial ini tidaklah berdiri sendiri, melainkan berjangkar pada basis material yang konkret (wilayah ekonomi yang telah selalu politis).
Oleh sebab itulah, kampus menjadi arena perjuangan yang penting, sehingga menggalang persatuan di mahasiswa menjadi urgensi yang paling utama dalam skala lokalitas. Akan tetapi, ia tidak boleh terpisah dari arena perjuangan rakyat yang lebih luas (terutama di desa dan pabrik, di mana penindasan terjadi dengan vulgar), karena persoalan yang dihadapi mahasiswa hanyalah satu dari sekian gejala dari masalah yang lebih kompleks yang juga dihadapi oleh rakyat yang lainnya. Pada konteks ini, perangkat analisis menjadi penting, karena persatuan yang serius haruslah persatuan yang didasari oleh prinsip dan program perjuangan yang tepat, baik dalam skala kampus ataupun dalam bentuk perjuangan yang lebih luas.
Disini penting untuk kembali mengulangi slogan mahasiswa di Prancis pada tahun 1968: “Jadilah realistis, perjuangkan yang tidak mungkin.” Karena persoalannya, kita berada dalam kontur sejarah di mana membayangkan akhir dunia terasa lebih realistis ketimbang menghancurkan penindasan. Oleh sebab itulah, tanpa keyakinan yang besar tentu saja tidak akan hadir politik yang akbar. Dan politik yang akbar bukan hanya sekadar advokasi namun juga perkara keberanian untuk meruntuhkan menara gading untuk terlibat berjuang bersama dengan rakyat tertindas lainnya.***
Referensi
Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.
Ahmad, Panji M. 2018. Kuliah Kok Mahal?. Yogyakarta: Best Line Press.
Hazelkorn, Ellen. 2011. Rankings and the Reshaping of Higher Education. Palgrave Macmillan.
Ibsen, C. L., & Thelen, K. 2017. “Diverging Solidarity”. World Politics: 69(03), 409–447.
Shattock, M. 2016. “The world class university and international ranking systems: what are the policy implications for governments and institutions?”. Policy Reviews in Higher Education: 1(1), 4–21.
Amsler, S. S., & Bolsmann, C. 2012. “University ranking as social exclusion”. British Journal of Sociology of Education: 33(2), 283–301.
World Bank Group. 2019. World Development Report: The Changing Nature of Work. http://documents.worldbank.org/curated/en/816281518818814423/2019-WDR-Report.pdf
Publikasi ini ditulis secara kolaboratif oleh Rangga Justitia L. (Anggota SDMN Universitas Udayana) dan Visa Insan Prawiranegara (Ketua USC).