Kapan Terakhir ke Dapur?

Irma Sitompul
Bentala — Earth Conscious Living
5 min readOct 28, 2018

Tiap kali kamu pesan makanan delivery atau makan diluar, pernah nggak sih kamu berpikir, “apa aja ya, yang ada di makanan gue?” Saya sendiri tadinya ngga pernah kepikiran, sampai saya nonton Netflix series-nya Michael Pollan yang judulnya Cooked di awal 2017 kemarin.

Di seri dokumenter ini, Michael Pollan yang adalah seorang jurnalis & aktivis, berulang kali bilang bahwa industri makanan saat ini nggak melihat aspek kesehatan sebagai salah satu elemen penting dalam bagaimana mereka memproses dan menyiapkan makanan untuk kita para konsumen. Mereka kebanyakan lebih mementingkan bagaimana supaya usaha mereka bisa lebih efisien.

Maksudnya?

Ya, seperti prinsip ekonomi mendasar, gimana caranya menekan biaya agar usahanya bisa memberikan keuntungan. Nah, dalam kasus industri makanan, biasanya yang dikorbankan adalah kualitas bahan-bahan pangan yang digunakan.

Kebanyakan pelaku industri makanan saat ini lebih memilih membeli bahan-bahan makanan beku atau kalengan, karena lebih murah dan bisa disimpan lebih lama dibandingkan dengan makanan segar.

Makanan beku atau kalengan kebanyakan sudah melalui banyak sekali tahap pemrosesan dan mengandung zat kimia yang nggak baik buat tubuh kita kalau kita konsumsi terus menerus. Beberapa yang paling umum digunakan adalah sodium benzoat dan natrium benzoat yang bisa memicu tumbuhnya sel kanker.

Sumber: Food Manufacture

Contoh lainnya, kebanyakan rumah makan (terutama yang cepat saji) biasanya lebih memilih menggunakan minyak yang mengandung lemak jahat atau trans fat karena lebih tahan panas dan bisa digunakan berulang kali (hint: untuk memangkas biaya). Coba deh google gimana bahayanya lemak trans. Lumayan nyeremin sih.

Makan Di Luar Mendorong Konsumerisme
Salah satu isu yang paling saya khawatirkan dari hilangnya tradisi memasak adalah konsumerisme. Eeek, berat banget ya kayaknya pembahasannya..

Tapi, coba dipikir-pikir deh, bisa jadi ngga sih dengan semakin dimudahkannya kita mengakses makanan, dengan tren pesan-antar online yang semakin merajalela misalnya, kita semakin ‘dibiasakan’ untuk menjadi konsumen pasif? Konsumen yang impulsif, yang lebih mengkonsumsi apa yang kita mau, bukan apa yang kita butuhkan; memakan apa yang enak, bukan apa yang sehat.

Yang lebih parah lagi, bisa juga nantinya kita jadi lupa bahwa kita punya kemampuan untuk membuat dan menyiapkan makanan kita sendiri.

Hal-hal kaya gini secara nggak langsung bisa mempengaruhi emotional wellbeing kita loh sebenarnya. Sebagai spesies yang memiliki kemampuan kognitif paling progresif dan kompleks, manusia punya aspirasi untuk selalu menjadi individu yang berguna dan berkemampuan. Nah, dengan semakin dimanjakannya kita dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan berkonsumsi, bisa jadi kita kehilangan motivasi-motivasi tersebut.

Konsumerisme pun bisa menambah tekanan hidup, dimana kita jadi selalu dirongrong oleh keinginan untuk terus membeli dan memiliki — termasuk dalam mengkonsumsi makanan. Akibatnya? Hidup jadi penuh stress karena kita selalu ngerasa nggak pernah cukup.

Memasak itu berfaedah
Interestingly, kegiatan memasak ternyata punya efek sebaliknya. Di beberapa negara, kegiatan memasak sudah digunakan sebagai alternatif pengobatan untuk mengatasi berbagai kondisi mental, seperti depresi, kegelisahan dan adiksi. Di zaman yang segala sesuatunya super cepat dan penuh kesibukan, memasak membantu mengurangi dan mengembalikan keseimbangan pace hidup kita. Memasak juga membantu memberi makna dalam keseharian kita. Jadi, istilah ‘memasak adalah terapi’ ternyata ada benarnya juga ya.

Saya juga menemukan bahwa memasak baik buat kesehatan otak kita. Aktifitas seperti merencanakan mau masak apa, persiapan bahan makanan dan ber-multitasking membantu mengaktifkan fungsi eksekutif otak kita.

“Executive functions test our ability to organize, prioritize, sustain focus, solve problems, retrieve memories and multitask,” -Marwan Sabbah, Cleveland Clinic

Nah, buat yang ngerasa perlu ningkatin motivasi atau perlu ngelatih otak, banyakin masak-memasak deh di rumah.

Memasak baik untuk lingkungan
Dengan semakin tingginya demand masyarakat terhadap makanan murah dan cepat saji, industri pangan saat ini lebih fokus untuk memproduksi bahan makanan berkalori tinggi yang rendah biaya dan cepat panen, termasuk produk-produk hewani. Dampaknya, lagi-lagi kualitas menjadi dinomorduakan.

Sumber: Culinary Medicine School

Perkebunan lebih memilih berpraktik monokultur dan menggunakan pestisida dengan segala bahan kimia berbahayanya untuk meningkatkan jumlah produksi mereka sebanyak-banyaknya. Hewan-hewan seperti unggas dibesarkan dalam pabrik dan diberikan berbagai obat kimia dan hormon untuk mempercepat pertumbuhan mereka.

Semua zat-zat ini menyusup ke dalam tanah dan merusak kualitas tanah kita. Dengan rusaknya kualitas tanah, semakin banyak pupuk kimia dan pestisida yang dibutuhkan untuk membuat bahan pangan kita, semakin banyak juga racun yang terkandung dalam bahan makanan tersebut, dan begitu seterusnya siklus berbahaya ini berlanjut.

Dari sini, udah jelas yang menjadi korban siapa, ya kita semua para konsumen yang ‘terpaksa’ mengkonsumsi bahan pangan yang sudah terkontaminasi dengan berbagai zat berbahaya tersebut.

Lalu apa bedanya dengan memasak makanan sendiri? Kan sama aja bahan pangannya sudah terkontaminasi. Menurut saya jelas banget perbedanya.

Dengan memasak makanan kita sendiri, kita punya kesempatan untuk memilih apa yang akan masuk ke badan kita. Kita bisa memilih dari mana kita mau membeli bahan makanan kita dan bagaimana menyiapkannya.

Dengan kita memasak dan membeli bahan pangan sendiri, kita juga bisa membantu menciptakan demand baru terhadap produk pangan yang lebih berkualitas. Istilah bekennya ‘vote with your wallet’.

Memang saat ini bahan pangan organik masih lebih mahal harganya dibanding non-organik, tapi sekarang makin banyak loh masyarakat yang passionate terhadap isu ini dan membentuk komunitas-komunitas yang mendukung petani kita untuk kembali berpraktik ramah lingkungan.

Dan jangan salah, ngga semua penduduk di luar kota besar ngga punya akses terhadap sayur dan produk hewani organik. Justru mereka biasanya berkebun dan memelihara hewan pangannya sendiri dan ngga menggunakan hormon untuk mempercepat pertumbuhan hewan mereka. :)

Nah, buat kita orang perkotaan, kita punya kekuatan untuk membuat demand tersebut, sehingga nantinya bahan pangan berkualitas jadi bisa diakses oleh semua orang.

PS. Saya akan membahas mengenai komunitas-komunitas organik di blog berikutnya.

Mulai sekarang, coba deh sekali-sekali kasih badan kita istirahat dari mengkonsumsi makanan yang nggak terlalu baik kualitasnya. Niatkan untuk sesekali masak makanan sehat di rumah, idealnya di hari yang nggak terlalu sibuk seperti di akhir pekan. Daripada ke mall lagi, ya ngga? Karena selain baik buat badan & mental, memasak makanan sehat juga ternyata bisa membantu menjaga bumi kita ini supaya tetap liveable buat anak-cucu kita.

Kalau bingung mau bikin apa, youtube aja resep-resep masakan simple. Favorit saya adalah ‘Quick and Easy’ & ‘5 Ingredients’-nya Jamie Oliver. Selamat memasak!

--

--