Agile Organization: Jangan Kayak Kodok!

Menjadi Organisasi Lincah di Lingkungan yang Dinamis

Ilham Muzakki
Beranda Pagi
4 min readJul 30, 2019

--

Pertanyaan pertama dalam melanjutkan membaca apapun di kepala Anda pasti: mengapa membahas hal ini menjadi penting?

Saya akan paparkan alasannya.

Menjadi sesuatu yang sering digaungkan oleh orang-orang bahwa kini lingkungan semakin dinamis, cepat berubah. Kebutuhan akan agile menjadi semakin tinggi untuk tetap bisa bertahan dan tak dimakan oleh zaman. Kepekaan terhadap perubahan lingkungan menjadi sesuatu yang harus, bukan lagi sebuah kelebihan.

Kalau meminjam ilustrasi bapak rektor yang disampaikan pada wisuda juli ITB kemarin, “jangan seperti kodok”. Kodok tidak tahu ketika ditempatkan di tempat yang dingin, juga tidak tahu jika ia ditempatkan di tempat yang panas. Ketika dipanaskan di suhu 100 derajat celcius, tahu-tahu sudah meleleh badannya menjadi swike.

Ibarat kita, yang tidak tau lingkungan sudah berubah, tapi tetap begitu-begitu aja. Udah tau metodenya sudah mati ditelan zaman, gak cocok lagi, gak efektif, gak menghasilkan apa-apa, masih dipake. Udah tau bentukan organisasinya kagak enak lagi dijalanin, bikin orang gak nyaman, tetep juga dipake. Kenapa sih?

Mari kita berdiskusi seputar ini.

Di awali… AGILE!

Sebenarnya apa sih situasi yang membuat sebuah organisasi semakin butuh kelincahan yang tinggi?

Pertama-tama, sudah pasti perkembangan teknologi, khususnya terkait alur informasi yang semakin cepat, memengaruhi sikap individunya, bagaimana setiap orang melakukan sebuah keputusan, membuat sebuah perspektif. Hal itu akan berpengaruh juga terhadap bagaimana manusia berinteraksi dengan setiap orangnya. Manusia beserta interaksi-interaksinya merupakan komponen yang penting pada sebuah organisasi. Bagaimana pola mereka beraktivitas, lama-lama akan menjadi kebiasaan dan menjadi sebuah budaya baru di organisasi. Oleh karena hal-hal seperti ini perlu diperhatikan. Apakah sebuah organisasi akan mewadahi perubahan pola beraktivitas tersebut atau tetap berpegang teguh terhadap metode lama? Tak ada yang salah. Masing-masing menghasilkan kondisi yang berbeda.

Namun dalam konteks ini, saya akan mengusulkan untuk bisa mengikuti bagaimana pola perilaku manusia berubah. Jangan sampai ketinggalan.

Kebanyakan organisasi di kampus menerapkan ‘digital-way’ hanya dari metode ‘kulit-nya’ saja. Soal publikasi lah, cara mengajak berkumpul, cara menjalankan sebuah acara, dan lain-lain. Tidak sampai ke sistem organisasi secara keseluruhan.

Banyak yang belum berani mengubah sistem reward/compensation, assessment, people development, management, sistem kerja, mengubah cara pandangnya. Banyak organisasi justru jadi tanggung. Ibarat bapak-bapak mau gaul ama anak muda, tapi yang diganti pakaiannya aja, jadinya social awkward. Mau masuk ke generasi muda, tapi jiwanya tidak muda.

Jadi harus gimana buat agile?

Belajar! Belajar mengidentifikasi situasi, belajar peka, tiap hari dan tiap saat harus ngerti kondisi lingkungan kayak gimana. Jangan cuman menjalankan perencanaan di awal tanpa tau bahwa lingkungannya berubah. Kayak kodok.

Belajar bukan cuman dari buku dan literatur lain. Tapi bahan pelajaran bisa ada di sekitar kita. Tinggal kemauan kita membuka pikiran dan siap menerima apa yang orang lain atau bahkan sebuah peristiwa ajarkan.

Genchi Genbutsu, “pergi dan lihatlah sendiri!”, bisa menjadi salah satu konsep yang diterapkan. Pemimpin atau siapapun yang bertanggung jawab dan punya kewenangan dalam membuat regulasi di dalam organisasi perlu melakukannya. Melihat langsung ke tempat permasalahan terjadi.

Kalau dalam konteks organisasi kampus, pemimpin merasakan sendiri apa yang dirasakan anggota-anggotanya.

Jangan diem-diem aja dan malah menyalahkan “tidak professional”/”tidak komitmen”/”tidak ada kekeluargaannya” ketika anggotanya kabur dan males rakoor. Pasti ada alasannya. Cari tau dulu, secara langsung.

Cara mendekatinya juga harus beda. Gabisa kayak menghakimi dateng-dateng langsung nanya-nanya. Harus ngerti gimana orang mau diperlakukan.

Lagian sekarang sudah bukan zamannya lagi birokrasi berbelit-belit, organisasi sampe 3 bahkan 4 lapis, pemimpin cuman tau kondisi di bawah dari laporan pimpinan departemen. Gak harus sering untuk ke ‘bawah’, tapi jangan sampe buta juga apa yang sebenarnya dirasain. Kita harus rasain pengalaman orang-orang gimana melewati sebuah sistem kita. Jangan cuman pengen tau titik 0-nya di mana, terus sekarang hasilnya gimana.

Pendekatan secara ramping. Kembali lagi saya sebut. Ini juga mendukung konsep yang di atas.

Kalau mau mengubah sampe sistem organisasinya, mungkin bisa diterapkan flat structure. Di mana struktur dari atas ke bawah gausah banyak levelnya.

Atau menerapkan boundaryless organization untuk mendukung terciptanya learning organization. Spesialisasi tiap tetep orang ada, tapi gak dibatasi kontribusi tiap orang mau di pekerjaan yang mana aja, begitu juga dengan alur informasi yang gak dibatasi. Dibuka aja semuanya, bagaimana divisi dan departemen lain dapet masalah dan menyelesaikannya, semua anggota bisa tau.

Lingkungan ini akan mendukung individu-individunya untuk belajar banyak hal, sehingga bisa juga untuk mendukung lajunya performance organisasi tersebut. Asal dikelola dengan baik ya. Mungkin untuk lebih jelasnya, bisa dibaca tulisan saya tentang: Learning Ecosystem.

Pendekatan yang ramping juga bisa diimplementasikan dengan membuat proses bisnis yang lebih pendek, gausah panjang-panjang berbelit-belit. Kurangi aktivitas-aktivitas yang sebenernya gaperlu atau bisa saling digabungin. Pertimbangkan banyak hal setiap mau assign orang untuk melakukan sebuah tugas. Kita tidak bisa berpegang pada “kalau professional, pasti dikerjain”, walaupun kalau dari sisi yang dikasih tugas, kita harus tetep junjung tinggi professionalisme. Tapi dari sisi yang ngasih tugas, gak gitu.

Intinya bisa fleksibel dan mau diubah kapanpun, ketika lingkungannya udah mulai lembam, gak menghasilkan apa-apa. Harus mau ubah rencana, bahkan kalau bisa udah siap dengan rencana. Selalu terima feedback dari aksi yang kita lakukan, pelajari, improve. Kalau dalam Deming Cycle, PLAN-DO-CHECK-ACT, dan siklus ini di masa sekarang ini perlu dijalankan secara ramping dan cepat.

Ini nulis gini-ginian sesederhana gamau kemahasiswaan di kampus ditinggalkan mahasiswanya itu sendiri. Banyak banget yang bisa diambil dan itu yang justru bisa jadi added value buat para mahasiswa. Tapi gamau nyalahin mahasiswa-nya yang mulai ninggalin, gabisa. Kita harus benahi sistemnya.

--

--

Ilham Muzakki
Beranda Pagi

A writer who shares stories from his life and work. Passionate about organization and personal development.