Fokus Perencanaan Strategis Berbasis Objektif

Mengapa kita harus berganti menjalankan organisasi dari yang fokus proker-based menjadi objective-based

Ilham Muzakki
Beranda Pagi
10 min readMay 16, 2020

--

Suatu saat saya pernah datang pada suatu acara. Laporan pertanggungjawaban namanya. Di saat setiap orang mempresentasikan bagaimana capaian dari pekerjaannya. Apakah sudah sesuai dengan rencana yang dibuat atau belum. Kata orang sih, sering jadinya sebuah ajang pembantaian, padahal tujuan luhur lain dari LPJ ini ada yang lain bagi saya, yakni transfer knowledge untuk pengurus organisasi selanjutnya.

Pada saat itu beberapa orang mempresentasikan bagaimana program kerja dan fungsi kerjanya tercapai. Ketercapaiannya sendiri dihitung dari parameter program kerja yang sudah dibuat. Beberapa parameter program kerja diawali dengan, “terlaksananya program xxx sebanyak xxx, jumlah partisipasi 70% dari total lembaga, melakukan rapat koordinasi sebanyak…, adanya dokumen lpj, dll”.

Awalnya mungkin tidak aneh karena hal tersebut memang mudah dihitung dan tujuannya sendiri memang mengukur ketercapaian program kerja. Namun kalau kita berhenti dan renungkan sedikit, apakah program-program kerja tersebut benar-benar menjawab tujuannya?

Yaiyalah kan udah dimukerin, massa udah pada setuju, berarti pelaksanaan proker ini sudah menjawab kebutuhannya”. Benarkah?

Photo by fauxels from Pexels

Apakah jumlah pelaksanaan fungsi kerja menandakan bahwa orang-orang benar terlayani dengan baik oleh kita? Apakah jumlah kehadiran benar-benar dapat mengukur keberdampakan yang dilakukan dari suatu kajian atau suatu kaderisasi? Apakah rapat koordinasi selalu menjadi jawaban dari masalah miskoordinasi?

Jangan-jangan selama ini ketercapaian 100% hanya sebuah fatamorgana? Justru malah jadi bahaya karena menunjukkan kondisi atau capaian yang kurang tepat. Seperti melihat google maps, menunjukkan posisi yang salah, diliatinnya kita udah sampe, terus yaudah kita puas diri. Padahal posisi kita belum dekat dengan tujuannya, atau bahkan melenceng.

Atau justru ketika prokernya dilaksanakan sekali, ternyata udah cukup. Kegiatan-kegiatan selanjutnya malah nambah-nambah aktivitas saja. Tapi gara-gara di awal ditetapkan harus berapa kali, jadi ngejar-ngejar kuantitas pelaksanaannya. Padahal kan bisa sumber dayanya dialihkan ke yang lain.

Jangan-jangan selama ini kemahasiswaan kita kurang relevan karena key metrics-nya sendiri, gak bisa menunjukkan kerelevanannya?

Dalam pembahasan kali ini kita mengasumsikan bahwa setiap orang akan berfokus pada tujuan yang sudah ditentukan. Kalau tidak, apa esensinya juga sudah dilakukan perencanaan strategis, kalau bukan itu yang harusnya dijadikan patokan dalam melaksanakan organisasi.

Tentu saja untuk membenarkannya, terdapat model human behavior dari Rasmussen (1983) yang dapat menjelaskan bagaiman goals mempengaruhi manusia dalam melakukan tugasnya.

Diambil dari Stassen et al., 2003

Oleh karena itu setting goals yang tepat itu penting.

Kalau dibaca sub judul tulisan ini, kita akan membahas mengapa harus berganti dari proker-based menjadi objective-based (dalam melakukan musyawarah kerja), serta mengapa hal itu penting untuk dipikirkan.

Mari kita bicarakan dulu terkait perecanaan berbasis proker

Perencanaan berbasis proker kali ini dianggap sebagai kondisi existing. Begitu juga dengan perencanaannya yang rigid, di mana setelah direncakan, biasanya tidak coba dievaluasi kembali.

Ketika melakukan perencanaan strategis berbasis proker, pertama-tama yang dilakukan yakni membuat visi, misi, objektif, lalu strateginya apa (biasanya berbentuk proker dan fungker). Lalu proker dan fungker tersebut dirincikan kembali sampai akhirnya keluar parameter ketercapaian fungker dan proker. Anggota organisasi fokus kepada parameter tersebut karena hal tersebut yang dihitung dan akhirnya dianggap memenuhi objektifnya.

Gambar sendiri

Pertanyaannya, apakah benar-benar parameter tersebut mengukur objektifnya?

Beberapa dampak negatif yang ditemukan ketika menggunakan perencanaan berbasis proker:

  • Terlalu jauhnya parameter dalam mengukur objektif yang dibuat. Strategi bisa tercapai, namun belum tentu memenuhi objektifnya.
  • Anggota organisasi terlalu fokus dalam memenuhi parameter proker karena itu goals yang ditetapkan kepada anggota organisasi tersebut.
  • Perencanaan di awal yang sudah cukup rinci semakin menyempitkan ruang untuk berkreasi bagi anggota dalam memenuhi objektif organisasi.
  • Pemenuhan objektif hanya dirasakan oleh stakeholder. Anggota organisasi biasanya hanya merasakan bahwa dirinya sudah membantu menyukseskan strategi, namun belum sampai berdampak pada skala organisasi.

Namun tentu saja, pasti ada dampak positifnya:

  • Perencanaan cukup rinci, membantu memperjelas apa yang akan dilakukan oleh anggota organisasi.
  • Perencanaan lebih tangible, tidak mengawang-ngawang.
  • Anggota organisasi tinggal melaksanakan yang sudah stakeholder rancang.
  • Parameter dan alat ukur cukup mudah.

Mungkin ada lagi yang bisa teman-teman tambahkan. Namun jika disimpulkan, perencanaan berbasis proker ini memang mudah dilaksanakan dan cukup bisa dibilang tangible, serta rinci.

Mari kita bicarakan perencanaan strategi berbasis objektif

Sebenarnya alurnya sama, membuat visi dan misi, lalu ke objektif. Di sini parameter pengukuran diturunkan langsung dari objektifnya. Strategi mengikuti pemenuhan parameter tersebut.

Gambar sendiri

Strategi sebagai cara untuk memenuhi parameter dan objektif. Jika parameter dan objektifnya tidak tercapai? Ya strateginya ganti. Hal ini memungkinkan untuk anggota organisasi lebih fokus terhadap objektif yang sudah disepakati.

Penyepakatan saat musyawarah kerja bukan di proker dan fungker, tapi di objektif dan parameternya. “Ini yang kita kejar!”

Bahkan jika maupun, strategi bisa disampaikan sebagai ‘modal awal’, bahwa pengurus organisasi sudah punya bayangan untuk memenuhi objektifnya. Namun seiring dengan waktu, terdapat input eksternal, perubahan lingkungan (yang sangat sering sekali pada saat kondisi seperti ini), pembacaan tentang objek yang semakin baik, perubahan kapasitas internal, maka strategi akan bisa lebih menyesuaikan.

Dengan cara ini, dampak positif yang didapatkan:

  • Penyesuaian strategi yang lebih leluasa yang bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
  • Fokus kepada objektif, anggota organisasi akan mencari cara lebih kreatif untuk memenuhi objektifnya. Ruang berkreasi lebih banyak. Akan lebih banyak cara yang dilahirkan dalam berorganisasi. Gak gitu-gitu aja.
  • Fokus kepada parameter objektif, strategi cenderung dibuat untuk memenuhi parameter objektif. Sehingga ketika objektifnya “mencerdaskan massa”, parameternya bukan “massa hadir 80% di kegiatan sosialisasi”, tetapi “80% merasa terasa tercerdaskan”.

Tapi kan “merasa-merasa itu tidak bisa diukur dengan jelas?” di sini lah mungkin salah satu kelemahannya (atau kesulitan). Beberapa dari dampak negatifnya:

  • Alat ukur cukup sulit dan key metrics mungkin sulit diukur. Padahal sebenarnya bisa saja jika kita mau belajar lebih terkait questionnaire design dan belajar terkait perspektif manusia.
  • Bisa jadi akan banyak perubahan dalam perencanaan strategi yang akan membingunkan objek. Padahal asal dikomunikasikan dengan jelas mengapa alasan perubahannya dan ternyata hasilnya lebih efektif atau efisien dalam memenuhi objektifnya, ya malah lebih bagus.
  • Tidak rinci, kadang bisa terlalu mengawang-ngawang, mungkin tidak cocok untuk anggota yang pengennya dikasih arahan secara direct. Fleksibel sebenernya, bisa aja parameter dibuat direct melaksanakan strategi tertentu. Tapi tetep ini melatih orang untuk berpikir kreatif juga kan.

Namun di saat melakukan evaluasi bisa menjadi lebih jelas. Kita ini sudah benar-benar memenuhi objektif kita belum ya? Apakah sudah cukup mencerdaskan? Sudah cukup melayani dengan baik? Sudah cukup terkoordinasi dengan baik?

Sehingga LPJ bukan hanya ajang pembantaian, tapi benar-benar melihat kondisi organisasi dari key metrics dan menjadi ajang evaluasi mengenai strategi yang sudah dilaksanakan. Apakah sudah cukup efektif dan efisien untuk memenuhi objektifnya?

Tugasnya akan sangat banyak sekali untuk mempelajari key metrics yang sesuai. Ini perlu tenaga ekstra. Namun sebenarnya tetap bisa dipelajari. Karena kalau parameternya di objektif, udah gabisa pake parameter “terlaksana, partisipasi, dll” lagi.

Berbicara tentang key metrics, sebenarnya selama ini kita bisa mengukur pekerjaan kita sudah bagus atau belum (ya iya). Bukan hanya dari kuantitas atau produktivitas hasil pekerjaannya. Melainkan juga kualitasnya.

Itulah mengapa ada bidang ilmu yang mempelajari Quality. Alasannya untuk menetapkan apakah kualitas pekerjaan yang kita lakukan sudah baik atau belum. Di mana sisi improvement-nya.

Salah satu yang bisa dipelajari berkaitan dengan kualitas yakni SERVQUAL. Di mana memetakan kualitas dari suatu pelayanan, atribut-atributnya dapat dilihat di bawah.

SERVQUAL source: marketingstudyguide.com
(Caroll et al., 2017)

Sehingga yang diukur bukan kuantitas dari pelaksanaan pelayanan (sudah dilakukan berapa kali atau belum), tapi fokus pada pengukuran kualitas dari pelayanannya. Sehingga improvement bukan hanya semakin banyak melayani orang atau terlayani atau tidak, tapi juga kualitas pelayanannya.

Dan banyak sumber-sumber lain yang dapat dijadikan referensi sebagai penentu key metrics untuk dijadikan parameter objective. Ini hanya salah satu contoh saja. Sehingga kita gak pake parameter yang “itu-itu lagi”.

Lalu, lalu kami harus pilih yang mana?

Dengan pelaksanaan berbasis proker selama ini selalu membuat kita jauh dari objektif yang sesungguhnya, ada baiknya organisasi mulai memikirkan untuk mengganti muker yang proker-based, cenderung rigid, kaku. Menjadi ke yang lebih fleksibel, objective-based. Apalagi dengan situasi VUCA seperti ini (Kraaijenbrink, Forbes, 2019) dan generasi yang lebih suka fleksibilitas dibandingkan kekakuan dalam pekerjaannya (DeFelice, Forbes, 2019).

Selain itu hal ini juga akan memacu kreativitas sampai pada anggota organisasi, bukan hanya stakeholder-nya saja. Karena ruang-ruang berkreasi terbuka sangat luas.

Hal ini tentunya pun menjadi jawaban dari masalah kebodohan kita dalam pembacaan objek dan pemahaman terhadap nilai organisasi yang kita pegang. Seiring dengan pembelajaran secara terus menerus, kita akan semakin didekatkan dengan pemenuhan objektif yang kita inginkan.

Mengapa ini menjadi begitu penting?

Penyematan goals kepada anggota organisasi menjadi salah satu faktor yang dapat memotivasinya. Jika kita salah menyematkan goals kepada anggota organisasi kita, bisa jadi dia bingung… “sebenarnya apa yang aku lakukan di sini?”. Visi organisasi tidak sampai pada setiap orang.

Berkomitmen terhadap goals akan mendukung seseorang untuk semakin terus berkembang (Locke & Lathan, 2002), lebih lagi studi menunjukkan bahwa menyematkan goals yang challenging dan spesifik dapat memperkuat keterlibatan anggota organisasi dalam mencapai goals tersebut (Bezuijen et al., 2010).

Oke, jadi apa yang harus kami lakukan?

Ya pada dasarnya tinggal melakukan pengukuran di objektif, bukan di proker dan fungker. Dengan kata lain, kita membuat Key Performance Indicators (KPI) untuk setiap objektif yang kita buat. Nanti anggota organisasi fokus dalam memenuhi KPI tersebut.

Atau mungkin ingin cara lain yang lebih seru?

Oke, ada cara yang dilakukan oleh Google yang menarik untuk diadaptasi dalam mengelola organisasi di masa-masa yang dinamis ini. Namanya OKR. Objective & Key Results.

Sumber gambar: nTask (https://medium.com/ntask/how-to-write-objectives-and-key-results-best-okr-examples-of-2019-24e813faf0ac)

Apakah itu?

Intinya dalam perencanaan strategis, kita fokus dalam membuat Objective dan Key Result-nya. Persis seperti yang udah dijelasin di atas terkait perencanaan strategis berbasis objektif. Dari objektifnya, langsung diturunkan KR-nya. Untuk pemenuhan KR-nya sendiri itu menjadi kreativitas bagi anggota untuk memenuhinya.

sumber: https://objectives-key-results.com/setting-key-results/

OKR ini kalau kamu ingin menggunakannya sampai dengan segala prinsip-prinsipnya, dapat dipelajari ReWork with Google: Set goals with OKRs.

Beberapa prinsip yang menarik untuk diterapkan:

  • Evaluasi OKR yang punya periode pendek. Hal ini akan membuat kita untuk berhenti sejenak dan memikirkan apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan objektifnya. Jika belum, maka kita bisa lebih cepat banting setir, untuk menyesuaikan kegiatan sesuai dengan objektif.
  • Transparansi. Kita buat sistem informasi yang memperlihatkan bagaimana organisasi kita memenuhi OKR-nya. Ini akan membuat anggota organisasi lebih bersemangat dalam memperjuangkan OKR-nya. Sehingga kegiatan-kegiatan yang bisa dibanggakan bukan cuman yang dipublikasiin, tapi juga seluruh kerjaannya bisa jadi keliatan bagaimana performanya.
  • Fokus pada pengembangan. Pembuatan goals dan key results yang menghindari kata-kata “maintain, lakukan ini lagi pada periode selanjutnya”, mendukung organisasi untuk terus senantiasa berkembang.
  • Tidak searah. Perlu ada kesepakatan antara atasan dan bawahan terkait OKR yang disepakati. Bawahan biasanya lebih ngerti lapangan dan atasan lebih tau tujuan organisasi mau dibawa ke mana. Makanya perlu ada ‘transaksi’ di sini.
  • Hierarkis.
gambar sendiri

Intinya KR organisasi bisa dijadikan O-nya tim, lalu dipecah lagi jadi KR tim. Nanti KR tim bisa jadi O untuk invidu, lalu dipecah lagi jadi KR Individu.

Agar lebih kebayang mungkin dikasih contoh sedikit.

Contoh OKR:

Objective: Meningkatkan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar mahasiswa.

Key Results:
- Meningkatkan responsivitas staff pada fasilitas pelayanan kebutuhan dasar. (Ngukurnya bisa dari waktu respons, kualitasnya juga, pake personal touch atau engga, quesioner ke objek).
- Meningkatkan akses mahasiswa kepada fasilitas pelayanan kebutuhan dasar. (Ngukurnya bisa dari kuesioner, selama ini akses untuk ke fasilitas itu dapet dari mana aja orang-orang).
- Meningkatkan skor kepuasan mahasiswa terhadap pelayanan kebutuhan dasar hingga 25% pada kuartil pertama. (ngukurnya bisa pake kuesioner).

Dan KR tersebut masih bisa dijadikan objektif untuk selanjutnya dipecah lagi menjadi beberapa KR.

Sudah kebayang bagaimana perubahannya? Dampak perubahannya terhadap kinerja organisasi? Motivasi anggota organisasi? Serta keberdampakan yang dihasilkan oleh organisasi?

Semoga bisa membantu.

Perhatian: Ketika berbicara organisasi kemahasiswaan, jangan lupa bahwa sifat agile yang melakukan sprint-sprint-sprint tidak bisa sepenuhnya diadaptasi. Perlu ada penyesuaian. Strategi jangan sampai menghilangkan ‘nilai’-nya. Buat anak orang jangan coba-coba. Pahami batasannya.

Referensi:

  • Carroll, Noel & Travers, Marie & Richardson, Ita. (2017). Connecting Multistakeholder Analysis Across Connected Health Solutions. 319–339. 10.1007/978–3–319–54717–6_18.
  • Bezuijen, X. M., Dam, K., Berg, P. T., & Thierry, H. (2010). How leaders stimulate employee learning: A leader-member exchange approach. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 83(3), 673–693. doi:10.1348/096317909x468099
  • DeFelice, M., 2019. What Gen Z Wants At Work Will Blow Your Mind. [online] Forbes. Available at: <https://www.forbes.com/sites/manondefelice/2019/10/31/what-gen-z-wants-at-work-will-blow-your-mind/#77c7baa7b8e7> [Accessed 15 May 2020].
  • Kraaijenbrink, J., 2019. Is The World Really More VUCA Than Ever?. [online] Forbes. Available at: <https://www.forbes.com/sites/jeroenkraaijenbrink/2019/01/04/is-the-world-really-more-vuca-than-ever/#224a68791a64> [Accessed 15 May 2020].
  • Locke, Edwin & Latham, Gary. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation — A 35-year odyssey. The American psychologist. 57. 705–17. 10.1037//0003–066X.57.9.705.
  • Rasmussen, J., 1983. Skills, rules, and knowledge; signals, signs, and symbols, and other distinctions in human performance models. IEEE Transactions on Systems, Man, and Cybernetics, SMC-13(3), pp.257–266.
  • Stassen, L., Alwayn, I., Hosman, R., Stassen, H. and Wentink, M., 2003. Rasmussen’s model of human behavior in laparoscopy training. Surgical Endoscopy, 17(8), pp.1241–1246.

--

--

Ilham Muzakki
Beranda Pagi

A writer who shares stories from his life and work. Passionate about organization and personal development.