How to Reach Public Victory

Bagian dari 7 Daily Habits yang Sering Terlupakan

Ilham Muzakki
Beranda Pagi
5 min readMar 21, 2018

--

LATAR BELAKANG

Zaman semakin maju, pola kehidupan sosial pun terkena imbasnya. Sekarang banyak orang yang kebutuhannya dapat terpenuhi dengan bantuan teknologi. Mau makan tinggal pesan. Transportasi online membuat perpindahan dari satu titik ke titik lain menjadi sangat mudah walaupun kita tidak punya kendaraan. Mendapat hiburan? Apalagi. Belanja? Di kamar pun bisa. Semuanya sudah bisa membantu memenuhi kebutuhan. Kuliah online juga sekarang ada.

Kondisi ini seakan-akan mendukung orang untuk bisa survive hidup sendiri. Dulu, bersosialisasi itu kebutuhan. Karena untuk bisa survive, orang harus berkelompok, perlu bantuan orang lain. Dulu, kalau main harus bareng-bareng. Bosan rasanya kalau main sendiri. Sekarang? Orang bisa mendapatkan hiburan di kamarnya sendiri, dengan menutup dan mengunci kamarnya, di depan laptopnya, sudah bahagia. Atau walapun main gamenya online, tapi rasanya tidak perlu berkenalan untuk bermain pun, masih bisa bermain. Hal-hal ini seperti remeh saja.

pexels.com

Bukan. Tulisan ini bukan tentang menentang kemajuan teknologi. Alat-alat dan fasilitas itu awalnya dicipta untuk memudahkan manusia. Namun kita tidak aware dengan dampaknya. Kita terbawa arus. Terlalu “reaktif”. Tidak pernah secara SADAR betul bahwa sedikit demi sedikit kita semua mulai lupa. Lupa bagaimana cara menyapa dan berkenalan. Kita lupa bahwa basa-basi adalah bagian dari sesuatu yang perlu dilewati untuk mencairkan suasana. Kita lupa sopan-santun. Kita lupa etika. Kita lupa hal-hal yang tak tertulis tapi sebenarnya itu sebuah aturan yang nyata ada pada masyarakat. Lama-lama satu kelompok membiarkannya. Lama-lama nilai itu hilang.

Orang-orang malas bersosialisasi. Banyak yang mengklaim kehidupan sosialnya sudah tidak baik. Suck. Mereka tidak salah. Memang kehidupan sosial ini semakin tidak nyaman. Karena nilai-nilai sosial itu sudah mulai terkikis bahkan hampir hilang. Masing-masing dari kita tidak merasa penting bahwa membuat nyaman kondisi kita dan menjaga hubungan baik merupakan urusan yang urgent. Sesuatu yang penting. Tapi hal itu tidak lagi dirasa penting? Kenapa? Karena orang-orang merasa bisa hidup sendiri. Tidak butuh bantuan orang lain.

LALU?

Banyak orang lupa. Bahwa ‘kemenangan’ itu ada kemenangan untuk diri sendiri dan kemenangan di publik. Banyak yang tujuannya seakan-akan menang di publik, tapi sebenarnya menang untuk diri sendiri. Kalau kita punya cita-cita menjadi CEO perusahaan multinasional tapi orang-orang di sekitar kita tidak suka dengan pribadi kita, itu kita menang, untuk diri sendiri.

pexels.com

Lalu apa itu Public Victory?

Public victory is success with others in teams and in relationships in general. They are shared victories where you help and are helped by other people. (Covey, 1989)

Mengapa butuh public victory? Hal ini akan mengantarkan kita menuju tingkat kedewasaan selanjutnya. Dari independence menuju interdependence. Dari kemandirian menuju kesalingtergantungan. Ini merupakan hal yang balance antara ketergantungan dan kemandirian. Tentu saja dalam tulisan ini, untuk menutup hal-hal yang telah dibahas di latar belakang.

Mandiri perlu. Namun untuk menjadi rekan kerja yang baik dan nyaman bagi orang lain, kesalingtergantungan perlu dimiliki oleh kita semua.

Kesalingtergantungan sederhananya bisa disingkat menjadi sebuah perasaan yang merasa bahwa hidup kita bergantung orang lain dan kita sadar bahwa orang lain pun bergantung kepada kita.

Untuk mencapai Public Victory dan Interdependence tersebut, dapat digambarkan dengan model segitiga berikut ini yang diambil dari buku & Habits of Highly Effective People:

Segitiga ini sebetulnya ada bawahnya juga, cuman yang sekarang dibahas, hanya di bawahnya. *interdependence

Jadi untuk mencapai interdependence, perlu ada pembiasaan untuk 3 habits berikut:

  1. Berpikir “menang-menang”, atau selalu mencari “win-win solution”
  2. Mengerti orang lain, baru dimengerti
  3. Sinergi

Mari kita bahas satu per satu

  • Think ‘win-win’

Banyak dari kita hidup dengan ‘competitive mindset’ yang selalu mendukung adanya, ‘I win, you lose’. Padahal tidak selamanya suatu keadaan selalu harus ada yang menang dan kalah. Mindset tersebut memang tepat dalam pertandingan sepak bola, namun dalam dunia kerja yang perlu kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama? Atau kehidupan sosial yang perlu saling membantu untuk memenuhi kebutuhan bersama? Saya rasa mindset ‘I win, you lose’ sudah harus mulai dibuang jauh-jauh. Karena kita bukan lagi manusia purba dengan hukum rimbanya. Sekarang untuk tetap hidup dan survive bukan lagi membunuh atau dibunuh. Namun harus berkolaborasi dengan mencari sebuah solusi yang memenangkan kedua belah pihak untuk mencapai tujuan bersama.

Jangan pikir hal ini berlaku terhadap rekan kerja saja. Karena pada dasarnya, musuhmu pun adalah mereka-mereka yang mungkin akan membantumu kelak. Maka untuk mencapai tingkat kedewasaan yang lebih tinggi, mulai lah untuk memiliki mindset, ‘think win-win’.

  • Seek First to Understand, Then to Be Understood

Bayangkan seorang dokter yang menerima keluhan pasien dalam telfon. Sang dokter hanya menerima keluhan-keluhan dari apa yang didengarkannya tanpa mendiagnosis langsung mengapa pasien tersebut sakit. Lalu sang dokter dari penjelasan pasiennya, mengirimkan sebuah resep obat. Tak lama kemudian, pasien tersebut meninggal.

Mungkin penggambaran di atas yang paling bisa merepresentasikan bagaimana poin ini akan dijelaskan.

Bukan dari pengalaman. Bukan dari pengetahuan. Apalagi teori. Kita harus mencoba mengerti apa yang sebenarnya orang lakukan, bicarakan, atau maksud. Hal ini yang sering terjadi miss ketika kita sudah merasa berpengalaman atau pernah merasakan sesuatu yang hampir mirip dengan apa yang orang ceritakan. Ketika orang lain curhat ke kita, tanpa berpikir lebih jauh dan mencoba mengerti, kita langsung judge atau bahkan memberikan solusi yang padahal mungkin sebenarnya orang tersebut sudah tahu solusinya apa. Namun bukan itu yang ia butuhkan. Kadang orang bercerita hanya untuk dimengerti atau bahkan sekadar didengarkan.

Kata orang-orang kalau mau mengerti orang lain, “put yourself in someone’s shoes”. Berempati. Mengerti apa yang sebenarnya orang rasakan. Tidak selamanya apa yang keluar dari mulutnya merupakan apa yang ada di lubuk hati terdalamnya. Ya analaoginya sama seperti pasien tadi. Apa yang diceritakan pasien tadi, bisa saja bukan penyakit sebenarnya yang diderita. Maka dari itu perlu adanya ‘diagnosa’ lebih untuk mengetahui, sebenarnya si pasien sakit apa dan butuh treatment seperti apa.

Satu kunci untuk bisa menguasai hal ini: kita harus selalu siap untuk ‘rem’ diri kita, pikirkan lagi apa dampak dari kata-kata kita, pikirkan lagi sebenarnya apa yang dibutuhkan orang tersebut, pikir lagi sejenak. Jangan membiarkan mulut mengeluarkan kata-kata tanpa pikiran yang siap.

  • Synergize

Untuk memahami sinergi secara kasar yakni: 2 kepala lebih baik daripada 1 kepala. Butuh pikiran yang terbuka, kerja sama, dan sebuah kemauan untuk mencari solusi bersama yang baru walaupun masalahnya sudah lama. Sinergi membuat kita bisa men-discover hal-hal baru yang sebenarnya kita tidak ketahui. Inovasi pun lahir dari banyak-nya hubungan kolaboratif yang sinergi.

Hal-hal seperti ini akan mengantarkan Anda pada suatu mindset bahwa sendiri = membosankan. Anda harus mulai berkolaborasi dalam bekerja. Di sinilah kita akan mulai tahu bagaimana, nyatanya, kita membutuhkan orang lain dan orang lain membutuhkan kita. Jika kita tidak berinovasi, maka tertinggalah kita.

Ketika interaksi terjadi lebih sering bersama orang yang berbeda, kemampuan untuk berinovasi menjadi meningkat lebih tinggi karena adanya perbedaan tersebut. Perbedaan harus dimaknai sebagai kelebihan, bukan kelemahan untuk kita.

Ketika kita sudah terbiasa dengan ketiga habbits tersebut, maka Public Victory akan kita menangkan dan kita akan lebih dekat dengan tingkat kedewasaan selanjutnya, ‘kesalingtergantungan’.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga bisa dijadikan refleksi untuk kita semua.

References
COVEY, S. R. (1989). 7 HABITS OF HIGHLY EFFECTIVE PEOPLE. New York City: SIMON & SCHUSTER LTD.

--

--

Ilham Muzakki
Beranda Pagi

A writer who shares stories from his life and work. Passionate about organization and personal development.