Little Things I Know About: Business (3/3)

Knowing your market and competitors is crucial.

Ilham Muzakki
Beranda Pagi
Published in
7 min readFeb 14, 2018

--

Ini merupakan fenomena yang sering dibicarakan orang-orang saat ini, terutama dalam dunia bisnis. Kalau bicara ‘Disruption’, pasti langsung ke contohnya yang paling sering dibicarakan yakni: Transportasi Online vs Konvensional. Uber, Gojek, Grab, sekarang telah menjadi solusi transportasi bagi orang-orang yang kesehariannya tidak menggunakan transportasi pribadi. Bahkan beberapa orang banyak yang beralih kepada moda transportasi online daripada menggunakan kendaraan pribadi.

Banyak yang ditawarkan lebih oleh transportasi online. Kenyamanan, on demand-services, ketika kita butuh, saat itu juga kita bisa mendapatkannya. Tidak perlu antrian, tapi secara real time langsung bisa diakses dari genggaman kita saja. Namun sayangnya, kemajuan ini tidak disambut baik di beberapa daerah. Banyak incumbent atau dalam kasus ini, ojek pangkalan, tidak mau bergabung dengan gojek (yang sampe sekarang saya gak tahu alasannya, ada yang tahu?). Maka pada masa-masa ini, seolah-olah sering dianggap sebagai pertarungan antara para incumbent (perusahaan lama yang bertahan dengan model bisnisnya) dan para disruptive innovators.

Sebetulnya bukan cuman tentang transportasi contoh disruption, tapi banyak yang lain. Menariknya, ternyata disruption ini bukan fenomena baru-baru ini saja, tapi sudah ada sejak dulu. Ketika banyak perusahaan-perusahaan besar memproduksi baja dengan pabrik besar, harus memikirkan warehouse, pengiriman barang, dan hal-hal kompleks lainnya, Nucor lahir dengan konsep pabrik baja mini kebanggaannya yang bisa ada di mana-mana, konsumen langsung bisa mendapatkannya bahkan dengan harga yang murah. Kelahiran Nucor ini memaksa beberapa perusahaan baja yang kala itu sudah besar, gulung tikar. Itu terjadi sekitar tahun 80an.

Lebih sederhana lagi untuk memahami disruption. Ada suatu benda yang tidak kita sadari, di rumah kita, nyatanya menjadi disruption bagi perusahaan-perusahaan di dunia. Kulkas. Gara-gara terciptanya teknologi kulkas yang membuat es batu bisa didapatkan hanya dengan membuka pintu. Dahulu mungkin kita harus beli es balok yang besar dari perusahaan penyedia es. Sekali beli harus sekalian besar. Sekarang? Mudah sekali. Tapi apakah perusahaan es balok protes terhadap kehadirannya kulkas? Tentu saja tidak. Kulkas bukan untuk perusahaan-perusahaan besar memang. Ini untuk di rumahan. Tapi dampaknya? Bisa membuat perusahaan-perusahaan es balok terpaksa gulung tikar.

Intisari dari apa yang dibicarakan di sini mungkin kita harus sadar bahwasanya tidak dipungkiri bahwa disruption itu akan ada dan bahkan bukan hal yang baru. Ada sejak dahulu. Mereka menjadi para pendatang yang siap menghancurkan incumbent. Masuk bukan melalui pasar yang dikuasai incumbent. Tapi membidik pasar di mana konsumen kelas bawah yang tidak bisa menikmati produk yang dimiliki incumbent. Mempelajarinya, membuatnya menjadi lebih murah. Seperti pada bidang perhotelan, sekarang saingan Intercontinental, Hilton, Sheraton, dll bukan lah brand hotel yang lain, tapi AirBnb sebagai platform penyambung orang yang butuh tempat menginap dengan orang-orang yang memiliki kamar namun sedang tidak digunakan. Tentu saja harganya jauh akan lebih murah. Pelayanan menunjang dan yang paling penting, memenuhi kebutuhan.

Ada quotes yang pas untuk menghadapi fenomena ini:

“IN TIMES OF TURBULENCE THE BIGGEST DANGER IS TO ACT WITH YESTERDAY’S LOGIC” — Peter Drucker

Open-mind, kenali marketmu, kenali lingkunganmu, kenali manusia. Make a user-centered design for your product. Terima masukan dari konsumen. Kenali kebutuhannya. Bahkan kenali, sebelum mereka mengenalinya.

Mendisrupsi atau terdisrupsi?

Berikut saya akan memaparkan beberapa model bisnis dibalik digital disruption seperti yang dikatakan Jo Caudron dan Dado Van Peteghem dalam bukunya, Digital Transformation.

The Subscription Model

Di mana customer harus subscribe dengan membayar untuk mendapatkan akses terhadap produknya. Biasanya diawal kemunculannya, masih gratisan nawarinnya. Tapi setelahnya, kecanduan dan tiba-tiba jadi kebutuhan. Konsepnya memang di sini locking-in customer.

The Freemium Model

Intinya, bisa diakses dengan gratisan, tapi kalau mau fitur lebih, harus bayar. Tapi pelayanan lebih bagi yang membayar pun tidak murahan apalagi merugikan. Memang sangat berguna dan menunjang. Sampai sekarang pun saya masih berlangganan premium-nya spotify, bisa play offline dan pilih lagu sesuka mu. hehehe.

The Free Model

“Gimana caranya kita bisa jualan produk gratisan tapi tetep untung?!”

Gimana menurutmu google bisa kaya? Ini mungkin bisa dibilang model bisnis, “if-you’re-not-paying-for-the-product-you-are-the-product” model. Google bisa tahu, what you interested in, siapa temanmu, kemana saja dirimu hari ini, kamu kuliah di mana, seberapa banyak kamu menghabiskan uang untuk sesuatu. Facebook dan google menjual personal data. Untuk apa? Untuk kepentingan periklanan. Google harus selalu memastikan bahwa yang muncul di jendela user ia lah iklan yang tepat. Mereka memamen personal data semua orang di dunia dengan menawarkan produk cuma-cuma yang berguna untuk banyak orang. Sebagai gantinya, mereka meminta personal data Anda.

The Marketplace Model

Konsepnya, menyambungkan pembeli dan penjual yang mungkin akan menghemat ongkos “mencari”. Coba bayangkan dulu harus cari hotel ke sana-sini untuk tempat menginap. Sekarang di airbnb lengkap. Begitu juga dengan e-commerce yang menyambungkan penjual dan pembeli, memungkinkan pembelian lintas pulau bahkan negara. Tokopedia dan Bukalapak menjadi salah satu jenisnya juga. Kebanggaan Indonesia. Dengan bergabung bersama layanan-layanan ini, para penjual pun tidak lagi perlu untuk menyewa kios atau tempat untuk berjualan. Perusahaan mendapat fee sebagai penyambung tadi. Tidak banyak memang untuk tiap produknya, tapi kalau yang jualan di situ ada sejuta user dan tiap hari ada beratus ribu transaksi, tak terhitung keuntungannya.

The Access-over-Ownership Model

Ada orang punya barang, cuman lagi gak dipake atau bisa dishare bareng orang lain, ini lah tren bisnis yang sedang marak. “Daripada gak dipake, coba dipinjemin aja, dapet duit juga kan kita”. Peerby, mereka yang menyambungkan orang-orang yang memiliki perkakas rumah berlebih, menyambungkan dengan mereka yang membutuhkan. Begitu juga dengan zipcar, menyambungkan mereka-mereka yang butuh mobil dengan orang yang punya mobil di garasi rumahnya, cuman lagi gak dipake. Gojek? Begitu juga. Konsepnya pun sering disebut, “sharing economy”. Perusahaan tentu mendapat fee dari ‘menyambungkan’-nya tadi.

The Hypermarket Model

Perusahaan yang selalu menjual produk dengan harga di bawah pasar. Expand territory. Tujuannya? Mematikan persaingannya. Lama-lama orang-orang jadi lebih suka membeli di amazon daripada yang lain. Lebih mudah dan praktis. Amazon tidak memiliki toko. Hanya warehouse yang siap menampung banyak barang yang akan dijual di toko onlinenya.

The Experience Model

Seperti yang saya bilang di bagian satu tulisan ini. Bukan hanya menjual produk, namun menjual ‘pengalaman’. Pengalaman menyenangkan ketika kita memiliki produk apple, kita akan merasa setingkat lebih tinggi dibanding yang lain. Ketika memiliki mobil tesla pun begitu. Menjual pengalaman yang konsumen siap membayarnya berapapun, bukan hanya sekadar produk.

The Pyramid Model

Merekrut resellers dan afiliasi untuk menyebarkan produk mereka. Amazon tidak perlu banyak memiliki sales staff. Mereka pun dibayar dari persentase keuntungan hasil penjualan. Sehingga dengan skema seperti ini, staff sales dibayar ketika memang produknya terjual dan memiliki keuntungan. Implikasinya, tidak banyak lagi orang yang perlu dibayar per bulan untuk mempromosikan produk perusahaan.

The On-Demand Model

Menjual sesuatu dengan mengunggulkan waktu yang bisa dipenuhi saat itu juga. Instant-access at a premium. Uber jelas menjadi salah satu yang bisa dibilang pioneer untuk model bisnis ini. Begitu juga dengan gojek dan grab. Mereka bukan hanya menawarkan jasa, tapi menawarkan dan menyediakannnya ketika konsumen memesan saat itu juga.

The Ecosystem Model

Singkat saja, menciptakan konsumen yang ketergantungan dan produknya. Semakin dibeli produk yang lebih mahal, semakin disukai dan semakin memuaskan.

Itulah 10 model bisnis yang menjadi disruption pada era digital ini. Kreativitas kita dalam berpikir dan kehandalan membaca peluang diuji di sini.

Sekian tulisan saya tentang bisnis. Mungkin ini sedikit atau bahkan bukan apa-apa. Semoga niat saya yang ingin berbagi ini memang bermanfaat untuk teman-teman semua.

REFERENSI

Kasali, Rhenald.2017.Disruption.Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.

Paul Marsden, Digital Intelegence Today.2015. The 10 Business Models of Digital Disruption (and how to respond to them). https://digitalintelligencetoday.com/the-10-business-models-of-digital-disruption-and-how-to-respond-to-them/

--

--

Ilham Muzakki
Beranda Pagi

A writer who shares stories from his life and work. Passionate about organization and personal development.