Membangun Organisasi Berkelanjutan

Mengenal Knowledge Management dan semacamnya

Ilham Muzakki
Beranda Pagi
9 min readDec 8, 2019

--

Sudah lama saya tidak menulis. Selain mungkin sibuk, emang kalau ada waktu luang malah full dipake tidur. Selain itu, sekarang nulis jadi harus semakin mikir biar gak diserang netizen. Entah kenapa semakin sini jadi semakin merasa bodoh aja gitu. Semakin takut kalau nulis dikira sok pinter, sok paling bener. Nah tapi kalau berhenti menulis, gak sesuai dengan apa yang saya jawab kalau ditanya ‘kenapa saya menulis?’.

Emangnya kenapa saya menulis? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan terjawab pada tulisan kali ini. Bahasannya terkait organisasi lagi, mungkin akan dibuat biar lebih relate sama kehidupan kampus. Kenapa? Ya karena sehari-hari saya di kampus. Saya tau kalian tidak suka baca tulisan panjang, maka dari itu saya akan mencoba untuk lebih mempersingkatnya.

Banyak orang bermimpi besar terkait organisasinya dan itu tidak menjadi masalah. Namun sering kali yang terjadi, kata-kata “bermimpilah setinggi langit, agar ketika jatuh, kita jatuh di antara bintang-bintang” menjadi pembenaran akan perlakuan ini. Kita sering membuat target se-ideal mungkin agar ketika menjalankannya, kita mengejar keidealan tersebut dan walaupun tidak terkejar, yasudah, setidaknya kita jatuh di “bintang-bintang”.

Padahal salah satu research executive summary mengatakan bahwa achieveable (bagaimana kita bisa mencapainya) menjadi salah satu faktor dalam efektivitas pengaturan target(Santos & Bourne, 2009). Lebih lagi, dari artikel di internet yang saya temukan bahkan mengatakan bahwa setting unrealistic goal merupakan salah satu kesalahan umum yang biasa dilakukan oleh orang-orang dalam mengatur target [1]. Artikel lain menceritakan bagaimana setting unrealistic expectation berpengaruh negatif terhadap pegawai dan organisasi secara jangka pendek maupun jangka panjang [2].

Hal ini menjadi masalah di organisasi kita karena akhirnya perkembangannya tidak kemana-mana. Jika kita lihat secara lokal (dalam satu tahun kepengurusan), mungkin terlihat perbedaannya dari segi pemenuhan target saat laporan pertanggungjawaban (LPJ), namun jika dilihat lebih jauh lagi, secara organisasi perkembangannya apakah ada? Apakah signifikan? Apakah sebenarnya kita sebagai suatu organisasi pernah memenuhi visi-visi para pemimpin itu saat kampanyenya? Banyak yang memberikan visi terlampau ideal dan bagus hanya sebatas untuk “jualan”. Padahal visi tersebut tidak realistis untuk dipenuhi dalam satu tahun kepengurusan tapi direncanakan implementasinya buat 3–5 tahun ke depannya pun engga. Abis periodesasi, terbang lepas bebas mimpinya.

Pertanyaannya, mau gitu-gitu aja?

Inilah sebuah gambaran perkembangan organisasi yang kita inginkan, tiap orang mewakili kepengurusan baru.

Setiap kepengurusan baru harapannya bisa meneruskan perkembangan dari pendahulunya.

Namun budaya yang terjadi di kita seperti ini:

Gak kemana-mana. Pantas saja jika kita sering mengulang kesalahan-kesalahan yang sama di kepengurusan berikutnya tanpa ada perkembangan~

Hal ini akan membuat kedewasaan dari organisasi itu sendiri tidak berkembang. Akhirnya orang-orang kembali lagi sibuk dengan hal-hal mendasar. Padahal harusnya kalau udah stabil, internal bukan lagi menjadi penghalang. Sudah harus siap lepas landas.

Ada beberapa alasan yang memungkinkan mengapa fenomena tersebut terjadi:

  1. Pihak sebelumnya mengemas visi jauh namun tidak merancang implementasinya secara berkelanjutan.
  2. Penerus tidak setuju dengan apa yang sebelumnya bawa.
  3. Penerus tidak paham betul dengan apa yang sebelumnya bawa.
  4. Memang tidak ada rencana visinya untuk diturunkan dan diteruskan saja, lahir dari visi sendiri kan lebih keren.

Selanjutnya, beberapa hal yang menjadi ciri khas organisasi di dalam kampus dan mendukung hal-hal di atas:

  1. Siklus pergantian sumber daya manusia yang pendek, bahasa kitanya, periodesasi singkat. Baru naik, udah harus nyiapin LPJ. Implikasinya terhadap sulitnya membuat visi setinggi langit yang bisa diwujudkan. Ganti kepengurusan juga pasti ganti lagi ‘ruh’-nya.
  2. Uncontrollable Input. Gabisa diatur dari awal input dari organisasi kita mau yang sesuai dengan nilai-nilai organisasi atau tidak. Atau kitatuh milih, siapa aja yang boleh masuk organisasi. Gak bisa. Gak bisa juga cuman milih yang sejalan sama pengembangan organisasi atau tidak. Walaupun bisa dibentuk sih pada akhirnya. Cuman pembentukan manusia yang dalam waktu singkat (dengan tingkat kedewasaan anak kuliahan) terbilang sulit, apalagi sampai ke pada level value.

Oleh karena itu, untuk meminimasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, perlu ada sebuah sistem yang memastikan bahwa suatu visi organisasi dan rencangan pengembangan yang sudah diset dari awal, ketika periodesasi, tidak memulai dari awal lagi, tapi melanjutkan perkembangan yang sudah dibuat. Visinya jadi berkelanjutan, tidak hanya berhenti di satu kepengurusan saja. Sebuah sistem yang akan memastikan ketika ‘manusia’-nya cabut, berperiodesasi, tapi ‘knowledge’-nya tetap ada di dalam organisasi.

Berikut ilustrasi ideal yang diharapkan. Warna yang ada di kepala merupakan knowledge dari setiap orang, diwarnai berbeda karena asumsi ilmunya berbeda. Orang yang ada di tengah gambar merupakan orang yang sedang memegang jabatan dan sebalah kiri merupakan orang yang akan melanjutkan.

Harapannya ya seperti itu, ilmunya dari yang pertama-tama terus diturunkan. Namun kan kita tahu ya kapasitas manusia dalam mengingat tidak semuanya sebaik itu. Bahkan kadang tiap orang punya ‘filter’-nya tersendiri. Bisa aja menurut B ilmu ini gak penting, jadi dilupain, eh padahal di kepengurusan berikutnya dibutuhkan. Makanya butuh suatu sistem untuk mengelola apa yang ada di isi kepala manusia-manusia itu agar bisa mewujudkan organisasi yang berkelanjutan, gak ngulang-ngulang dari awal, mengulangi kesalahan yang sama, tak berkembang kemana-mana.

Usulan sistem yang dapat menjawab dari permasalahan tersebut yakni:

Gambar diambil dari https://medium.com/@stangarfield

Knowledge Management (KM) atau dalam bahasa Indonesia, manajemen pengetahuan. Diambil dari A Handbook of Human Resource Management Practice oleh Amrstrong (2006), ‘Knowledge Management merupakan segala proses atau praktik menciptakan, mengakuisisi, menangkap, menyebarkan, dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan pembelajaran dan performa di dalam sebuah organisasi’ (Scarborough et al, 1999). Namun sebelum berjalan lebih jauh, mungkin harus kita samakan terlebih dahulu terkait istilah ‘knowledge’. Berikut merupakan gambarannya.

(Bergeron, 2003)

Pengetahuan merupakan informasi yang sudah diorganisasikan, disintesis, atau dirangkum untuk meningkatkan comprehension, awareness, atau understanding (Bergeron, 2003). Sehingga yang dikelola bukan lagi soal data bahkan bukan hanya sebatas informasi, melainkan sudah berupa pengolahan lebih dari informasi tersebut yang nantinya akan membantu orang untuk menentukan suatu treatment atau keputusan. Kini knowledge dianggap sebuah aset penting dari organisasi. Sebagai aset yang bernilai, hal ini tentu saja perlu dikelola dengan baik.

Kembali lagi ke Knowledge Management (KM). Jika belum terbayang, salah satu contoh aktivitas KM yang sudah pernah kita lakukan di organisasi yakni LPJ dari pengurus yang akan turun kepada seluruh anggota organisasi, lebih khususnya kepada pengurus selanjutnya. Aktivitas ini bertujuan untuk ‘menurunkan’ pengetahuan yang didapat selama menjalan kepengurusan dengan tujuan agar kesalahan-kesalahan sebelumnya di kepengurusan selanjutnya tidak terjadi kembali. Namun mengapa kita selalu mengulangi kesalahan yang sama? Ya begitulah, kita sama-sama paham lah yah~

Berikut merupakan siklus dari knowledge management itu sendiri agar lebih tergambarkan.

(Sagsan, 2006)

Itu hanya sebagian kecil, hal-hal lain tentunya perlu diimplementasikan secara sistematik dan terintegratif. Terkait contoh-contoh praktiknya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(Sumber: https://knowledgesuccess.org[3])

Usulan strategi implementasi akan sangat beragam sekali bergantung terhadap organisasi itu sendiri. Salah satu yang memiliki peran penting dalam melakukan implementasi KM yakni organizational culture (Prystupa, 2017). Bahkan sudah ada penelitian yang memperlihatkan bagaimana budaya di pemerintahan Indonesia dengan preferred culture untuk implementasi KM yang cukup memiliki gap. Penelitian tersebut menunjukkan adanya gap antara budaya eksisting di pemerintahan yang lebih kepada hierarchical culture, di mana budaya ini cenderung akan memaksa pegawai untuk membagikan ilmu/informasi/data tidak secara sukarela, sedangkan preferred culture untuk implementasi KM sendiri yakni clan culture, di mana akan lebih menganggap bahwa knowledge sharing adalah bagian dari kerjasama, hal ini akan terlihat dari keseharian dalam membagikan informasi dan ilmu secara terbuka (Sensuse, Cahyaningsih, & Wibowo, 2015).

Disebutkan pada beberapa penelitian bagaimana hubungan antara KM dengan konsep organisasi keberlanjutan serta bagaimana peran pentingnya untuk mewujudkan hal tersebut (García-Alvarez, 2015; Lopes et al, 2016; Mcneil, 2011). Penelitian lain menyebutkan bahwa implementasi KM dapat memperpendek learning curve untuk pendatang baru di organisasi dan banyak keuntungan lainnya (Saqib, Udin, & Baluch, 2017). Artinya implementasi KM akan menjawab bagaimana cara penurunan ilmu secara berkelanjutan, sehingga apa yang sudah dibawa dan dilakukan pada kepengurusan sebelumnya, tidak dilupakan begitu saja, melainkan dilanjutkan. Akhirnya visi-visi melangit tersebut lama-lama bisa didekati dan benar-benar menjadi realistis.

Jadi, bagaimana kita mengimplementasikannya?

Merupakan hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya. Secara praktis, banyak sekali yang harus dipersiapkan. Dari segi budaya hingga infrastruktur. Bantuan teknologi pun diperlukan untuk mengintegrasikan seluruh elemen organisasi, terutama dalam mengambil dan mendistribusikan ilmunya itu sendiri. Beberapa hal yang dianggap dapat mengukur kesiapan suatu organisasi terhadap implementasi KM (Razi & Karim, 2010) yakni:

  • Budaya organisasi (collaboration, trust, learning)
  • Struktur organisasi (informal dan desentralisasi)
  • Infrastruktur IT
  • Keberterimaan indvidual

Keempat hal tersebut perlu dipersiapkan secara komprehensif sehingga menghasilkan performa KM yang baik saat diimplementasikan. Hingga saat ini, masih banyak organisasi yang sulit untuk mengoptimalkannya. Namun jika tidak dimulai sekarang, maka mungkin kita harus mulai membuang jauh-jauh mimpi untuk membangun organisasi yang berkelanjutan.

Implementasi knowledge management di organisasi di kampus kita harus sudah mulai dipikirkan, bahkan mulai diinisiasi untuk dirancang. Dengan karakteristik organisasi kita yang hanya tiap satu tahun periodesasinya, maka sudah semestinya untuk bisa mengelola ilmu yang ada di organisasi dengan baik agar terus bisa dimanfaatkan pada periode-periode selanjutnya sehigga perkembangan organisasi menjadi lebih berkelanjutan. Bukan harus mengulang lagi setiap periodesasi berganti, gitu aja terus.

Tulisan ini tidak cukup untuk memahami bagaimana implementasi KM harus dilakukan, karena memang tidak membahas hal tersebut, apalagi untuk KM ITB. Riset lanjutan untuk implementasi KM pada organisasi di dalam kampus masih perlu dilakukan. Cari dan baca banyak paper terkait implementasi KM. Bahkan ada yang sudah membuat usulan untuk pemerintah Indonesia [4]. Mungkin bisa menjadi model percontohan yang baik.

Mungkin hal ini juga yang perlu disiapkan dalam k renstra kemahasiswaan KM ITB yang tengah menjadi isu kali ini. Pembuatan renstra akan menjadi percuma jika tidak didukung dengan knowledge management yang baik.

Jadi kenapa saya suka menulis?

Implementasi knowledge management untuk personal. Hehehe.

Referensi

Armstrong, M. (2006). A Handbook of Human Resource Management Practice 10th Ed. London: Kogan Page.

Bergeron, B. P. (2003). Essentials of knowledge management: Essentials series. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.

García-Álvarez, M. T. (2015). Analysis of the effects of ICTs in knowledge management and innovation: The case of Zara Group. Computers in Human Behavior, 51, 994–1002. doi: 10.1016/j.chb.2014.10.007

Lopes, C. M., Scavarda, A., Hofmeister, L. F., Thome, A. M. T., & Vaccaro, G. L. R. (2016). An analysis of the interplay between organizational sustainability, knowledge management, and open innovation. Journal of Cleaner Production. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.jclepro.2016.10.083

Mcneil, R. (2011). Application of Knowledge Management for Sustainable Development in Institutions of Higher Education. Dalhousie Journal of Interdisciplinary Management, 7(1). doi: 10.5931/djim.v7i1.82

M.J. Razi, N.S. Karim, An Instrument to Assess Organizational Readiness to Implement Knowledge Management Process. Information Technology International Symposium , Vol.3, 2010.

Prystupa, K. (2017). The Role of Organizational Culture in Knowledge Management in Small Companies. Journal of Entrepreneurship, Management and Innovation, 13(3), 151–173. doi: 10.7341/20171336

Sağsan, M (2006). A new life cycle model for processing of knowledge management.

Santos, M. F., & Bourne, M. (2009). The impact of performance targets on behaviour: a close look at salesforce contexts. Research Executive Summaries Series, 5(5).

Saqib, M., Udin, Z. M., & Baluch, N. (2017). The impact of knowledge management on organizational performance in today’s economy. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, 12(3), 25–33. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/316581339

Scarborough, H, Swan, J and Preston, J (1999). Knowledge Management: A Literature Review. Institute of Personnel and Development: London.

Sensuse, D. I., Cahyaningsih, E., & Wibowo, W. C. (2015). Knowledge Management: Organizational Culture in Indonesian Government Human Capital Management. Procedia Computer Science, 72, 485–494. doi: 10.1016/j.procs.2015.12.130

Referensi Artikel dan Paper di Internet

[1]Mindtools — Eight Common Goal-Setting Mistakes https://www.mindtools.com/pages/article/goal-setting-mistakes.htm

[2] Robert Half — The hidden risk of unrealistic expectations in the workplace https://www.roberthalf.com.sg/blog/employers/hidden-risk-unrealistic-expectations-workplace

[3] Knowledge Success — Knowledge Management for Global Health https://knowledgesuccess.org/resources/family-planning-topics/how-knowledge-management-improves-global-health/

[4] NUSANTARA: A New Model of Knowledge Management in Government Human Capital Management — Cahyaningsih, et al (2017) https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877050917328983

--

--

Ilham Muzakki
Beranda Pagi

A writer who shares stories from his life and work. Passionate about organization and personal development.