Muda, Mura, dan Muri, Manajemen Anggota Organisasi Pada Masa Pandemi

Menjaga kualitas performa organisasi kampus di masa pandemi

Ilham Muzakki
Beranda Pagi
12 min readApr 26, 2020

--

Summary: kondisi yang mengharuskan swakarantina ini membuat sebagian orang menjadi rentan untuk kehilangan motivasi atau bahkan stres. Hal ini membuat kebutuhan akan pengelolaan yang matang dari anggota organisasi semakin tinggi. Salah satu caranya yakni dengan mendeteksi pemborosan dalam pekerjaan kita yang terdiri dari tiga jenis, Muda, Mura, dan Muri. Untuk menghindari pemborosan tersebut digunakanlah salah satu strategi yang digunakan oleh Toyota yakni Heijunka. Strategi tersebut akhirnya memungkinkan terjadinya modifikasi terhadap jadwal dan beban kerja yang diterima oleh anggota organisasi sehingga merendahkan risiko stres yang mungkin akan diterima.

Dokumentasi Mujek Pribadi, Wisokto 2017

Ditulis saat masa-masa wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) menyeruak di seluruh dunia hingga mempengaruhi seluruh aktivitas manusia. Tidak terkecuali dengan di Indonesia.

Hampir banyak tempat-tempat umum ditutup, termasuk dengan sekolah dan perguruan tinggi. Pembatasan berkumpul secara ramai-ramai terjadi di mana-mana. Termasuk di kampus ITB sendiri melakukan lockdown dengan menutup seluruh akses ke kampus. Kegiatan kemahasiswaan yang mengharuskan adanya pertemuan secara langsung ditiadakan atau ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Kondisi ini tentunya berpengaruh juga terhadap organisasi mahasiswa dalam menjalankannya. Lembaga-lembaga melakukan beberapa agendanya kini melalui internet dalam jaringan (daring/online). Beberapa himpunan berfokus pada menyelesaikan apa-apa saja yang bisa dilakukan secara daring. Seperti program-program yang memang dilakukan menggunakan media digital dan daring.

Syukurnya, sampai sekarang dari tanggapan yang coba dikumpulkan, metode-metode yang dilaksanakan masih cukup bisa diterima. Mungkin ini juga efek pelaksana organisasi sekarang sudah familiar dengan segala teknologi digital dan internet, sehingga tidak sulit untuk menyesuaikan.

Namun tentunya tidak semuanya menjadi baik-baik saja. Sudah pasti dengan kondisi ini, ada tantangannya tersendiri. Bahkan mungkin tantangan baru, muncul di saat seperti ini. Di mana masalah yang datang bukan tantangan-tantangan biasa yang hanya bisa diselesaikan dengan ‘pendekatan personal’. Kita harus memiliki banyak sudut pandang baru dalam mendalami masalah-masalah yang ada.

Kita sepakat bahwa sumber daya yang paling berharga bagi organisasi adalah anggotanya. Oleh karena itu, kita jangan hanya menganggapnya sebagai sumber daya, tapi juga sebagai manusia.

Manusia sendiri wujudnya sangat kompleks. Bisa dilihat dari banyak sisi. Dari sisi fisiknya yang artinya wujudnya ada dan bisa melakukan sesuatu. Dari sisi psikologis, dan lain-lain. Manusia itu kompleks. Banyak sekali hal yang tak bisa kita kontrol dari luar berkaitan dengan manusia. Emosionalnya misal, mood, apa yang ada di pikirannya, dll.

Oleh karena itu mari kita bahas saja yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk mengelola manusia, dari sisi luar. Karena nyatanya, jika kita tidak bisa mengelola manusia yang ada dalam organisasi kita, roda organisasi akan macet, karena siapa lagi yang menggerakannya? Apalagi di masa pandemi ini, akan semakin sulit. Bisa jadi beberapa organisasi vacuum karena tidak bisa melewati kondisi yang ada.

Tantangan yang dihadapi dari pengelolaan sumber daya anggota organisasi di saat pandemi

Photo by Markus Spiske from Pexels

Tidak mudah melaksanakan manajemen sumber daya manusia, apalagi di masa pandemi. Akan banyak shifting dari segi kebutuhan yang artinya akan ada juga perubahan pada orientasinya. Perubahan pada tendensi. Perubahan pada behavior. Banyak yang berubah.

Jika kita tidak deteksi ini dari awal, kita akan kewalahan pada akhirnya. Hal yang pertama harus dilakukan untuk mendeteksi ini sebenernya mudah saja, coba saja identifikasi apa yang berubah dalam diri sendiri. Jangan lupa kita juga manusia.

Beberapa masalah yang mungkin terjadi di saat seperti ini:

  • Orang hilang, dan kamu gabisa temukan di kelas atau kampus, karena kelasnya online. Gaboleh juga disamper ke kosan atau rumahnya, karena sedang PSBB.
  • Masih orang ilang, yang stres, breakdown, gara-gara gak biasa dengan kondisi ini (introvert sih katanya biasanya biasa). Orang yang biasanya butuh interaksi langsung sama manusia (semua orang butuh sih) dan dengan kadar yang tinggi.
  • Tetap di orang hilang, gara-gara sinyal di rumahnya kurang bagus, tidak seperti kita yang ada wi-fi. Tiap video conference harus ada kuota. Jangankan buat rapat, buat kuliah saja sulit. Makanya di beberapa media, menyebut mereka adalah kelompok ekonomi rentan di masa ini, yang harus kita bantu.

Intinya orang ilang! Enggak juga deng. Ada orang yang ada, cuman belum tentu sesuai.

  • Ada juga masalah terkait menurunnya performa orang-orang di masa pandemi ini. Padahal waktunya malah lebih banyak. Gak perlu bolak-balik kampus. Apa gara-gara drakor, netflix, animal crossing? Bukan saja itu kawan.
  • Meningkatnya kemalasan dan kemageran. Ya ada hubungan sebab akibat sama yang atas. Hal ini bisa jadi karena aktivitas yang berubah dari biasanya atau bahkan karena akhirnya jadi gitu-gitu aja.
  • Meningkatnya kecenderungan untuk terjadi konflik karena tidak biasa berkomunikasi lewat kata-kata atau tulisan saja. Kata orang dengan lewat tulisan kita sulit untuk menentukan emosi yang dibawa… padahal sebenernya ya biasa aja, asal biasa. Tapi ya ketidakjelasan ini yang akhirnya sering memicu konflik.
  • Konflik tentunya tidak baik bagi iklim organisasi. Kondisi yang tidak enak di dalam organisasi tentunya akan memengaruhi pada performa (Aseanty, 2016). Bahkan dalam jurnal tersebut pun disebutkan bagaimana performa dipengaruhi oleh working ability dan motivation.
  • Orang sekarang sulit mendapatkan motivasi? Belum ada yang membahas tersebut dalam jurnal, namun saya rasa salah satu dampak dari karantina ini ya… hilangnya motivasi (Mulqueen, 2020).
  • Dengan banyak masalah lain terkait psikologis yang teman-teman bisa temukan dalam The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence (Brooks et al., 2020) yang mungkin masih ada beberapa yang relate dengan masalah manusia yang kita hadapi.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Salah satu yang harus kita pahami lagi untuk mengelola manusia adalah kembali lagi ke kata-kata saya di awal, mari kita pandang manusia sebagai manusia. Bukan cuman mesin atau robot yang mengerjakan fungker dan proker Anda.

Sehingga hal yang harus dijadikan ukuran kapasitas manusia di saat ini bukan hanya dia punya waktu berapa jam, punya kelenggangan sebanyak apa, punya tenaga sebanyak apa, tapi ya juga kita harus ngerti emosinya dalam state apa, psikologisnya, mentalnya, dll. dan mempertimbangkan itu sebagai bagian dari kapasitas manusia.

Sisi ini akan coba ditinjau dari behavioral. Kebanyakan manusia seperti apa, jadi mungkin gak berlaku untuk semua orang, tapi semoga bisa berlaku untuk mayoritas orang.

Mari kita bermain studi kasus

Setiap orang tentunya tidak memiliki workload masing-masing. Mungkin bisa diliat terlebih dahulu grafik ini yang saya coba buat gambarnya sendiri.

Kita asumsikan kapasitas setiap orang per harinya sama. Walaupun sebenarnya kalau kembali lagi ke kondisi psikis dan mental, tiap hari bisa jadi beda, tergantung faktor-faktor eksternal maupun internal dirinya. Namun untuk mempermudah pemahaman, kita asumsikan sama.

Diagram batang merah tersebut merupakan pekerjaan-pekerjaan (gawean lah bahasa kita) yang harus dikerjakan. Jangan lupa, kita perlu mengetahui bahwa pekerjaan yang mereka miliki bukan pekerjaan yang organisasi kita beri saja. Namun mari kita asumsikan semua yang di dalam grafik berasal dari organisasi kita. Untuk memudahkan pemahaman.

Seperti yang kita lihat, terdapat kelebihan pekerjaan pada hari ketiga di mana hal tersebut melebihi kapasitasnya yang artinya akan menyebabkan overload atau over burden. Di mana kalau Anda bisa bayangkan, akhirnya orang tersebut harus dipaksa untuk bekerja lebih dari seharusnya. Apakah ini baik? Biasanya efeknya tidak.

Efeknya Anda bisa lihat di grafik sebelahnya, justru hal tersebut akhirnya membuat kapasitas kita di hari selanjutnya menurun, karena kelelahan lah atau ya jadi stress, bukan cuman lelah fisik, tapi juga pikiran. Akhirnya dampaknya bisa jadi pekerjaan di hari berikutnya menurun kualitasnya atau bahkan tidak tertangani.

Lalu harus bagaimana?

Mari mengenal istilah yang ada di judul tulisan ini, istilah-istilah ini saya ambil dari buku The Toyota Way: 14 Management Principles from The World’s Greatest Manufacturer oleh Jeffrey K. Liker, Muda, Mura, dan Muri. Mereka ini adalah pemborosan yang mungkin terjadi dalam suatu pekerjaan. Dalam konteks buku ini tentu saja berbicara pekerjaan di manufaktur, namun bukan berarti bisa kita terapkan dalam organisasi biasanya kan? Berikut merupakan sedikit ilustrasinya:

  • Muda (Wastefulness)

Pemborosan dalam pekerjaan yang artinya melakukan hal yang tidak perlu atau non-value added activities. Definisinya sendiri yakni aktivitas-aktivitas yang tidak ada memberi nilai tambah pada tujuan kita. Dalam prinsip Toyota Way, didefinisikan sendiri 7 Waste terdiri dari: defect, waiting time, motion, inventory, overprodution, overprocessing, & transportation.

Jika dikonteks-an kepada pekerjaan berkemahasiswaan mungkin kita harus mulai mengurangi hal-hal yang memang tidak ada nilai tambahnya, bahkan jika diambil hikmahnya, tidak ada sama sekali. Walaupun semua pasti ada hikmahnya ya. Namun dalam kondisi ini, tuntutan untuk merampingkan pekerjaan menjadi lebih nyata kebutuhannya.

Defect dalam konteks kemahasiswaan mungkin produknya yang gagal atau tidak sempurna. Kelelahan berpengaruh terhadap kualitas pekerjaan kita (termasuk meeting). Bisa jadi hasil meeting tidak seperti yang kita ekspektasikan karena rapat dalam kondisi lelah yang akhirnya justru membuat harus adanya meeting yang lain.

  • Mura (Imbalance)

Mura artinya ketimpangan pada pekerjaan atau pembebanan pekerja. Model kerja yang start-speed up-stop cenderung membuat pekerja kelelahan, stres, atau breakdown. Mengapa? Karena pada suatu waktu dia harus meningkatkan kapasitasnya (overload) dan suatu waktu dia harus bekerja di bawah kapasitasnya. Jadwal yang tidak biasa ini moderately associated dengan work stress (Golden, 2015).

Kalau di grafik di atas ya terlihat bahwa jadwalnya berdasarkan pekerjaannya tidak tetap, dalam 7 hari naik turun, bahkan ada yang over-capacity. Adanya Muda pun cenderung menghasilkan Mura.

  • Muri (Overload)

Muri adalah pembebanan berlebih pada sumber daya. Hal ini tentu saja meningkatkan kemungkinan terjadinya kelelahan dan stres. Bukan cuman itu, kelebihan beban kerja bisa jadi juga membuat pekerja tersebut kehilangan minatnya pada pekerjaan tersebut (Tahir et al., 2020).

Dalam grafik tersebut dapat kita lihat bahwa terjadi muri pada hari ketiga.

Bagaimana cara mengurangi Muda, Mura, dan Muri tadi?

  • Tentu saja mengidentifikasi Muda, Mura, dan Muri pada pekerjaan kita semua.
  • Singkirkan muda yang mungkin akan terjadi. non-value added activites yang ada dalam pekerjaan-pekerjaan kita. Baik secara mikro maupun makro. Misalnya saat rapat kita malah membahas hal-hal yang tidak substansial. Di saat seperti ini, rapat menjadi lebih singkat dan efektif merupakan tuntutan. Walaupun dilakukan secara online, ya lelahnya sama, karena sama-sama mikir. Atau proses-proses dalam proker yang mungkin udah tidak perlu lagi.
  • Menggunakan tools secara visual dalam brainstorming dapat membantu mempercepat proses ideasi. Hal ini bisa membantu agar proses ‘mikir’ lebih cepat dan kreatif, atau bahkan proses ‘mikirnya’ gak dilakukan di rapat.
  • Selain itu, visual pun dalam buku The Toyota Way dibahas, dapat membantu proses implementasi lean. Mengapa? Karena mempercepat proses berpikir atau mencari sesuatu, yang sering banget membuat kita jadi lama.

Bagaimana dengan Mura dan Muri? Saya ingin memperkenalkan kepada teman-teman terkait Heijunka. Dalam bahasa inggrisnya sendiri yakni leveling production.

Sumber: http://www.leanlab.name/what-is-leveling---heijunka

Tujuan dari Heijunka sendiri yakni meratakan beban dari waktu ke waktu. Alhasil akhirnya mengurangi terjadinya fluktuasi dari beban kerja, akhirnya mengurangi yang namanya Mura dan Muri.

Salah satu cara yang bisa ditempuh yakni dengan membagi pekerjaan-pekerjaan menjadi small batch. Berikut ilustrasinya jika di dalam produksi.

Sumber: https://gqsystems.eu/blog/what-is-heijunka

Sehingga pekerjaan-pekerjaan terbagi menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil yang akhirnya tidak perlu dihabiskan dalam satu waktu.

Jika dikonteks-an ke organisasi mahasiswa. Misal contohnya kajian, jangan sampai dibahabiskan dalam satu waktu yang sama aja. Tapi ya dibuat milestones-nya, jadi capaian-capaian kecil. Sehingga akhirnya kajian tersebut dapat dibagi-bagi ke waktu yang berbeda.

Hal ini cenderung juga menjaga kualitas kajian karena bisa jadi kualitas pikiran peserta kajian di awal, tengah, dan akhir kajian jika tidak sama. Begitu juga dengan tingkat partisipasi. Jika dilakukan misanya maksimal dua jam sekali, bisa jadi justru tingkat kualitas partisipasi dan pikirannya sama, akhirnya menghasilkan kualitas kajian yang terjaga.

Pada akhirnya pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak harus diselesaikan dalam satu waktu yang sama, namun bisa digeser ke waktu-waktu yang lain sehingga jadwal menjadi lebih seimbang. Seperti diilustrasikan di bawah ini.

Kecenderungan untuk stres akhirnya terkurangi. Begitu juga dengan dampak-dampak lain dari stres seperti working conditions dan hubungan yang buruk akibat stres tersebut.

Grafik yang paling kanan diasumsikan memang orang akan butuh banyak istirahat di weekend karena sudah bekerja sesuai kapasitasnya pada weekday. Selain itu, mempertimbangkan kapasitas orang beda-beda juga kan tiap harisnya tergantung mood. Intinya biar gak ada kerjaan di atas kapasitasnya.

Atau mungkin agar semakin mengurangi Mura, dibuat beban pekerjaannya selama tujuh hari seperti di bawah ini.

Beban pekerjaan yang sama di setiap harinya selama satu minggu mungkin cenderung membuat terciptanya work-life balance dan ini baik untuk performa anggota tersebut (Bataineh, 2019). Akan lebih bagus lagi kalau dikasih hari libur yang sudah terjadwal dengan baik (Hearn, 2016).

Menariknya dari hal-hal yang ada di atas yakni, hal ini tidak hanya bisa dilakukan saat pandemi, bahkan dalam keadaan normal juga ya memang harusnya beginni. Namun ketika terjadi pandemi, hal-hal seperti ini (penyelarasan kerja) menjadi sesuatu yang urgent untuk diterapkan karena manusia yang akhirnya rentan stres dan kapasitas kerjanya menjadi berkurang.

Masalahnya selama ini kita tidak biasa dengan hal tersebut. Jangankan mengatur workload agar seimbang, mempertimbangkan hal tersebut saja mungkin masih belum tentu.

Adanya penyelasaran ini semoga menjadi hal yang normal nantinya setelah pandemi tidak ada. Bisa dimulai dari sekarang, dilanjutkan untuk nantinya.

Mungkin masih banyak permasalahan-permasalahan lain dalam mengelola manusia di masa pandemi ini seperti:

  • Kebosanan yang semakin menjadi-jadi. Di sini mungkin program-program engagement secara online bisa dilakukan, semoga teman-teman bisa sekreatif mungkin mengadakannya.
  • Masalah komunikasi. Penting bagi teman-teman untuk menjaganya dalam satu organisasi. Lakukan video conference jika perlu dalam melakukan rapat atau menyampaikan sesuatu.
  • Masalah komunikasi dan kebosanan (wkwk). Teman-teman bisa cari cara baru untuk brainstorming atau ideation. Salah satu yang udah dicoba mungkin menggunakan tools-tools yang tersedia di miro.com (sumpah bukan endorse). Tapi ini pernah dicoba oleh saya sendiri dan cukup efektif akhirnya untuk melahirkan ide-ide segar pada masa sekarang ini. Begitu juga dengan pemberian kerja, mungkin bisa menggunakan trello untuk berkomunikasi terkait pekerjaan. Banyak platform lain yang mungkin akan teman-teman bisa explore di masa sekarang ini.

Akhir kata, semoga teman-teman yang membaca sampai sini masih bisa semangat dalam berkemahasiswaan dan menjaga teman-temannya juga. Jangan sampai kondisi ini akhirnya membuat deadlock dan membuat organisasi teman-teman vacuum. Tentunya harus punya semangat lebih untuk berjuang di masa-masa seperti ini.

Namun perlu jadi catatan, adanya penurunan produktivitas di saat seperti ini menjadi hal yang biasa, tidak apa-apa, manusiawi. Oleh karena itu tulisan ini hadir untuk mencoba ‘mengelola’-nya. Semoga bisa jadi jalan keluar.

Tetap semangat,
this too, shall pass

Referensi:

Aseanty, Deasy, Impact of Working Ability, Motivation and Working Condition to Employee’s Performance; Case in Private Universities in West Jakarta (April 30, 2016). OIDA International Journal of Sustainable Development, Vol. 09, №04, pp. 35–42, 2016. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2776866

Bataineh, K. A. (2019). Impact of Work-Life Balance, Happiness at Work, on Employee Performance. International Business Research, 12(2), 99. doi: 10.5539/ibr.v12n2p99

Brooks, S. K., Webster, R. K., Smith, L. E., Woodland, L., Wessely, S., Greenberg, N., & Rubin, G. J. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. The Lancet, 395(10227), 912–920. doi: 10.1016/s0140–6736(20)30460–8

Golden, Lonnie, Irregular Work Scheduling and Its Consequences (April 9, 2015). Economic Policy Institute Briefing Paper №394. Available at SSRN: http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2597172

Hearn, Stuart. Performance Management: Why You Should Encourage Employee Holidays. (2016, October 24). Retrieved from https://talentculture.com/performance-management-why-you-should-encourage-employee-holidays/

Liker, J. K. (2008). The Toyota way: 14 management principles from the worlds greatest manufacturer. Auckland, N.Z.: Royal New Zealand Foundation of the Blind.

Mulqueen, M., & Psychologist. (2020, April 3). Coronavirus quarantine is harder the longer we’re told it will last. Retrieved from https://www.nbcnews.com/think/opinion/coronavirus-quarantine-harder-longer-we-re-told-it-will-last-ncna1173491

Tahir, Sehrish & Mdyusoff, Rosman & Azam, Assoc. Prof. Dr. Kamran & Anwar, Khan & Kaleem, Sonia. (2020). The Effects of Work Overload on the Employees’ Performance in relation to Customer Satisfaction: A Case of Water & Power Development Authority, Attock, Pakistan.

--

--

Ilham Muzakki
Beranda Pagi

A writer who shares stories from his life and work. Passionate about organization and personal development.