Bencana Datang Karena Pemerintah Egois

Ancha Hardiansya
Bicara.id
Published in
3 min readJan 27, 2019
Dua ekor bebek terjebak di tengah banjir Makassar, Selasa (22/1/2019) (By Ancha Hardiansya)

Hujan berintensitas tinggi melanda Sulawesi Selatan sejak Selasa (22/1/2019). Hanya berlangsung dua hari, banjir besar dan tanah longsor pun datang. 106 desa, 61 kecamatan dan 13 kabupaten/kota terdampak.

Mulai Gowa, Jeneponto, Maros, Kota Makassar, Soppeng, Wajo, Barru, Pangkep, Sidrap, Bantaeng, Takalar, Selayar hingga Sinjai terkena imbas bencana alam. Yang meninggal menembus angka 59 jiwa dan 25 orang masih dinyatakan hilang.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat per 25 Januari pukul 12.00 WIB, ada 6.596 orang yang menerima akibat bencana ini, 3.481 orang mengungsi dan 4.857 unit rumah terendam serta 11.876 hektare sawah yang gagal panen. Jumlah yang sangat jauh dari tragedi yang akibatnya sama 2004 silam.

Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menyebut penyebab banjir akibat pendangkalan Bendungan Bili-Bili. Wahana Lingkungan Hidup menilai bencana ini terjadi sebagai potret buruk pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang di Sulawesi Selatan.

Semuanya bukan hal baru. Kenaikan persentase sedimen sudah terjadi sejak longsor kaldera yang sama di 2004. Data Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWSPJ) yang mengawasi Bendungan Bili-bili pun telah mencatat perubahan ini sejak lama. Terjadi peningkatan 1,97% volume endapan sejak peristiwa itu.

Kajian Pengelolaan Dampak Sedimentasi DAS Jeneberang yang dilakukan Universitas Hasanuddin 2012 lalu bahkan menyimpulkan erosi pada Catchment Area Dam Bili-Bili pada tahun itu sudah mencapai 121,37 ton/ha/tahun. Angka erosi ini telah jauh melampaui angka erosi pada desain awal bendungan yang hanya 18 ton/ha/tahun.

Hasil kajian itu pun telah memperkirakan umur efektif bendungan kurang lebih 10 tahun. Apabila tidak segera dilakukan perbaikan kondisi lingkungan sebagaimana mestinya. Ternyata tidak perlu menunggu hingga 10 tahun untuk membuktikan hasil penelitian itu. Efeknya mengejutkan dan luar biasa.

Pemerintah tahu, tapi tidak melakukan langkah yang tepat. Ketua Palang Merah Indonesia Makassar Syamsu Rizal MI yang juga Wakil Wali Kota secara tersirat, mengakui ada yang keliru dalam sistem mitigasi bencana kita. Tapi tidak ingin menyebut secara spesifik apa yang sebenarnya terjadi.

Pada dasarnya, jika pemerintah mau, Undang-undang Nomor 24/2007 yang mengatur rencana tata ruang mempunyai peran penting dalam penanggulangan bencana. Tapi tidak ada ketegasan untuk menyelenggarakan itu.

Sebagai pengingat, bahwa UU 24/2007 itu mengamanatkan pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang yang harus mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar. Dan, masih diamanatkan oleh undang-undang yang sama, pemerintah harus memantau dan mengevaluasinya secara berkala.

Nyatanya, rencana tata ruang masih menjadi hutang bagi sejumlah daerah di negeri ini. Apalagi Sulawesi Selatan yang lebih mengedepankan politik ego sektoralnya. Rencana tata ruang yang seharusnya membutuhkan peta bencana dengan kesepakatan bersama masing-masing pihak tidak pernah benar-benar terjadi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi pun tidak selalu sejalan. Apa yang diinginkan provinsi seringkali berseberangan yang dilakukan pemerintah kabupaten kota. Dalam ruang lingkup bencana baru-baru ini misalnya, antara Gowa, Makassar dan Pemerintah Provinsi pun belum sepaham sepenanggungan.

Padahal, andai ini sejalan, sudah sejak lama menjalankan atau minimal membicarakan beberapa penelitian tentang Dam Bili-bili. Evaluasi atas rencana tata ruang yang sudah ada seharusnya dilakukan secara berkala.

Kesadaran untuk patuh terhadap peraturan-peraturan terkait tata ruang itu pun harus ditegakkan dengan tegas. Jangan ada tawar menawar yang hanya melayani kepentingan jangka pendek sambil mengabaikan potensi risiko bencana yang jelas-jelas telah dipetakan.

Demi kepentingan publik, pemerintah harus sudah membenahi rencana tata ruang yang lebih baik. Jangan lagi terjadi bencana yang menelan korban jiwa banyak hanya karena menjaga ego sektoral masing-masing.

--

--

Ancha Hardiansya
Bicara.id

I’m a Journalist in Indonesia. A big fan of coffee.