Ada Demo di Istana, Presiden Malah ke Palangkaraya

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
6 min readOct 8, 2020

Sejak RUU Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan menjadi undang-undang, Senin (5/10/2020), gelombang protes dari masyarakat sama sekali belum berhenti. Lebih dari 200 orang sudah diamankan polisi, termasuk mereka yang sebenarnya belum sempat berdemonstrasi. Namun, semangat tak surut. Hari ini, Kamis (8/10), massa berniat menyampaikan kegusaran mereka secara terpusat di depan Gedung DPR RI dan Istana Negara.

UU Ciptaker dinilai banyak pihak bermasalah. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Said Aqil Siradj, mengatakan UU Ciptaker itu merupakan bentuk penindasan terhadap rakyat kecil. Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Zaenal Arifin Mochtar, mengatakan UU Ciptaker cacat formil karena tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal. Apalagi, draf akhir RUU Ciptaker tidak dibagikan kepada anggota DPR usai disahkan di Sidang Paripurna.

Dalam UU Ciptaker tersebut terdapat sejumlah pasal yang dinilai merugikan masyarakat, baik dari segi ketenagakerjaan maupun lingkungan. Dari sisi ketenagakerjaan, poin-poin yang jadi sorotan adalah soal upah minimum, pesangon, outsourcing, sanksi untuk perusahaan, jam kerja, status kepegawaian, buruh asing, PHK, dan jaminan sosial.

Dari segi lingkungan, yang jadi problem terbesar adalah Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dalam RUU Ciptaker, dituliskan bahwa hanya usaha dengan risiko dampak tinggi yang perlu memiliki Amdal. Sebagai gantinya, perusahaan cuma perlu memberikan pernyataan kesanggupan mengelola lingkungan hidup. Selain itu, wewenang pemberian Amdal juga sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.

Selain itu, masih ada beberapa poin lain yang dianggap bermasalah, mulai dari soal pers sampai pertanian. Berbagai masalah itu memicu rakyat untuk bergerak. Karena UU baru resmi berlaku 30 hari setelah ditetapkan, rakyat masih memiliki kesempatan untuk terus mendesak Pemerintah serta DPR. Harapannya, UU bisa dicabut sebelum benar-benar berlaku.

Lalu, bagaimana jika 30 hari sudah terlewati? Ternyata, masih ada jalan untuk melawan UU tersebut. Menurut Zaenal, caranya adalah dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. “Karena UU ini secara nyata menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR berjalan membelakangi partisipasi publik,” terangnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Di tengah riuhnya perlawanan serta pembelaan terhadap UU Ciptaker, ada satu keheningan yang sebenarnya lebih memekakkan. Di mana Presiden Joko Widodo? Mengapa sama sekali tidak ada pernyataan darinya mengenai UU Ciptaker ini dan mengapa Presiden justru terkesan lari dari tanggung jawab dengan melakukan kunjungan ke luar kota?

Seperti yang dahulu diajarkan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, kita tahu bahwa RUU bisa diusulkan oleh pemerintah maupun DPR. Untuk Omnibus Law — di mana UU Ciptaker termasuk di dalamnya, menurut Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas di acara Mata Najwa, usulan datang dari pemerintah.

Jokowi, sebagai Presiden Republik Indonesia, adalah pemimpin dari pemerintah itu sendiri. Dia pun, ketika dilantik menjadi presiden untuk periode kedua, sudah menyatakan niat untuk menciptakan seperangkat aturan yang bisa menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Ini artinya, Jokowi punya tanggung jawab atas UU Ciptaker tersebut.

Presiden RI, Joko Widodo.

Sejauh ini, DPR masih menjadi fokus kemarahan publik. Wajar, karena DPR, secara teknis, merupakan wakil rakyat yang mestinya membela kepentingan rakyat. Namun, status itu tak membikin mereka memihak rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya. Dengan mengesahkan UU Ciptaker, DPR dinilai cuma memihak pengusaha dan investor.

Bahwa DPR menjadi sasaran utama kemarahan publik itu salah satunya bisa dilihat dari percakapan dunia maya. Pada Selasa (6/10), sehari setelah palu pengesahan diketuk, kata kunci yang isinya kritikan terhadap DPR ramai beredar, salah satunya “DPR Pengkhianat” yang dicuitkan lebih dari satu juta kali.

Akan tetapi, permintaan tanggung jawab kepada Presiden masih minim terdengar. Sejauh ini permintaan tanggung jawab itu baru muncul dari media massa seperti CNN Indonesia, Tirto, serta Kompas. Mengapa Jokowi diam saja dan justru pergi dinas ke luar kota?

Selama kisruh UU Ciptaker, nama Jokowi cuma disebut sekali, yaitu ketika dirinya dikabarkan menerima dua perwakilan buruh di Istana. Dua perwakilan buruh tersebut adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Namun, apa yang sebenarnya dibicarakan pun tak pernah sampai ke kuping publik.

Selebihnya Jokowi seperti menghilang. Dikabarkan, pada Rabu (7/10), Jokowi sedang pulang kampung untuk berkunjung ke makam ibundanya. Lalu pada hari ini, Kamis (8/10), dia dijadwalkan bertolak ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, untuk meninjau lumbung pangan.

Kegiatan Jokowi itu tentu menimbulkan pertanyaan. Kenapa harus sekarang pergi dinasnya? Kenapa kunjungan harus dilakukan saat situasi ibu kota sedang panas? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah dijawab oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Bey Machmudin, Rabu (7/10). Katanya, “Agenda presiden untuk food estate sudah dijadwalkan jauh-jauh hari. Jadi sama sekali tidak ada kaitan dengan aksi besok.”

Apa yang diucapkan Bey itu boleh jadi benar. Akan tetapi, sulit untuk mengenyahkan kesan bahwa Presiden sedang lari dari tanggung jawab. Apalagi, Kamis (8/10) rencananya menjadi puncak dari aksi penentangan terhadap UU Ciptaker. Aksi pun tak cuma digelar di Jakarta tetapi juga di berbagai daerah lain di seluruh Nusantara.

Dikutip dari Kompas, Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih berkata, “Presiden itu menghindar, enggak gentle, ya. Harusnya hadapi kami, dong, yang ingin ketemu. Katanya Presiden dari rakyat, katanya mau mendengarkan aspirasi rakyat, katanya jadi Presiden untuk rakyat? Harusnya itu (menemui buruh, red) dilakukan.”

Keheningan yang lahir dari bungkamnya Jokowi itu tercermin dari minimnya pemberitaan mengenai kegiatan sang presiden di media massa. Berita yang menyebut nama Jokowi memang sangat banyak (6.832 berita sejak Senin, 5 Oktober). Akan tetapi, berita yang menceritakan Jokowi sedang apa cuma muncul 23 kali sejak Selasa (6/10). Itu pun puncaknya baru hari ini, ketika dia sudah berada di Kalimantan Tengah.

Dari semua berita itu, yang bersentimen positif (12) sedikit lebih unggul dibanding dengan yang bersentimen negatif (8). Namun, sentimen positif dan negatif di sini tidak bisa diartikan mentah-mentah. Bukan berarti berita Jokowi pergi ke Kalimantan lantas menjadi negatif. Sentimen di sini ditentukan oleh seperti apa pembingkaian beritanya.

Nama Jokowi kerapkali disebut sejak pengesahan UU Ciptaker.
Akan tetapi, berita mengenai kegiatan Presiden Jokowi sendiri, di tengah maraknya protes terhadap UU Ciptaker, sepi.
Sentimen pemberitaan kunjungan Presiden Jokowi ke Palangkaraya.

Dari Tribun Bali dan Tribun Bangka, misalnya. Isi pemberitaan mereka kurang lebih sama. Yakni, Jokowi pergi ke Kalimantan saat puncak demo menolak UU Ciptaker terjadi. Namun, sentimen berita dari Tribun Bali negatif dan dari Tribun Bangka positif. Ada perbedaan dalam judul yang membuat sentimen yang dihasilkan juga berbeda.

Adapun, berita mengenai kepergian Jokowi itu sampai Kamis (8/10) siang WIB baru muncul di media daring. Lima puluh lima persen berita menghasilkan sentimen positif, 36 persen menghasilkan sentimen negatif, dan sisanya netral. Sebagian besar baru memberitakan soal kepergian Jokowi tadi. Cuma sedikit yang memberitakan respons terhadapnya.

Selain Kompas yang mewartakan tanggapan buruh terhadap kepergian Jokowi, berita berupa respons lain muncul dari Kanal Kalimantan yang mengabarkan tanggapan Ulil Abshar Abdalla atas tindakan sang presiden. Lewat akun Twitter-nya, intelektual NU itu mengkritik sikap Jokowi yang dinilainya tidak sopan.

“Eloknya, ya, menurut adab Jawa, jika sedang kedatangan “tamu”, ya, Pak Presiden tidak malah “nglungani”, pergi, untuk menengok food estate di Kalteng. Walau ndak menemui para pendemo, minimal secara simbolis Pak Presiden ada di istana. Itu adabnya. Itulah fatsoen (etika, red) politik,” tulis Ulil.

Your move, Mr. President.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.