Akankah UU ITE Direvisi?

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
7 min readFeb 18, 2021

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan UU ITE kembali menjadi perbincangan publik. Hal itu diawali dengan pernyataan dan permintaan Presiden Joko Widodo agar pemerintahannya dikritik oleh masyarakat jika ada kebijakan yang melenceng.

Sejatinya, menurut kumparan.com UU ini merupakan hasil kombinasi dari dua Rancangan Undang-undang atau RUU yaitu (1) RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dari Universitas Padjajaran atas arahan dari Departemen Komunikasi dan Informasi dengan bekerja-sama dengan Institut Teknologi Bandung dan (2) RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dari Universitas Indonesia atas arahan dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Lalu kedua RUU tersebut digabung dan disinkronisasi kembali oleh tim yang dipimpin oleh Prof. Ahmad M Ramli SH sebagai utusan dari Presiden kala itu yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan berhasil diberlakukan tertanggal sejak 21 April 2008 sebelum akhirnya diperbarui dengan Undang-undang №19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang №11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal Karet

Kelahiran UU kontroversial ini dimaksudkan untuk meregulasi tata cara penggunaan, penyimpanan, dan penyebaran data digital yang saat itu belum memiliki payung hokum termasuk mengatur juga akses untuk internet (cyberlaw). Nah ada beberapa pasal, yakni pasal 27 ayat 1 (memuat konten melanggar kesusilaan), pasal 17 ayat 3 (pencemaran nama baik), pasal 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian), dan pasal 29 (ancaman kekerasan) yang dianggap multitafsir atau yang dikenal dengan pasal karet, yang justru digunakan untuk menjerat lawan politik. Beberapa pasal sakti ini kerap digunakan untuk menjerat orang-orang yang bersengketa baik antar personal maupun mereka yang berseberangan dengan pemerintah, istilah umumnya, “dikriminalisasi.”

SAFEnet mencatat sejak disahkan pada 2008 hingga 2020, jumlah kasus pemidanaan terkait undang-undang ini mencapai 323 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama Covid-19 mewabah di Indonesia, yaitu 110 tersangka.

Sumber: Safenet

Banyak contoh kasus yang lahir dari laporan dengan UU ITE. Salah satu yang paling fenomenal adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat berkampanye di Kepulauan Seribu untuk pencalonan menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2016. Meski jaksa hanya menjerat dengan pasal penistaan agama, kasus ini menjadi bukti bahwa pasal 27 UU ITE kerap digunakan secara serampangan.

Kasus ngawur lainnya menimpa Baiq Nuril Maknun, seorang mantan pegawai tata usaha (TU) di SMAN 7 Mataram. Baiq dilaporkan oleh atasannya sendiri, Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, H. Muslim atas kasus pencemaran nama baik karena menyebarkan rekaman percakapan keduanya. Baiq dijerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE (pornografi) karena dianggap menyebarkan konten pornografi. Kasusnya pun bergulir hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), Baiq dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

UU ITE juga dipakai untuk menjerat personal yang berseberangan dengan pemerintah. Salah satu kasusnya adalah penetapan Dandhy Dwi Laksono, seorang aktivis cum wartawan yang dipolisikan karena cuitannya. Dandhy dianggap menebarkan kebencian bernada SARA usai mengunggah foto-foto terkait kerusuhan di Wamena dan Jayapura. Menurut polisi, Dandhy memprovokasi massa dengan cuitannya, padahal ia mengunggah 5 jam setelah kejadian tersebut. Polisi menjeratnya dengan pasal 28a UU ITE.

Amankah mengkritik pemerintah?

Jika pertanyaan di atas dilontarkan saat ini, pemerintah akan menjawab “aman.” Justru, Presiden meminta masyarakat untuk memberi masukan agar pelayanan publik berjalan lebih baik. Pernyataan lebih tegas dilontarkan oleh Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang menekankan pemerintah memerlukan kritik yang pedas dan keras.

Hal tersebut ditanggapi oleh sejumlah pihak, termasuk Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK sempat menanyakan bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Baru menanyakan hal itu saja, JK sudah diserang buzzer atau pendengung pemerintah. Pemerintah pun merespon hal ini. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, meminta masyarakat tak perlu khawatir memberikan kritik kepada pemerintah selama berbasis data dan fakta. Sejauh ini, ketakutan terbesar masyarakat dalam menyampaikan kritik pada pemerintah adalah ancaman bui dengan menggunakan pasal karet di UU ITE. Belakangan, muncul suara-suara yang mendukung revisi di pasal tersebut. Suara yang sejatinya sudah digaungkan sejak lama.

Fadjroel Rachman, Juru Bicara Presiden RI, mengatakan Presiden Joko Widodo mendengar aspirasi dari seluruh pihak terkait pelaksanaan Undang-undang ITE yang dinilai belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Menko Polhukam Mahfud MD, melalui cuitannya juga menyatakan pemerintah akan memulai inisiatif revisi UU ITE.

Salah satu pendukung revisi UU ITE adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Partai Golkar, Azis Syamsudin yang menganggap banyaknya pasal karet dan tidak berkeadilan serta multitafsir. Sesuai mekanisme yang berlaku, pemerintah dapat mengusulkan revisi UU ini kepada DPR. Jika Wakil Ketua DPR RI saja berpikir demikian, berarti anggapan masyarakat tentang pasal karet di UU ITE bisa jadi ada benar adanya.

Presiden pun memerintahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk membuat pedoman pelaksanaan UU ITE di Kepolisian agar seluruh anggota Kepolisian tidak memiliki penafsiran sendiri-sendiri. Sebab, penafsiran yang beragam menjadikan UU ITE sebagai pasal untuk saling lapor dan mengkriminalisasi. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun mengamini hal ini. Ia menyatakan, penggunaan UU ITE belakangan ini sudah tidak sehat. Sedikit telat memang, tapi polisi menyatakan akan lebih proporsional dan berhati-hati dalam penggunaannya.

Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung malah meminta presiden untuk merubah cara berpikir ketimbang merevisi UU ITE. Menurut Rocky, selama ini UU ITE hanyalah alat untuk mengontrol oposisi, padahal seharusnya presiden memulihkan dulu hak-hak dan menghormati oposisi sehingga demokrasi bisa berjalan.

Pantauan Media

Sejak Presiden Jokowi meminta pemerintahannya untuk dikritik saat berpidato di peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2), muncul gelombang protes dari masyarakat bermunculan perihal buzzer dan penggunaan UU ITE yang mengekang kebebasan berpendapat mereka. Dari pantauan Newstensity, dengan kata kunci UU ITE, buzzer, dan pasal karet, nada sumbang masih menghiasi sentiment pemberitaan UU ITE di berbagai media.

Hingga Selasa (16/2), berita terkait isu UU ITE terangkum sebanyak 3,234 berita. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, berita mengenai UU ITE didominasi oleh sentiment negatif. Mayoritas media mengangkat headline negatif seperti tempo.co, suara.com, dan okezone.com. Berita negatif tersebut didominasi pemberitaan mengenai sikap pemerintah yang dianggap antikritik dengan kehadiran buzzer yang menyerang oposisi maupun pihak yang mengkritisi pemerintah. Desakan tentang pencabutan pasal karet di UU ITE juga banyak diangkat oleh media.

Pemberitaan positif media mulai bermunculan setelah muncul inisiatif revisi UU ITE dari Istana. cnnindonesia.com sebagai contohnya, memuat pujian JK kepada Jokowi untuk merevisi UU tersebut. Kemudian berita kompas.com yang menyebutkan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD akan berinisiatif melakukan revisi UU ITE.

Secara rinci berikut adalah persebaran tonalitas berita UU ITE di kanal media daring, media cetak, dan televisi.

Sentimen negatif menghiasi pemberitaan UU ITE di berbagai kanal media. Jumlah terbanyak muncul di media daring dengan sentiment negatif mencapai 70% dari total berita. Bukan hal aneh jika pemberitaan negatif mendominasi isu ini, termasuk pembicaraan di Twitter mengenai topik ini. Jumlah sentiment negatif di Twitter mencapai 69% dibandingkan sentiment positif sebanyak 1% dan sentiment netral sebanyak 30%.

Dari sisi person yang banyak disebutkan dalam pemberitaan UU ITE ini adalah Presiden Joko Widodo, mantan Wapres Jusuf Kalla, dan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman.

Secara share of media, pemberitaan dari media daring mendominasi hingga 95%, kemudian media cetak sebanyak 5% dan media TV di bawah 1%. Media daring yang paling banyak memberitakan adalah netralnews.com dengan 118 berita sedangkan media cetak dengan pemberitaan terbanyak adalah Rakyat Merdeka dengan 17 berita.

Isu revisi UU ITE ini pada dasarnya tidak sengaja terangkat jika bukan karena pidato Presiden tentang ajakan mengkritik pemerintahannya agar lebih baik dalam melayani publik. Masyarakat meresponnya dengan melemparkan protes agar UU ITE yang dianggap banyak memiliki pasal karet (dan diamini oleh para pejabat) untuk direvisi agar demokrasi tetap terjaga.

Permintaan masyarakat sedikit banyak direspon pemerintah saat Presiden meminta Kepolisian membuat pedoman mengenai implementasi UU ITE dan inisiatif revisi UU ITE melalui Menko Polhukam Mahfud MD. Saat ini publik hanya punya dua pilihan, mengkritik di media sosial tapi dikejar buzzer atau mengkritik secara terbuka tapi dibayangi oleh UU ITE. Silakan dipilih!

--

--