“All Eyes On Papua” : Bukan Sebuah Slogan Tetapi Bentuk Perlawanan Masyarakat Adat

catur noviantoro
Binokular
Published in
9 min readJun 13, 2024
credit : Aan Riyadi

Belakangan ini media sosial X dan Instagram ramai menggaungkan kampanye “All Eyes on Papua”. Poster dan tagar “All Eyes on Papua” bergema di media sosial X dan Instagram untuk menyuarakan aksi solidaritas publik terhadap Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, yang tengah berupaya mempertahankan tanah ulayat seluas 36.094 hektare atau setara setengah area Jakarta, dari rencana ekspansi perusahaan kelapa Sawit PT. Indo Asiana Lestari (IAL) yang dimiliki dua perusahaan asal Malaysia dengan Mandala Resources sebagai pengendali utama.

Upaya perlawanan masyarakat adat, khususnya masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi tidak terlepas dari keinginan mempertahankan hutan adat yang memiliki peran vital. Hutan, bagi masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi, menjadi sumber kehidupan yang penting. Hutan menyediakan pangan, air, dan hasil hutan lainnya yang menjadi penopang hidup masyarakat adat. Selain itu, hutan juga menjadi habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.

Selain mengancam sumber kehidupan dan rumah bagi masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi, proyek perkebunan sawit PT IAL menimbulkan kekhawatiran yang lain, yaitu menghasilkan emisi 25 juta ton CO2. Jumlah emisi tersebut sama dengan menyumbang 5% dari tingkat emisi karbon tahun 2030. Hal ini tentu akan memperparah dampak krisis iklim di tanah air dan dunia.

Jalan Panjang Perlawanan Masyarakat Adat

“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan, “kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu dalam protesnya di depan Gedung Mahkamah Agung, pada 27 Mei 2024. Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena menggeluarkan izin kelayakan lingkungan Hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Selain perkara PT IAL, sejumlah Masyarakat Adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

Aksi damai di Jakarta pada 27 Mei 2024 lalu bukan upaya perlawanan pertama Hendrikus Woro dan Suku Awyu terhadap pemberian izin perkebunan sawit di wilayah adat mereka. Dua tahun terakhir, perlawanan Suku Awyu mempertahankan hutan adat terus menemui rintangan. Pada 2 November 2023, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Jayapura memutuskan menolak gugatan pemimpin warga Moro dari Suku Awyu, Hendrikus Woro, terkait lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL.

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim yang dipimpin Merna Cinthia menyatakan dalil penggugat Hendrikus Woro bahwa SK Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Papua tentang izin kelayakan perkebunan Kelapa Sawit oleh PT Indo Asiana Lestari bertentangan dengan asas kearifan lokal, kelestarian, kehati-hatian, dan keadilan “tidak relevan”. Padahal, amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa. Pertimbangan hukum lainnya adalah hakim menyebut penerbitan SK Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Papua tentang izin kelayakan perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari “telah sesuai secara prosedur dan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”.

Setelah mengalami kekalahan di PTUN Jayapura, Masyarakat Adat Suku Awyu harus kembali menelan pil pahit untuk kedua kalinya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado menolak banding gugatan lingkungan Hidup dan perubahan iklim yang dilayangkan Hendrikus Woro. Majelis Hakim PTTUN Manado menolak gugatan lantaran menganggapnya sudah melewati batas waktu. Menurut majelis hakim, gugatan Hendrikus Woro ke PTUN Jayapura melebihi tenggat 90 hari sejak diketahuinya objek sengketa, yakni izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT IAL. Hendrikus Woro mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023.

Meski harus mengalami kekalahan yang bertubi-tubi, Hendrikus Woro tak berhenti mencari keadilan demi mempertahankan hutan adat dari rencana ekspansi perusahaan sawit. Hendrikus kembali menempuh jalur perlawanan selanjutnya dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam perkara sengketa izin lingkungan hidup yang diberikan kepada PT IAL. Memori kasasi tersebut dilayangkan melalui PTUN Jayapura pada tanggal 14 Maret 2024.

Anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua yang juga menjadi kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu, Tigor G. Hutapea, mengatakan hasil kasasi ini menjadi pertarungan selanjutnya bagi masyarakat adat Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka. Tigor berharap Mahkamah Agung melihat gugatan ini dengan mengacu pada pedoman peradilan perkara lingkungan hidup yang sebelumnya mereka keluarkan.

Suku Awyu dalam perjuangannya melawan korporasi sawit tidaklah sendiri. Senasib dengan Suku Awyu, sub Suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.

Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.

Ramainya “All Eyes On Papua” di media sosial dan media massa turut menjadi perhatian pejabat negara, diantaranya Wakil Presiden RI yang merespon isu ini. Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin menekankan pentingnya komunikasi antara pemerintah daerah dengan kepala-kepala adat dan masyarakat dalam setiap rencana pembangunan di Papua. Wapres menegaskan bahwa pembangunan di Papua harus memperhatikan keberadaan dan kesejahteraan masyarakat adat, serta menghindari kebijakan yang dapat merugikan mereka.

Selain itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono juga memberikan pernyataan dalam menanggapi isu “All Eyes on Papua”. “Terkait All Eyes On Papua, prinsipnya begini karena kemarin juga saya ditanya pertanyaan serupa, Papua adalah wilayah Indonesia yang mulia, unik, harus kita jaga kehormatannya, kemuliaannya dan tentunya kita ingin masyarakat Papua juga hidup dengan baik dan sejahtera,” ujar AHY, di Jakarta, Jumat.

Kembali Disebutnya Proyek Tanah Merah

Ramainya “All Eyes on Papua” di media sosial dan media massa belakangan ini juga dikaitkan dengan Proyek Tanah Merah di Boven Digoel. Proyek Tanah Merah berawal dari izin lokasi skala besar yang diberikan Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo pada 2007. Luasnya mencapai 280.000 ha atau 10% dari luas kabupaten. Lokasi Proyek Tanah Merah membentang diantara Kali Digoel hingga mendekati Kali Mappi.

Melansir dari Laman The Gecko Project, PT Indo Asiana Lestari merupakan satu dari tujuh perusahaan yang hendak menguasai lahan Proyek Tanah Merah di Boven Digoel. PT Indo Asiana Lestari adalah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh dua perusahaan Malaysia. Pemilik saham mayoritasnya adalah Mandala Resources, sebuah perusahaan cangkang yang terdaftar di Kota Kinabalu, Malaysia.

Perusahaan Mandala Resources itu dimiliki oleh dua pria yang juga memiliki perusahaan kontraktor dalam pengembangan sawit. Sementara pemegang saham minoritasnya adalah PT Rimbunan Hijau Plantations Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu tidak dapat ditelusuri secara online karena tidak ada informasi terkait.

Sementara itu, PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) merupakan perusahaan di bawah naungan Mega Masindo Group. Perusahaan tersebut satu naungan dengan PT Papua Lestari Abadi (PLA) yang izinnya pernah dicabut Bupati Johny Kamuru pada 2019 lalu.

Melansir dari laman Project Multatuli, laporan Greenpeace menyebutkan Mega Masindo Group adalah sebuah grup perusahaan yang dikendalikan oleh Paulus George Hung. Dia adalah seorang pengusaha pembalakan kayu di Tanah Papua. Hung masuk dalam daftar pelaku usaha yang diduga melakukan pembalakan liar dan menjadi sasaran Operasi Hutan Lestari pada 2006.

Tren Deforestasi Hutan Papua

“All Eyes On Papua” membuat kita membuka mata terhadap ancaman besar deforestasi di Papua. Laporan “Menatap ke Timur : Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua” oleh Yayasan Auriga Nusantara pada 2021 mengungkapkan, dalam dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 hektare, 29% terjadi pada 2001–2010 dan 71% 2011–2019. Dengan rerata deforestasi 39.918 hektare pertahun. Dengan deforestasi tertinggi terjadi pada tahun 2015 yang menghilangkan 89.881 hektare hutan alam Papua.

Laporan dari Yayasan Auriga Nusantara juga mengungkapkan bahwa 87% deforestasi di Papua pada 2001–2019 terjadi di 20 kabupaten, atau diseparuh total kabupaten di regio ini. Deforestasi terbesar terjadi Kabupaten Merauke (123.049 ha), diikuti Kabupaten Boven Digoel (51.600 ha).

Beberapa penyebab utama menyusutnya luas hutan alam adalah pemberian izin perkebunan sawit dan pertambangan. Selain itu juga disebabkan pengelolaan kawasan hutan, pembangunan infrastruktur, pengendalian dan pengawasan produksi hutan kepada pemda, serta pemekaran wilayah administratif.

Hutan alam adalah sebutan untuk hutan yang vegetasinya (pertumbuhan) terjadi tanpa atau dengan sedikit campur tangan manusia. Dari 88 juta hektar sebaran hutan alam nasional, 33,8 juta ha berada di Tanah Papua atau setara dengan 38 persen dari luas hutan alam nasional. Proporsinya adalah 24,9 juta ha berada di Papua atau setara dengan 28,4 persen dan 8,85 juta ha berada di Provinsi Papua Barat atau setara dengan 10,06 persen.

Menggema di Media Sosial

Grafik 1. Statistik keyword “All Eyes On Papua”, “suku Awyu, #Alleyesonpapua dan #lindungihutanpapua.” di X periode 27 Mei- 10Juni 2024 (sumber: Socindex)

“All Eyes On Papua” menjadi topik yang ramai dibicarakan warganet di X. Socindex menangkap perbincangan dengan keyword “All Eyes On Papua”, “suku Awyu, #Alleyesonpapua dan #lindungihutanpapua. Hasilnya, kata kunci “All Eyes On Papua”, “suku Awyu, #Alleyesonpapua dan #lindungihutanpapua menghasilkan 326.570 engagements, 1.725 ribu talk (comment dan tweet),dan 199.420 juta likes dari 2,576 juta audiens.

Grafik 2. Grafik engagement keyword “All Eyes On Papua”, “suku Awyu, #Alleyesonpapua dan #lindungihutanpapua.” di X periode 27 Mei- 10Juni 2024 (sumber: Socindex)

Puncak engagement perbincangan terkait “All Eyes On Papua” di X terjadi pada tanggal 31 Mei 2024 dengan 122.336 engagement. Tingginya perbincangan ini dipicu oleh cuitan akun penggemar K-POP yang turut menyuarakan aksi solidaritas terhadap perlawanan Suku Awyu dan Suku Moi, yang tengah berupaya mempertahankan tanah ulayat dari rencana ekspansi perusahaan kelapa Sawit PT. Indo Asiana Lestari.

Gambar 1. Tangkapan layar cuitan yang mendukung “All Eyes On Papua” (sumber: X)
Grafik 3. Daftar top tweet berdasarkan likes keyword “All Eyes On Papua”, “suku Awyu, #Alleyesonpapua dan #lindungihutanpapua.” di X periode 27 Mei- 10Juni 2024 (sumber: Socindex)

Cuitan akun @projectm_org menjadi cuitan dengan likes terbanyak dengan 54,3 ribu likes. Akun Project Multatuli membuat sebuah utas mengenai reportase khusus mengenai masyarakat adat melawan perusahaan sawit. Dari daftar 5 teratas seragam menyuarakan dukungannya dalam aksi solidaritas terhadap perlawanan Suku Awyu dan Suku Moi, yang tengah berupaya mempertahankan tanah ulayat dari rencana ekspansi perusahaan kelapa Sawit PT. Indo Asiana Lestari.

Grafik 4. Linimasa berita All Eyes on Papua. Sumber: Newstensity

Tidak hanya ramai di media sosial, isu ini menghiasi media massa sepekan terakhir. Hasil pemantauan Newstensity dengan kata kunci “All Eyes on Papua” periode 27 Mei — 10 Juni 2024 menemukan 427 berita yang didominasi sentimen positif sebanyak 262 berita atau 61%. Puncak pemberitaan terjadi pada tanggal 4 Juni 2024 dimana “All Eyes on Papua” mulai banyak diperbincangkan dan didukung oleh artis-artis. Setelah itu, isu perlahan menurun.

Grafik 5. Entitas teratas isu All Eyes On Papua. Sumber: Newstensity

Hendrikus Woro menjadi entitas yang paling banyak disorot untuk topik “All Eyes on Papua” dengan 79 pemberitaan. Hendrikus Woro pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu ini sebagai yang menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena menggeluarkan izin kelayakan lingkungan Hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Sebagai bentuk perlawanan untuk mempertahankan hutan adat mereka. Kemudian dari perwakilan pemerintah sendiri ada Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono. Kedua tokoh ini muncul karena menanggapi isu mengenai “All Eyes on Papua”.

Penutup

Terinspirasi dari perlawanan modern Palestina di media sosial, “All Eyes On Papua” menjadi simbol perlawanan masyarakat adat Papua terhadap upaya korporasi sawit membabat habis hutan yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Perjuangan Suku Awyu dan Moi untuk mempertahankan hutan adat bukan hanya soal tanah, tetapi juga mengenai menjaga warisan budaya, identitas, dan kelestarian lingkungan yang memiliki dampak global. Meskipun menghadapi kekalahan bertubi-tubi di ranah hukum, tekad Hendrikus Woro dan masyarakat adat lainnya tidak surut. Bola liar saat ini ada di tangan Mahkamah Agung, momen penentu apakah mereka turut menjadi pelaku perusakan alam atau berdiri bersama warga Papua.

--

--