Khoirul Rifai
Binokular
Published in
9 min readNov 2, 2023

--

Ancaman Senyap Cacar Monyet

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia kembali mengumumkan adanya kasus cacar monyet (Monkeypox) di Indonesia pada 13 Oktober 2023. Ini merupakan pengumuman pertama tentang temuan kasus cacar monyet di tahun 2023, setelah sempat membuat heboh di tahun 2022 dengan penemuan kasus pada Agustus 2022. Kasus pertama di tahun 2023 ini ditemukan di wilayah DKI Jakarta dan angkanya terus bertambah.

Per Selasa, 31 Oktober 2023, menurut catatan Kemenkes, terdapat 21 kasus yang tersebar di Jakarta, Tangerang Selatan, dan Bandung seperti keterangan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Rinciannya, 22 pasien di DKI Jakarta, 4 pasien di Banten, dan satu pasien baru di Bandung yang baru saja terkonfirmasi per tanggal 30 Oktober 2023. Penemuan kasus di luar Jakarta mengindikasikan penyakit ini sudah menyeberang keluar ibu kota sejak pertama kali diobservasi pada 13 Oktober 2023.

Menanggapi penyebaran keluar daerah ini, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu mengatakan Kemenkes tengah melakukan berbagai penanganan, termasuk surveilans untuk mendeteksi kasus aktif yang kemungkinan menyebar di dalam negeri. Namun, Maxi menyebut, butuh keterbukaan pihak yang paling berisiko agar surveilans lebih mudah dilakukan.

Grafik 1. Sebaran penyakit cacar monyet di Indonesia. Diolah dari data Kemenkes RI

Cacar monyet merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus Monkeypox. Kasus cacar monyet pada manusia pertama kali ditemukan pada 1970 di Republik Demokratik Kongo. Pada dasarnya, gejala awal cacar monyet mirip dengan gejala cacar lainnya, yaitu demam, sakit kepala, nyeri otot, kelelahan, ruam, dan lesi. Perbedaan utama antara keduanya adalah cacar monyet yang menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening. Gejala ini biasanya muncul dalam 7–14 hari setelah terinfeksi. Namun dalam beberapa kasus, gejala juga bisa muncul 5–21 hari setelah paparan. Mengutip dari laman Litbang Kemenkes, dalam 1–3 hari atau lebih, demam bisa disusul kemunculan ruam yang menyebar dari wajah lalu ke bagian tubuh lain.

Di samping itu, ada satu gejala unik yang membedakan cacar monyet dan cacar air biasa yakni pembengkakan kelenjar getah bening (limfadenopati). Penyakit bisa berlangsung selama 2–4 minggu. Penanganan yang dilakukan pemerintah adalah menerapkan isolasi ketat terhadap penderita sembari melakukan tracing kontak terdekat untuk meminimalisir persebaran.

Dalam upaya penanggulangan penyakit cacar monyet, Kemenkes melakukan sejumlah usaha seperti memperketat surveilans dengan melakukan penyelidikan epidemiologi, pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS) terhadap kasus terkonfirmasi, serta melakukan notifikasi ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kemenkes juga mengintensifkan vaksinasi cacar monyet pertama terhadap 477 orang prioritas mulai 24 Oktober 2023. Vaksinasi ini dilaksanakan di sejumlah fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Langkanya kasus cacar monyet di Indonesia membuat persiapan pemerintah tidak maksimal. Sebab, ketersediaan vaksin hanya sebanyak 1.000 dosis yang berlaku untuk 500 orang. Angka itu sangat kurang di tengah persebaran cacar monyet yang terhitung cepat. Untungnya, dalam waktu dekat pemerintah akan mendapat tambahan vaksin dari negara-negara ASEAN sebanyak 2.000 dosis. Melihat perkembangan situasi belakangan ini, Kemenkes memprediksi kasus cacar monyet mencapai 3.600 kasus dalam satu tahun.

Persebaran di Kelompok Tertentu

Untuk rangkaian kasus di Indonesia beberapa waktu terakhir, persebaran cacar monyet ditemukan dalam lingkungan kelompok tertentu dengan ragam usia, jenis kelamin, dan orientasi seksual yang sama. Cukup beralasan saat Maxi meminta keterbukaan dari kelompok yang memiliki probabilitas tertular paling besar karena persebarannya berkaitan erat dengan aktivitas seksual sesama jenis. Keterangan ini sejalan dengan temuan Kementerian Kesehatan Inggris (UK Health Security Agency) yang menekankan kasus cacar monyet di Eropa mayoritas ditemui pada pria yang mengaku sebagai gay, biseksual, dan pria yang pernah berhubungan seksual sesama jenis. Kelompok ini juga yang paling gencar untuk ditelusuri.

Dari catatan Kemenkes, berdasarkan usianya, sebanyak 64% penderita cacar monyet berusia antara 25–29 tahun, dan 36% berusia 30–39 tahun. Seluruhnya merupakan laki-laki yang tertular atau menularkan melalui kontak seksual. BBC Indonesia menyebut, 14 pasien cacar monyet mengaku kepada petugas surveilans bahwa mereka melakukan hubungan seksual sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki. Adapun masing-masing dari dua pengidap cacar monyet lainnya mengaku biseksual dan heteroseksual. Hampir seluruh penderita cacar monyet ini sebelumnya telah mengidap HIV — virus yang secara umum melemahkan sistem imun manusia.

Berdasarkan temuan latar belakang di atas, Kemenkes disarankan memaksimalkan tracing cacar monyet pada kelompok-kelompok tertentu. Menurut pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, hampir seluruh penularan cacar monyet di Indonesia terjadi di orang-orang yang belum pernah mendapat vaksin cacar, melakukan hubungan seksual laki-laki dengan laki-laki, dan telah terdiagnosis positif HIV sebelumnya. Dengan demikian, prioritas penanganan bisa menyasar kelompok dengan karakter tersebut.

Dengan terbatasnya potensi persebaran di kelompok-kelompok tertentu, cacar monyet diperkirakan tidak menyebar masif Covid-19 yang bisa menyerang siapapun. Cacar monyet tersebar melalui kontak fisik erat antara pengidap dengan orang yang belum pernah terpapar. Windhu menambahkan ada keuntungan historis yang menjadi kekebalan alami sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap ancaman cacar monyet. Program Global Smallpox Eradication Program pada tahun 1967 yang memberi kekebalan cacar terhadap sepertiga penduduk Indonesia menjadi benteng alami bagi mayoritas penduduk. Dengan demikian warga yang lahir sebelum 1980 kemungkinan besar terlindungi dari risiko cacar monyet karena mereka telah menerima vaksin cacar yang dulu digelontorkan pemerintah untuk menghentikan wabah cacar.

Di Indonesia, kasus cacar monyet di Indonesia umumnya kasus impor yang dialami penderita setelah bepergian ke beberapa negara. Persebaran kasus ini sempat mengglobal sampai Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Mpox sebagai situasi kedaruratan kesehatan global (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) pada 23 Juli 2022, tetapi kemudian dicabut pada Mei 2023.

Tahun 2022 juga menandai pertama kali cacar monyet teridentifikasi di Indonesia seiring persebaran cacar monyet secara global. Sebagian besar kasus terkonfirmasi dengan penderita yang memiliki riwayat perjalanan ke negara-negara di Eropa dan Amerika Utara, dibandingkan ke Afrika Barat atau Tengah di mana virus cacar monyet mewabah. Pada tahun pertama meluasnya cacar monyet secara global, Kemenkes mencatat jumlah penderita sebanyak 75 orang yang terdiri dari 1 kasus konfirmasi, 1 suspek, dan 73 kasus diantaranya dinyatakan discarded (negatif).

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat mencatat ada 91.328 kasus cacar monyet secara global dalam rentang 1 Januari 2022–25 Oktober 2023. Dari seluruh kasus tersebut, sebanyak 89.358 kasus justru terjadi di tempat yang secara historis bukan endemik cacar monyet. Kasus yang terjadi di tempat endemik Afrika Tengah justru hanya 1.970 kasus. Artinya, persebaran global ini sudah sangat mengkhawatirkan.

Grafik 2. Statistik lokasi kasus cacar monyet global. Sumber: CDC Amerika Serikat

Tampak dari peta di atas, mayoritas kasus justru terjadi di benua Amerika dan Eropa. Beberapa pengamat memperkirakan masifnya penyebaran di Eropa dan Amerika Serikat (salah satunya) terjadi karena penghapusan larangan bepergian setelah Covid-19. Meski demikian, dibutuhkan penelitian tingkat lanjut terkait persebaran di luar wilayah endemik Afrika.

Dengan latar belakang ini, Juru Bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyebut hampir seluruh vaksin cacar monyet yang tersedia di Indonesia saat ini akan disalurkan kepada kelompok orang berisiko tinggi, yaitu penderita HIV dan yang melakukan hubungan seksual laki-laki dengan laki-laki. Vaksinasi rencananya akan dimulai per 24 Oktober lalu dan dilakukan secara selektif. Siti berkata, vaksinasi akan berpusat di Jakarta, tersebar di enam klinik carlo alias klinik terpadu bagi pengidap HIV, lima puskesmas, dan satu rumah sakit.

Berpotensi Tertutup Isu Pemilu

Kasus yang merebak sejak 13 Oktober 2023 sejatinya sudah mendapat perhatian serius dari Kemenkes RI dan media. Hal itu terbukti dari pantauan alat monitoring Newstensity yang merekam adanya lonjakan berita cacar monyet di Indonesia per 16 Oktober, atau tiga hari setelah kasus pertama teridentifikasi. Secara total antara 16–31 Oktober 2023 Newstensity mencatat 4.314 berita dengan kata kunci cacar monyet.

Grafik 3. Linimasa pemberitaan cacar monyet. Sumber: Newstensity

Sejauh ini grafik pemberitaan belum menunjukkan adanya penurunan sebab persebaran kasus semakin meluas keluar Jakarta seperti Tangerang dan Bandung. Perluasan ini memaksa dinas kesehatan setempat untuk aktif mengantisipasi penyebaran cacar monyet di daerahnya. Dus, masyarakat menjadi lebih aware dengan kasus cacar monyet.

Ada beberapa angle dari media yang mempublikasi berita cacar monyet. Perspektif yang paling banyak diambil adalah informasi tentang gejala pengidap cacar monyet dan proses penanganannya. Informasi ini penting disampaikan agar masyarakat bisa mengenali gejala cacar monyet sejak dini sehingga bisa mendapatkan penanganan yang maksimal. Dari perspektif pemberitaan ini, media sudah menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi yang tercepat dalam menyebarluaskan informasi kesehatan.

Grafik 4. Subtopik dalam pemberitaan cacar monyet

Selain itu, media juga aktif memberitakan update kasus harian yang dirilis Kemenkes. Lonjakan berita tertinggi untuk angle ini terjadi pada Jumat (27/10) saat Kemenkes mengumumkan 17 kasus cacar monyet di Jakarta sekaligus memberi warning bahwa kasus cacar monyet bisa menembus angka 3.600 kasus selama setahun. Peringatan ini menjadi wake up alarm bagi dinas-dinas kesehatan di daerah agar tidak menganggap remeh kasus cacar monyet meski persebarannya masih sangat terbatas. Terakhir, poin kritis yang juga banyak diulas adalah potensi penularan tinggi pada kelompok yang melakukan aktivitas seksual sesama jenis. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondowunu memastikan semua penularan melalui kontak seksual sehingga ia berharap keterbukaan kelompok ini untuk memudahkan tracing.

Grafik 5. Sebaran media massa

Meski sedikit tertutup isu nasional lain, persebaran isu ini sudah tersebar merata ke media massa mainstream baik di media online maupun cetak. Media-media populer online seperti detik.com, kompas.com, dan antaranews.com menjadi salah satu kontributor terbesar dengan 142 berita, 81 berita, dan 67 berita. Dari media cetak, harian nasional yang turut memberitakan diantaranya Koran Jakarta, Pos Kota, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, dan Kompas.

Grafik 6. Sebaran lokasi pemberitaan

Sebaran lokasi media yang memberitakan didominasi daerah yang memiliki kasus cacar monyet aktif. Tercatat, media dari DKI Jakarta dominan dengan 3.075 berita, diikuti media dari region Jawa Barat dengan 639 berita, dan diikuti Banten dengan 491 berita. Ketiga daerah ini menjadi daerah asal yang menymbang kasus aktif cacar monyet per 1 November 2023. Diharapkan, publikasi yang masif ini bisa membantu pencegahan penularan kasus cacar monyet.

Anyep di Twitter

Biasanya, sebuah isu akan lebih dulu ramai di Twitter sebelum banyak dibicarakan media massa. Kali ini yang terjadi adalah sebaliknya. Penelusuran Socindex di Twitter dengan kata kunci “cacar monyet” dan periode yang sama yakni 11–31 Oktober hanya menghasilkan 24.261 engagement, 16.014 likes, dan 1.860 talk. Sangat jauh dibandingkan pemberitaan media massa yang menghasilkan 4.314 berita. Tercatat hanya ada 1.832 unggahan yang memuat kata kunci cacar monyet.

Grafik 6. Statistik di Twitter. Sumber: Socindex

Rendahnya percakapan diduga karena publik belum memiliki awareness yang cukup setelah identifikasi kasus pertama. Terlebih, penyebarannya di kalangan tertentu sehingga sebagian penderita enggan mengakui bahwa dirinya terpapar cacar monyet. Lonjakan percakapan terjadi per 23 Oktober setelah Kemenkes merilis pengumuman adanya 7 penderita cacar monyet di DKI Jakarta yang semuanya laki-laki dan tertular lewat kontak seksual.

Grafik 7. Sentimen percakapan di Twitter

Setelah rilis itu muncul, warganet bereaksi cukup keras dengan sentimen negatif yang dominan. Mereka mengutuk para penderita cacar monyet karena orientasi seksualnya. Stigmatisasi ini menyalahkan para penderita yang dianggap sebagai agen pembawa cacar monyet ke Indonesia. Alih-alih mendukung agar orang lain terbuka, perundungan ini membuat suspek penderita lain tiarap sehingga menyulitkan tracing dan memperbesar ancaman penularan.

Komentar pedas itu tentunya sangat disayangkan di tengah keberhasilan media menyajikan pemberitaan yang tidak menstigmatisasi, forum di Twitter justru sangat brutal menyerang korban cacar monyet. Padahal, disadari atau tidak penyakit cacar monyet sebagai zoonosis atau penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya lebih banyak mengancam masyarakat yang memelihara satwa liar, utamanya yang dilindungi. Namun poin ini sama sekali tidak mendapat atensi di media massa maupun Twitter.

Penutup

Kementerian Kesehatan bergerak cepat meminimalisir penyebaran cacar monyet dengan melakukan tracing dan vaksinasi kepada kelompok yang paling rentan. Kendala terbesarnya adalah keterbukaan para penderita yang berkaitan dengan stigmatisasi dan ketersediaan vaksin yang sangat minim. Di sisi lain, publisitas ini tertutup isu nasional lain seperti Pemilu dan pencapresan Gibran Rakabuming. Jika awareness publik tidak kunjung tumbuh, proyeksi 3.600 kasus dari Kementerian Kesehatan bisa menjadi kenyataan.

--

--